Quantcast
Channel: Tafsir Al Azhar | Tafsir Al Qur'an Oleh Buya HAMKA
Viewing all 93 articles
Browse latest View live

‘Abasa 33 – 42

$
0
0

PERISTIWA DI HARI KIAMAT

Setelah diperingatkan bagaimana jalannya jaminan makan yang diberikan Allah karena tercurahnya air hujan yang menyuburkan bumi lalu menimbulkan tumbuh-tumbuhan yang diperlukan buat hidup, pada akhirnya Allah memberikan peringatan bahwa hidup itu berbatas adanya. Hidup dibatasi oleh mati. Dan sesudah mati ada lagi hidup yang kekal.

“Maka (ingatlah) apabila datang suara yang sangat keras itu.” (ayat 33).

Di dalam ayat ini disebut Ash-Shakhkhah! Yang berarti suara yang sangat keras. Saking kerasnya akan pecahlah anak telinga bila suara itu terdengar. Ini adalah salah satu dari nama-nama hari kiamat yang tersebut dalam Al-Qur’an. Ada disebut Al-Haqqah, atau Al-Qari’ah yang artinya hampir sama: suara sangat keras, suara pekik yang menyeramkan bulu roma, atau kegoncangan yang tiada terpemanai dahsyatnya, yang masing-masing kelak akan bertemu dalam Suratnya sendiri-sendiri.

Demikian hebatnya hari itu, sehingga: “(Yaitu) pada hari yang setiap orang lari dari saudaranya.” (ayat 24). “Dan dari ibunya dan dari ayahnya.” (ayat 35). “Dan dari isterinya dan anak-anaknya.” (ayat 36). Di dalam ketiga ayat ini didahulukan menyebut saudara yang seibu-sebapa atau seibu saja atau sebapa saja, sebagai orang terdekat. Dan lebih dekat lagi dari itu ialah ibu dan ayah. Tetapi isteri adalah orang yang lebih dekat lagi, teman hidup setiap hari bilamana orang telah dikawinkan oleh ayah-bundanya dan telah menegakkan rumahtangga sendiri. Kemudian itu, anak kandung lebih dekat lagi daripada isteri, lebih dekat dari ayah dan bunda dan lebih dekat lagi dari saudara kandung. Sebab anak adalah penyambung turunan diri, laksana darah daging sendiri. Maka bila tiba haru perhitungan di hari kiamat itu segala saudara, ibu dan ayah, isteri dan anak itu tidak teringat lagi. Bagaimanapun kasih dan rapat kita dengan mereka, namun di hari perhitungan itu kita tidak akan mengingat mereka lagi, betapa pun karibnya. Sebab masing-masing kita telah menghadapi masalahnya sendiri-sendiri. Itulah yang dengan tepat dikatakan dalam ayat yang selanjutnya: “Bagi setiap orang dari mereka itu, di hari itu, ada satu perkara yang dihadapinya.” (ayat 37).

Bagaimana orang akan mengingat anaknya dan isterinya, ayahnya atau ibunya, saudara kandung atau tirinya, kalau dia sendiri pada di waktu itu sedang terlibat dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya dengan berdusta? Dan saudara, ayah dan ibu, dan isteri dan anak-anaknya itu pun terlibat pula dalam soal mereka sendiri-sendiri.

Orang lainkah yang akan terkenang, padahal masalah yang dihadapi demikikan beratnya dan keputusan belum jelas?

“Beberapa wajah di hari itu berseri-seri.” (ayat 38). “Tertawa-tawa, bersukacita.” (ayat 39).

Mengapa wajah mereka berseri-seri? Mengapa mereka tertawa-tawa bersukacita? Tentu saja kegembiraan itu timbul setelah mendapat keputusan yang baik dari Hakim Yang Maha Tinggi, Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena timbangan amal lebih berat kepada kebajikan; maka syurgalah tempat yang ditentukan untuknya. Baru di sana kelak akan bertemu dengan saudara, ayahbunda, isteri dan anak kalau memang sama-sama ada amal kebajikan.

“Dan beberapa wajah di hari itu, padanya ada kemuraman.” (ayat 40). “Ditekan oleh kegelapan.” (ayat 41).

Mengapa wajah jadi muram dan kegelapan menekan sehingga tak ada cahaya harapan sama sekali?

“Mereka itu ialah orang-orang kafir.” (pangkal ayat 42). Tidak mau menerima kebenaran, bahkan menolaknya. “Yang durhaka.” (ujung ayat 42). Maka begitulah nasib orang yang kafir dan durhaka, muram suram karena telah salah menempuh jalan sejak semula.


At Takwir 1 – 14

$
0
0


APABILA DAN APABILA

Ceritera sekarang ini adalah peringatan tentang hari kiamat belaka:

“(Ingatlah) apabila matahari telah digulung.” (ayat 1). Di sini kita melihat penggambaran keadaan kiamat, satu keadaan yang berobah sama sekali dari yang biasa. Mula-mula diterangkan bahwa matahari itu telah tergulung. Tentu banyaklah arti yang dapat kita ambil kata-kata kuwwirat, tergulung atau digulungkan. Makna digulung ialah bila tugasnya telah habis dan dia tidak memancarkan cahaya lagi, sehingga dunia ini menjadi gelap-gulita dan kacaubalau.

“Dan apabila bintang-bintang telah gugur.” (ayat 2). Menurut sebuah tafsir yang dirawikan oleh Adh-Dhahhak, diterimanya dari Ibnu Abbas, akan kejadian bintang-bintang itu gugur dan tempatnya karena bintang-bintang itu laksana kindil-kindil (pelita) yang tergantung di antara langit dan bumi, diberi rantai dengan Nur, atau cahaya. Dan rantai cahaya itu terpegang di tangan malaikat-malaikat yang terjadi dari Nur pula. Kata riwayat itu, bila tiupan serunai sangkakala yang pertama telah kedengaran, matilah segala yang bernyawa, baik di bumi ataupun di semua langit, dan malaikat-malaikat itu pun turut mati sehingga terlepaslah rantai itu dari tangannya, maka bintang-bintang itu tidak terkendali lagi, sehingga terpentanglah dia ke mana saja.

Ceritera yang demikian sepintas lalu tentu ditolak oleh orang yang tidak percaya kepada yang ghaib. Tetapi apabila disesuaikan dengan penyelidikan ilmu alam yang sejati, dapatlah kita memahamkannya dipandang dari segi daya tarik-menarik yang mengatur hubungan alam sehingga timbul keseimbangan. Bila telah goyah yang satu. Niscaya goyahlah pula yang lain, maka berkacaulah perjalanan bintang-bintang.

“Dan apabila gunung-gunung telah dihapuskan.” (ayat 3). Bumi adalah salah satu daripada bintang-bintang itu. Kalau berjuta bintang yang lain sudah gugur daripada garis jalannya, tentulah bumi sendiri pun telah masuk dalam kekacauan itu. Dan gunung-gunung yang ada di bumi pun tudak ada artinya lagi. Dia pun sudah menjadi sama rata dengan bumi. Di dalam Surat An-Naba’ (Surat 78) yang lalu dibayangkan bahwa gunung-gunung sudah berkeadaan laksana fatamorgana belaka; disangka air padahal bukan air.

“Dan apabila unta-unta bunting telah dibiarkan.” (ayat 4).

Dengan ayat ini, suasana lebih didekatkan lagi ke dalam masyarakat pada masa ayat mulai diturunkan. Unta bunting sangatlah manja pada pemeliharaan orang yang empunya. Karena diharapkan pada anaknya yang akan lahir. Unta bunting adalah mengandung tambahan kekayaan. Bila kiamat telah datang, orang tidak peduli lagi kepada unta bunting yang selama ini dipelihara baik-baik itu.  Gambaran kecil dapat kita lihat pada waktu negeri dalam perang besar dan orang pada mengungsi meninggalkan kampung halamannya, karena melarikan diri dari serbuan musuh. Maka ayam-ayam ternak, kucing, anjing sampai kepada kambing ternak tidak diperdulikan orang lagi. Semuanya telah tersia-sia, karena orang lari meninggalkan rumahnya, membawa dan memelihara nyawanya dengan sebungkus pakaian saja. Ini telah kami alami pada permulaan perang ketika Tentara Belanda tidak dapat mempertahankan negeri lagi dari serbuan tentara Jepang di tahun 1942. Sebab itu maka unta bunting yang dibiarkan tersia-sia adalah lambang dari perasaan gugup dan panik.

“Dan apabila binatang-binatang buas telah dikumpulkan.” (ayat 5).

Menurut orang-orang yang berpengalaman dan berpengetahuan tentang keadaan hidup binatang buas di rimba raya, sebagai singa, gajah, beruang, harimau, kijang, rusa, bison, zirafah, zebra, kambing hutan, orang utan dan lain-lain, bahwa binatang itu sangatlah tajam perasaannya (intuisi). Bila akan terjadi tanah longsor, atau huja besar yang akan membawa banjir besar, maka binatang-binatang itu sudah mengerti dengan sendirinya meskipun manusia belum mengetahui apa yang akan terjadi. Mereka terlebih dahulu akan lari dan lari lagi berbondong, berboyong, mencari tempat yang mereka rasa lebih aman. Meskipun singa begitu ganas terhadap rusa, harimau ganas terhadap kambing hutan, serigala buas melihat binatang lain yang jadi buruannya, namun di saat menghadapi bahaya yang akan menimpa itu, satu dengan yang lain tidak bermusuhan lagi. Yang buas tidak lagi timbul selera melihat binatang lain yang biasa diburunya.

Maka digambarkanlah di sini bahwa di saat suasana hebat itu binatang-binatang buas itu jadi berkumpul. Dikumpulkan oleh kedahsyatan hari yang mereka hadapi. “Nasib” telah menyebabkan mereka berkumpul. Malahan menurut satu tafsir dari Ubai bin Ka’ab: “Binatang buas itu pun menjadi berkumpul dengan manusia. Bagaimanapun takutnya bertemu dengan manusia selama ini, namun di hari itu mereka jadi mendekati manusia.”

“Dan apabila lautan telah menggelagak.” (ayat 6). Menggelagak atau mendidih airnya melimbak keluar saking sangat panasnya, sehingga menurut satu tafsir dari Adh-Dhahhak dan Mujahid, demikian mendidihnya, sehingga air di sungai dan danau-danau yang tawar telah dilimbaki oleh air lautan yang mendidih itu.

Ubai bin Ka’ab (salah seorang sahabat Rasulullah SAW) menggambarkan keadaan pada waktu itu demikian: “Adalah enam hari yang hebat sebelum berdiri kiamat itu. Sedang manusia berhilir mudik di dalam pasar, tiba-tiba padam cahaya matahari dan jelaslah cahaya bintang-bintang; mereka pun menjadi tercengang dan merasa dahsyat. Sedang mereka terbingung-bingung demikian rupa, tiba-tiba bintang-bintang itu pun berkisar dari tempatnya dan berjatuhan. Seketika masih terbingung ketakutan, meluncurlah gunung-gunung merata ke alas bumi; maka bergeraklah bumi, bergoncang dan terbakar, kemudian menjadi abu semua. Semua menjadi bingung kehilangan akal, sehingga manusia mencari jin dan jin mencari manusia, dan bercampur-aduklah binatang jinak, binatang liar dan segala serangga dan burung-burung, menggelombang yang setengah kepada yang setengah; itulah yang dimaksud dengan binatang-binatang buas dikumpulkan. Lalu berkatalah jin kepada manusia: “Kami akan pergi menyelidiki apa yang terjadi, tinggallah di sini!” Lalu jin itu pun pergilah menyelami laut. Tetapi mereka segera keluar, sebab laut sudah menjadi api yang bernyala-nyala,” dan seterusnya. Tentu saja hal ini adalah gambaran terdahulu dari yang akan kejadian kelak kemudian hari yang akan lebih hebat daripada apa yang dilukiskan itu.

“Dan apabila diri-diri manusia telah dipasangkan.” (ayat 7). Di dalam ayat ini tertulis nufus, kaja jama’ dari nafs. Dan nafs itu berarti juga diri manusia. Yang dikatakan diri manusia itu ialah gabungan di anatara rohnya dengan jasmaninya. Bila dia mati, hilanglah nafsnya itu, sebab di antara roh dengan jasmani telah berpisah. Kelak kalau kiamat telah datang akan berbunyi serunai sangkakala itu dua kali. Kali yang pertama mematikan sisa yang masih hidup. Dan kali yang kedua membangkitkan segala yang mati untuk dihidupkan kembali dalam yang lain, yaitu alam akhirat. Maka dibayangkanlah dalam ayat ini bahwa diri-diri manusia itu, atau nufus itu akan dipasangkan kembali; Jasmani dipasangkan kembali dengan Rohani, untuk menghadapi hidup yang baru. Yang kita pilih di sini ialah tafsir dari Ikrimah.

“Dan apabila anak-anak perempuan yang dikubur hidup-hidup telah diperiksa.” (ayat 8).

Sebagaimana telah kita maklumi, dan telah banyak bertemu ayatnya di dalam Al-Qur’an dan telah pula kita uraikan dalam tafsir di juzu’-juzu’ yang telah lalu, di zaman jahiliyah orang suka menguburkan anak perempuannya hidup-hidup, karena berasa malu beroleh anak perempuan, (lihat Juzu’ 14, Surat 16, An-Nahl (lebah), ayat 58-59). Maka di hari kiamat itu kelak, mereka akan diperiksa: “Lantaran dosa apa makanya dia dibunuh.” (ayat 9). Mereka akan ditanyai gerangan apa sebabnya maka ayah mereka sampai hati menguburkan mereka kebalik bumi dalam keadaan hidup tentu saja mereka sebagai saksi belaka dari kesalahan perbuatan ayahnya.

Menurut penafsiran Asy-Syihab, makanya pertanyaan dihadapkan kepada yang teraniaya, yaitu anak perempuan yang dikuburkan hidup-hidup itu sendiri, di hadapan orang yang menganiaya dan menguburkannya itu ialah supaya lebih terasa berat dan besarnya dosa yang telah diperbuatnya. Akan terasa sendirilah kepadanya bahwa bukanlah anak yang ditanya itu yang akan dapat menjawab pertanyaan itu karena bukan dia yang bersalah, melainkan dirinya sebagai pembunuhlah yang mesti dihukum berat.

Menurut Asy-Syihab cara yang seperti ini namanya ialah istidraj, yaitu membawa bicara kepada suatu suasana yang si bersalah merasakan sendiri kesalahannya, dengan mengaturkan pertanyaan terlebih dahulu kepada yang tidak bersalah.

Menurut As-Sayuthi: “Ayat-ayat ini menggambarkan betapa nian berat dosanya menguburkan anak perempuan hidup-hidup itu.”

Ad-Darimi meriwayatkan di dalam Masnadnya bahwa pada suatu hari seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah SAW menceriterakan betapa dahsyat perbuatannya di zaman Jahiliyah. Katanya: “Ya Rasul Allah! Di zaman jahiliyah kami ini penyembah berhala dan tega hati membunuh anak kami. Aku sendiri mempunyai seorang anak perempuan. Setelah dia mulai gadis kecil, dia gembira dan lucu, suka sekali bila kupanggil. Suatu hari dia kupanggil, dia pun datang. Aku bawa, dia pun menurut. Lalu aku bawa kepada sebuah sumur tua kepunyaan kaum kami yang tidak begitu jauh dari kediaman kami. Lalu aku bawa dia ke pinggir sumur itu akan melihat ke dalamnya. Setelah kepalanya terjulur ke dalam, terus aku angkat kedua kakinya dan aku lemparkan dia ke dalam. Ketika dia akan aku tinggalkan masih kedengaran dia memanggil-manggil: “Ayah, Ayah!”

Mendengar ceriteranya itu dengan tidak disadari titiklah air mata Rasulullah. Lalu berkatalah salah seorang yang turut duduk dalam majlis itu: “Sudahlah! Engkau telah membuat Rasululllah bersedih hati!” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Biarkan dia! Dia menceriterakan hal itu ialah karena tekanan batinnya yang mendalam jua.”

Lalu Rasulullah bersabda pula kepada orang itu: “Lanjutkanlah ceriteramu itu.” Maka orang itu pun melanjutkan ceriteranya kembali dan Rasulullah SAW pun kembali pula dengan tidak disadari menitikkan air mata lebih banyak dari yang tadi. Dan orang itu pun kelihatan sekali sedihnya tengah berceritera itu, ternyatalah pada wajahnya penyesalan yang tiada terperikan.

Maka bersabdalah Rasulullah SAW: “Allah telah menghabiskan dosa-dosa zaman jahiliyah itu dengan masukmu ke dalam Islam. Perbanyaklah amalmu yang baik, moga-moga dosa-dosamu diampuni.”

Orang lain pula yang datang kepada Rasulullah mengeluhkan dosa serupa itu di zaman jahiliyah disuruh Rasulullah ganti dengan memerdekakan budak. Karena orang itu kaya.

Ibnu Abbas menceriterakan bahwa di zaman jahiliyah itu ada orang yang segera menggali lobang di sekitar rumahnya kalau isterinya telah menyatakan sakit akan beranak. Disuruhnya isterinya itu melahirkan anak di muka lobang itu. Kalau ternyata perempuan, langsung lancarkan saja masuk lobang dan segera ditimbuni.

Tetapi ada juga di zaman jahiliyah itu orang yang tidak menyukai dan sangat benci kepada kebiasaan yang sangat buruk itu. Yang amat terkenal ialah seorang pemuka Bani Tamim bernama Sha’sha’ah bin Najiyah bin ‘Iqaal. Kalau dia tahu ada orang yang bermaksud berbuat begitu dengan anak perempuannya, diterimanya orang itu dan ditebusnya anak orang itu dengan hartabendanya sendiri. Sehingga tersebutlah di dalam sejarah bahwa sampai beratus gadis-gadis kecil yang beliau tebus, beliau bayar kepada ayahnya itu, dan anak itu diambilnya anak dan dipeliharanya.

Sehingga seorang penyair Arab ternama, Farazdaq bin Ghalib, cucu keturunan dari Sha’sha’ah ini menjadikan perbuatan neneknya itu suatu kemegahan bagi kaumnya dan dipujanya dengan syi’ir. Menurut riwayat Abu ‘Ubaidah, seketika kabilah-kabilah Arab berbondong mengirim utusan menghadap Rasulullah menyatakan ketundukkan dan kesetiaan, maka dalam perutusan Bani Tamim masuklah Sha’sha’ah yang sangat menantang kebiasaan menguburkan anak perempuan itu.

Rasulullah menghormatinya dengan baik dan beliau mengetahui kelebihan orang ini di zaman jahiliyah. Maka setelah duduk di hadapan beliau, berharaplah Sha’sha’ah agar Rasululullah SAW berkenan memberinya nasihat: “Aushini, ya Rasul Allah, bi abi anta wa ummi!” Berilah aku nasihat, ya Rasul Allah, demi ayah dan ibuku! Lalu Rasul Allah memberinya nasihat: “Bersikap baiklah kepada ibu engkau dan ayah engkau, kepada saudara perempuan engkau dan saudara laki-laki engkau, dan seterusnya kepada yang lain menurut urutan pendekatannya dengan engkau!”

“Sedikit lagi beri aku nasihat, ya Rasul Allah!” Katanya pula.

Maka bersabdalah beliau: “Jagalah yang di bawah jenggot engkau dan yang di antara kedua kaki engkau.” (Artinya jagalah kehormatan!).

Lalu Rasulullah bertanya pula kepadanya: “Cobalah ceriterakan kepadaku apa yang pernah engkau perbuat di zaman jahiliyah itu!”

Lalu Sha’sha’ah memulai berceritera: “Ya Rasul Allah! Aku lihat di waktu itu orang berbondong saja tidak ada tujuan, dan aku sendiri tidak tahu manakah yang benar. Tetapi hatiku merasa bahwa tidak seorang jua pun menempuh jalan yang betul. Anak perempuan dikuburkan hidup-hidup. Aku pun yakin dalam hati bahwa perbuatan ini tidak dibolehkan Allah Yang Maha Tinggi. Maka sekadar tenagaku, aku cobalah mencegah perbuatan itu, lalu aku tebus anak-anak itu jika kulihat orang tuanya telah hendak bertindak.”

Setelah Agama Islam datang, dan Nabi Muhammad SAW menunjukkan contoh teladan betapa kasih kepada anak-anak perempuan, yang beliau tumpahkan kepada Zainab, yang menebus suaminya Abul ‘Ash dari tawanan Perang Badar dengan kalung leher ibunya sendiri, Siti Khadijah dan betapa kemudiannya beliau mendukung cucunya, anak dari Zainab itu ketika di dalam Sakaratil-maut.

Dan betapa pula kasih beliau kepada anaknya Ruqayah dan Ummi Kultsum, yang seketika Ruqayah meninggal sebagi isteri dari Usman bin Affan, lalu beliau “ganti tikarkan” dengan adiknya Ummi Kultsum itu, sedang Ummi Kultsum pun mati pula tidak betapa lama kemudian, sampai beliau berkata kepada Usman: “Sayang Usman! Tidak ada lagi anak perempuanku yang akan aku serahkan jadi pengganti yang hilang buatmu!”. Dan betapa pula kasih beliau kepada puterinya Fatimah, yang sampai diraihnya anaknya itu ke dalam pangkuannya tatkala telah dekat beliau menutup mata, maka semuanya ini menjadikan anggapan masyarakat sahabat-sahabat beliau dan ummatnya seterusnya berbeda kepada anak perempuan, perbedaan siang dengan malam, dengan yang dialami di zaman jahiliyah itu.

Kata Sahibul hikayat, pada suatu hari masuklah sahabat Nabi kita ‘Amr bin Al-Ash ke dalam majlis Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Didapatinya beliau sedang duduk dengan anak perempuannya yang masih kecil. Lalu ‘Amr bertanya: “Siapa ini, ya Mu’awiyah?”

Mu’awiyah menjawab: “Inilah dia delima hati, kembang permainan mata, wangi-wangian pengobat hidung.”

Berkata pula ‘Amr: “Jauhkanlah dia!”

“Mengapa?”, tanya Mu’awiyah.

Menjawab ‘Amr: “Karena dia menyebabkan adanya musuh. Bahaya yang jauh menjadi dekat. Hidup yang tadinya tenang jadi bergolak. Kebencian yang telah terpendam, tersebab dia timbul kembali.

Maka menjawab Mu’awiyah: “Jangan engkau berkata begitu ya ‘Amr! Demi Allah ya ‘Amr, apabila badan menderita sakit-sakit, apabila janazah telah dikelilingi beramai-ramai, atau apabila zaman memburuk nasib, atau tentara dukacita datang menyerbu bertubi-tubi, tak ada obat hati pelarai demam yang melebihi sejuknya daripada barutan tangan halusnya anak perempuan. Kau boleh saksikan sendiri ‘Amr seorang khaal (saudara laki-laki ibu, atau mamak menurut bahasa Minangkabau) merasa tenteram dirawat oleh kemenakannya perempuan, dan seorang nenek diobat hari tuanya oleh cucu perempuannya.”

Termenung ‘Amr bin Al-Ash mendengarkan susunan kata Mu’awiyah itu. Akhirnya dia berkata: “Tadinya tak ada di muka bumi ini yang paling tidak aku senangi, melainkan merekalah. Tetapi setelah mendengar katamu itu maka mereka pulalah yang paling aku sayangi di muka bumi ini.”

Maka terkenanglah kita akan suatu ceritera lagi, bahwa seketika salah seorang anak perempuannya yang berempat itu, Zainab, Ruqayah, Ummi Kultsum dan Fatimah Az-Zahraa’ masih kecil digendong dipangku oleh Rasulullah SAW. Lalu ada orang bertanya, bagaimana perasaan beliau ketika itu. Lalu beliau jawab:

“Dia adalah kembang yang wangi; kita cium dia. Dan dikurniakan Allah kepada keluarganya.”

Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh Ustadzul-Imam Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir Juzu’ Ammanya seketika menafsirkan ayat ini: “Cobalah perhatikan bagaimana kejam dan kesatnya hati orang-orang ini. Sampai hati mereka membunuh anak-anak gadisnya yang tak berdosa, cuma karena takut akan miskin dan menderita malu; dan semuanya itu bertukar dengan kasih dan sayang, dan sikap yang lemah lembut, setelah orang Arab menerima Islam. Alangkah besarnya nikmat Islam atas perikemanusiaan seluruhnya dengan hapusnya adat yang sangat buruk dan keji ini.”

“Dan apabila catatan-catatan amal telah dibentangkan.” (ayat 10). Catatan amal, yang dinamai dalam ayat ini shuhuf, kata jama’ dari shahifah, artinya ialah gulungan-gulungan kertas yang di sana telah dicatat apa saja yang dikerjakan manusia di dunia ini, dengan tidak ada satu pun yang ketinggalan. Sebab Malaikat Raqib dan ‘Atid, (Surat 50, Qaaf ayat 18), dan malaikat-malaikat penulis yang mulia-mulia (Surat 82, Al-Infithaar ayat 11) telah menuliskan semua dengan cermat dan jimat sehingga tak dapat mengelakkan diri lagi untuk mengingkari suatu kesalahan.

“Dan apabila langit telah dicabut.” (ayat 11). Langit dicabut, ialah laksana mencabut kulit kambing dari seluruh badannya. Sebab itu dapat juga dipakai kata-kata lain, yaitu dikupas. Maka dicabut atau dikupas atau direnggutkan langit itu dari tempatnya. Niscaya dengan sekaligus semuanya terjadi apabila matahari telah digulung dan bintang-bintang telah terlepas dari “rantai” cahaya yang mengikatnya.

“Dan apabila neraka telah dinyalakan.” (ayat 12). Karena telah mulai disediakan untuk menampung manusia-manusia yang akan menerima azab siksaannya. Menurut Qatadah yang menyalakan api neraka itu pertama ialah dosa-dosa Anak Adam, kedua ialah murka Ilahi. “Dan apabila syurga telah dihampirkan.” (ayat 13). Untuk menunggu menanti kedatangan orang-orang yang di kala hidupnya telah memenuhi hidup itu dengan takwa serta dengan sabar dan iman melakukan suruhan Tuhan. Lalu kepayahannya di kala hidup dalam menegakkan kehendak Ilahi itu mendapat balasan yang setimpal, sehingga syurga itu diperdekat kepadanya.

Demi melihat itu semuanya: “Akan tahulah tiap-tiap diri, apa amal yang sudah disediakan.” (ayat 14).

Pendeknya betapa pun goncang hati tiap-tiap manusia sejak kelihatan matahari digulung, bintang-bintang berguguran, gunung-gunung terhapus dan lain-lain tanda kiamat itu, namun yang bergoncang tak tentu hadap hanyalah orang yang kufur jua. Adapun orang yang telah mantap hidupnya karena amalnya yang baik, tidaklah dia akan bimbang, karena hatinya tidaklah terikat kepada dunia fana ini. Betapa pun besar, hebat dan dahsyat hari itu, sama sekali itu akan berujung dengan penyelesaian jua dan dia telah menyediakan hidupnya sejak semula buat menghadapi semuanya itu.

Bertambah maju sekarang ini pengetahuan manusia tentang alam ini, bertambah mendekatlah hasil ilmu pengetahuan itu kepada pintu iman. Hasil ilmu pengetahuan telah sampai kepada meyakinkan bahwa suatu waktu kiamat itu pasti akan terjadi. Sedangkan pengetahuan manusia yang telah sampai kepada mengetahui rahasia yang dahsyat daripada atom dan betapa besar tenaga yang tersimpan di dalamnya telah menimbulkan rasa takut dan cemas manusia akan terjadinya kiamat. Padahal tenaga bom-bom nuklir itu barulah di atas bumi ini saja, belum berarti jika dibandingkan dengan tenaga atom yang meliputi alam yang lain. Lebih dahsyat lagi jika diingat bahwa dengan bom nuklir manusia semuanya bisa mati. Tetapi ada lagi lain kekuatan yang ilmu pengetahuan manusia belum lagi sampai kesana, yaitu sesuatu tenaga lagi -yang bila dilepaskan oleh Allah- Orang yang mati akan dihidupkan kembali. Itulah rahasia-rahasia kiamat!

At Takwir 15 – 22

$
0
0

SUMPAH

Kemuliaan Utusan Allah: Jibril dan Muhammad SAW.

“Maka bersumpahlah Aku.” (pangkal ayat 15). Tertulis dalam aslinya Falaa uqsimu, yang kalau diartikan secara harfiyah saja ialah: “Maka tidaklah aku hendak bersumpah.” Padahal yang dimaksud ialah bersumpah. Maka tidaklah ada ahli tafsir sejak zaman sahabat-sahabat Rasulullah sampai di belakangnya yang mengartikan menurut yang tertulis, melainkan menurut maksud yang tersembunyi, yaitu Allah bersumpah: “Demi bintang-bintang yang timbul tenggelam.” (ujung ayat 15).

Bintang-bintang yang timbul tenggelam yang senantiasa kelihatan itu, yang disebut bintang-bintang keluarga matahari (satelit) yang terbesar ialah lima, yaitu: Zuhal, Musytari, Utharid, Marikh dan Zuhrah. “Yang segera beredar.” (pangkal ayat 16). Yaitu beredar di sekeliling matahari menurut ukuran putaran tertentu: “Yang terlindung.” (ujung ayat 16). Berlindung di balik penglihatan karena dilindungi oleh cahaya matahari sudah mulai terbenam, baru cahaya bintang-bintang itu kelihatan pula.

Setelah mengambil sumpah dengan bintang-bintang yang beredar di sekeliling matahari menurut ilmu pengetahuan manusia dan di sekeliling bumi menurut yang kelihatan oleh mata dan lekas dapat difahamkan untuk memberikan pelajaran kejiwaan bagi insan, maka Allah pun meneruskan sumpahnya: “Dan malam tatkala dia telah pergi.” (ayat 17). “Dan pagi tatkala dia telah bernafas.” (ayat 18). Dibuat Tuhan ungkapan, apabila fajar telah mulai menyingsing dan matahari akan mulai terbit, beransurlah malam itu pergi; kegelapan bertambah tersima oleh kian naiknya matahari dan pagi pun kian bernafas! Alangkah indahnya ungkapan ini. Sebab tatkala hari masih gelap-gulita seakan-akan tidak diberi nafas terang benderangnya siang. Namun dengan terbitnya fajar, seakan-akan siang mulai menarik nafasnya buat bangun kembali. Oleh sebab itu maka peringatan yang tersusun sebagai sumpah itu sangatlah elok pertalian di antara satu dengan yang lain, yang dimulai dengan peredaran bintang-bintang, sampai kepada gelapnya malam dan bernafasnya pagi yang cerah, untuk mengimbangi perasaan kita yang tadinya merasa seram mendengar ceritera keadaan tanda-tanda hari akan kiamat. Dan sesudah menyusun sumpah yang demikian maka Allah pun melanjutkan agak perhatian kita ditujukan kepada inti yang dimaksud yaitu menerangkan dari mana benarkah saluran wahyu Ilahi itu datang:

“Sesungguhnya dia adalah perkataan dari seorang Utusan Yang Mulia.” (ayat 19). Artinya yang membawa wahyu kepada Muhammad itu ialah seorang Utusan Allah Yang Mulia; itulah Malaikat Jibril ‘alaihis-salam.

Dan dilanjutkan lagi pada ayat berikutnya keistimewaan Malaikat Jibril pembawa wahyu itu daripada malaikat-malaikat yang lain: “Yang empunya kekuatan.” (pangkal ayat 20). Saking kuatnya, pekiknya raja dapat menjadi angin penggoncang menghancurkan negeri Tsamud. Dan negeri Sadum kaum Nabi Luth dapat ditunggang-balikkannya: “Di sisi Yang Empunya Singgasana.” Yang Empunya Singgasana, atau ‘Arasy ialah Allah sendiri. Maka Malaikat Jibril itu dekatlah kedudukannya di sisi Allah Yang Maha Kuasa, atau dalam ungkapan setiap hari “dekat ke istana”; “Yang kokoh!” (ujung ayat 20). Demikian kokoh kekuatan Jibril itu di sisi Allah sehingga tidak ada satu kekuatan lain pun yang bisa mengungkit-ngungkitnya. Tidak ada malaikat lain yang dapat menggeser kedudukan yang kokoh itu, sehingga dialah yang terpilih buat menjadi Utusan Mulia menyampaikan tiap-tiap wahyu kepada para Anbiya’ dan Mursalin.

“Dipatuhi di sana.” (pangkal ayat 21). Yaitu di alam malakut itu, Malaikat Jibril muthaa’in, dipatuhi oleh malaikat yang banyak. Dia pun disebut Ruhul-Qudus, dia pun disebut Ruhul-Amin, malahan di dalam memelihara Al-Qur’an dalam perbendaharaan Allah, dia adalah Kepala dari duta-duta Allah yang mulia (Surat 80, ‘Abasa ayat 15 dan 16) “Seraya dipercayai.” (ujung ayat 21). Suatu tumpahan kepercayaan daripada Allah sendiri, sampai digelari Ruhul-Amin, Roh yang dipercaya. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW pun bergelar Al-Amin pula.

“Dan tidaklah kawanmu itu seorang yang gila.” (ayat 22).

Setelah Allah memujikan siapa Utusan yang Allah kirim mengantarkan wahyu-Nya kepada Muhammad SAW maka Allah pun memujikan pula siapa Nabi Muhammad SAW sendiri, bahwa beliau bukanlah seorang yang gila sebagaimana mereka tuduhkan. Bahkan beliau adalah seorang yang sihat wal-‘afiat, mempunyai jiwa raga yang kokoh dan kekar, sehingga sangguplah dia menerima Utusan Jibril itu.

At Takwir 23 – 29

$
0
0


“Dan sesungguhnya dia.” (pangkal ayat 23). Yang dimaksud dengan dia itu ialah Nabi Muhammad SAW; “Telah pernah melihatnya di ufuk yang nyata.” (ujung ayat 23). Bahwa Nabi Muhammad SAW telah pernah melihat rupa Jibril itu di ufuk yang nyata. Ufuk yang nyata ialah Ufuk sebelah Timur, sebab dia tempat terbit matahari, maka ufuk Timur itu lebih nyata dan jelas daripada ufuk-ufuk yang lain.

Menurut suatu riwayat dari Ibnu Abbas, Jibril pernah memperlihatkan diri dalam rupanya yang asli kepada Nabi Muhammad SAW di bukit ‘Arafah. Maka kelihatanlah tubuhnya yang memenuhi dari Masyriq sampai ke Maghrib, kakinya terhunjam ke bumi dan kepalanya menunjak ke langit. Setelah melihatnya dalam kehebatan itu, pingsanlah Nabi SAW. Dan kita kenal juga di dalam Hadis yang shahih tentang pertemuan pertama di Gua Hira’, ketika Wahyu pertama akan diberikan kepada beliau, besar tinggi tersundak ke langit, lalu mengecilkan diri sampai memeluk beliau dengan keras, sampai beliau SAW disuruhnya membaca: “Iqra’.” Lalu beliau jawab bahwa beliau tidak pandai membaca, lalu Nabi dipeluknya keras, sampai keluar keringat dan setengah pingsan.

Ketika menafsirkan Surat 96, Al-Alaq nanti akan kita jelaskan lagi.

“Dan tidaklah dia, atas hal-hal yang ghaib, dapat dituduh.” (ayat 24). Yang ghaib ialah khabar-khabar wahyu yang datang dari langit itu. Maka tidaklah Nabi Muhammad SAW itu dapat dituduh bahwa dia menambah atau mengurangi apa yang diwahyukan, ataupun mengada-ngadakan yang bukan wahyu dikatakannya wahyu.

“Dan bukanlah dia itu.” (pangkal ayat 25). Dia di sini ialah Al-Qur’an sebagai wahyu yang didatangkan dari langit dengan perantaraan Jibril yang amat dipercaya itu; bukanlah dia itu “Perkataan syaitan yang terkutuk.” (ujung ayat 25). Atau yang kena rejam.

“Tegal itu, ke mana kamu hendak pergi lagi?” (ayat 26).

Kalau sudah demikian jelas dan terangnya; yang membawa wahyu itu ialah malaikat yang diangkat Allah menjadi Rasul-Nya yang mulia, lagi kuat kedudukannya di sisi singgasana Allah (‘Arasy), lagi kokoh, dipatuhi oleh malaikat-malaikat yang banyak, dipercayai oleh Allah sendiri, yang dibawanya ialah wahyu suci, sabda Tuhan. Dibawa kepada Muhammad, orang yang sihat jiwanya dan bukan orang gila. Yang dibawa itu pun adalah Sabda Ilahi, bukan kata-kata syaitan, dan Muhammad itu sendiri pun pernah bertemu muka dengan Jibril itu; jadi yang membawa, yang dibawa dan orang yang menerima pembawaan adalah mendapat jaminan dari Allah belaka, dengan alasan apakah lagi kamu hendak mengelakkan diri? Ke mana lagi kamu akan pergi? Ke jalan mana? Ke jurusan mana? Kalau kamu pakai akal fikiranmu yang waras, sekali-kali tidaklah akan dapat kamu tolak kebenaran ini.

Maka ditegaskan Allah sekali lagi tentang Al-Qur’an itu.

“Dia itu tidak lain melainkan satu peringatan untuk seisi alam.” (ayat 27). Dia adalah Rahmat untuk seisi alam, Dia bukan terbatas untuk satu kaum, atau satu kelompok atau satu waktu saja. Dia adalah buat selama-lamanya. Selama alam dunia ini masih didiami oleh ummat manusia.

“(Yaitu) untuk siapa-siapa di antara kamu yang ingin berlaku lurus.” (ayat 28). Yang ingin berlaku lurus, berjalan lurus, yaitu barangsiapa di antara kamu yang ingin jujur terhadap dirinya sendiri. Karena kebenaran yang diterangkan dalam wahyu itu adalah sesuai dengan fithrahmu, bahkan itulah suara hatimu sendiri. Kalau kamu ingkari kebenaran itu, adalah kamu mengkhianati dirimu sendiri. Yang demikian tidaklah jalan yang lurus dan yang demikian bukanlah sifat yang jujur.

“Tetapi tidaklah kamu akan mau, kecuali jika dikehendaki oleh Allah, Tuhan yang menguasai seluruh alam.” (ayat 29).

Sebab itu maka langkah pertama yang hendaknya kamu tempuh ialah menembus tabir-tabir hawa nafsu yang menghambat di antara dirimu dengan Allah. Kalau tabir hawa nafsu itu telah lama membelenggu diri itu sudah dapat direnggutkan sendiri dari diri, akan hilanglah batas hati dengan Allah. Dan bilamana batas hati itu telah hilang, Tuhan Allah sendirilah yang akan memimpin kita menuju kepada yang Dia ridhaii

Al Infithaar 1 – 5

$
0
0


Sebagai permulaan Surat At-Takwir yang telah lalu, awal Surat Al-Infithaar ini pun tidaklah jauh daripada itu, yaitu menggambarkan betapa hebat betapa dahsyat ihwal hari kiamat itu kelak. “Apabila langit telah terbelah.” (ayat 1). Artinya peredaran cakrawala tidak lagi teratur dengan seksama sebagaimana biasa dan lantaran itu tentu: “Dan apabila bintang-bintang telah jatuh berserak.” (ayat 2). Tidak lagi terikat oleh daya tarik antara satu dengan yang lain, yang menyebabkan terdapat keseimbangan perjalanan alam ini. “Dan apabila lautan telah meluap-luap.” (ayat 3), menggelegak, mendidih karena goncangan yang ada pada seluruh permukaan jagat ini. Sebab yang satu bertali teguh dengan yang lain, yang menyebabkan rusak satu, hancur semuanya. “Dan apabila kubur-kubur telah dibongkar.” (ayat 4), karena manusia yang berkubur dihidupkan kembali menghadap hari mahsyar, hari berkumpul. Di dalam saat yang demikian: “Mengetahuilah jiwa apa yang telah pernah dikerjakannya dahulu dan dia kerjakan kemudian.” (ayat 5). Artinya mengertilah suatu diri, baik dari engkau ataupun diriku, pekerjaan dan perbuatan yang di masa hidup pernah dikerjakan; baik yang segera dikerjakan dan diamalkan, atau yang dilengah dilalaikan lalu terlambat mengerjakannya, sehingga yang penting menjadi dianggap kurang penting, dan umur pun habis.

Al Infithaar 6 – 12

$
0
0

SIKAP MANUSIA

Tadi pada ayat kelima telah diterangkan bahwa diri manusia sendiri di saat kiamat itu akan tahu sendiri dan menilai sendiri pekerjaan yang pernah mereka kerjakan tatkala masih hidup di dunia. Ada pekerjaan yang segera dikerjakan, didahulukannya dari yang lain semata-mata karena kepentingan diri, dan ada pula yang dilalaikannya, dita’khirkannya daripada mestinya, sehingga sampai dia mati pekerjaan yang wajib dia kerjakan itu tidak pernah jua dikerjakannya, sehingga terbengkalai sampai dia mati.

Sekarang datanglah pertanyaan Allah pada ayat yang ke-6: “Wahai manusia, apakah yang telah memperdaya kamu, terhadap Tuhan kamu yang Maha Pemurah?” (ayat 6).

Begitu  Allah mencurahkan kurnia-Nya, belas-kasihan-Nya, kepada kamu, namun kamu lalai jua. Yang patut segera kamu kerjakan, tidak jua kamu kerjakan. Apakah gerangan yang menyebabkan kamu lalai dan lengah dari panggilan Tuhan? Siapa yang memperdayakan kamu, hingga kamu lupa? Tentu saja yang pertama sekali memperdayakan kamu dari menghadap Tuhan ialah, musuh besarmu yang bernama Syaitan Iblis itu. Dialah yang menyebabkan kamu akan menyesal untuk selama-lamanya. Tidak ada yang lain yang menghambat langkah maju, menuju Tuhan melainkan Iblis! Sehingga kamu lengah dari kemuliaan Tuhan:

“Yang telah menciptakan kamu.” (pangkal ayat 7). Dia ciptakan daripada air mani yang keluar dari shulbi seorang laki-laki dengan air yang keluar daripada taraaib seorang perempuan, dikandung di dalam rahim ibu menurut ukuran hari-hari dan bulan-bulan tertentu: “Lalu menyempurnakan kejadian kamu.” Sejak dari segumpal air yang dinamai nuthfah, beransur menjadi segumpal darah yang dinamai ‘alaqah, lanjut menjadi segumpal daging yang dinamai mudhghah. “Lalu menjadikan kamu seimbang.” (ujung ayat 7). Bentuk tubuh manusia benar-benar djadikan Allah seimbang, sehingga dengan mengukur jejak kaki saja pun orang dapat menaksir berapa luas muka, berapa panjang tangan, berapa besar kepala dan berapa pula panjang tungkai kaki. Karena besar badan, tingginya, bidang dadanya, luas bahunya dan seluruh badan manusia adalah seimbang. Seumpama ukuran sehesta tangannya, sama persis dengan panjang kaki dari lutut sampai ke tumit. Itu jugalah yang dimaksudkan dengan menyatakan bahwa Allah menjadikan manusia dalam seindah-indah bentuk. (Surat 95, At-Tin : 4).

“Pada bentuk apapun yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (ayat 8). Allah membuat bentuk tubuh manusia itu sesuka-Nya sendiri; ada yang tinggi, ada yang rendah, ada yang gemuk dan ada yang kurus. Warna kulit pun tidak sama. Sehingga 10 orang bersaudara, satu ayah satu ibu, berbeda wajahnya, berbeda suaranya dan berbeda pula masing-masing sidik jarinya; tidak ada yang sama dan tidak pula sedikit pun masuk kekuasaan manusia buat menentukan bakat atau bawaan dari masing-masing manusia.

“Bukan itu saja!” (pangkal ayat 9). Bukan saja manusia itu telah lalai di dalam ingat kepada Allah, entah apa yang telah memperdayakannya: “Bahkan kamu dustakan pula Hari Pembalasan.” (ujung ayat 9). Di ayat 6 Tuhan menanyakan, hai manusia, apa yang memperdayakan kamu sehingga kamu terlalai dan terpesona ke jalan lain lalu lupa kepada Tuhan. Sekarang pada ayat 9 dijelaskan lagi, bukan saja kamu lupa kepada Tuhan, bahkan kamu dustakan pula Hari Pembalasan. Yaitu yang disebut Yaumad Din.

Yaumad Din berarti pada pokoknya Hari agama. Ad-Din mengandung dua arti. Arti pertama iala Agama. Arti kedua ialah Hari akan dibalas segala amal manusia. Dan kedua arti ini dapat digabungkan jadi satu. Sebab kita memeluk satu Din dan mengerjakan perintah dan menghentikan yang dilarang dalam dunia ini ialah karena satu tujuan saja, yaitu agar mendapat pembalasan yang setimpal daripada Tuhan di hari akhirat kelak. Amalan agama yang baik akan diganjari dengan baik di hari akhirat dan amalan yang jahat akan diganjari dengan neraka. Oleh sebab itu tidaklah salah jika dikatakan bahwa Hari Akhirat itu memang Hari Agama.

Hari Agama inilah yang mereka dustakan.

“(Padahal) sesungguhnya terhadap kepada kamu ada yang memelihara.” (ayat 10). Artinya, bahwasanya setiap saat kita hidup di dunia ini senantiasa ada mereka-mereka yang memelihara kita atau menjaga kita dan mengawasi kita, yang telah ditentukan Allah pekerjaannya menjaga itu:

Mereka itu ialah: “Yang mulia-mulia, para penulis.” (ayat 11).

Mereka itu ialah malaikat-malaikat yang mulia. Lantaran itu bukanlah mereka sembarang makhluk, malahan makhluk pilihan yang terdekat kepada Tuhan. Mereka itu telah ditugaskan Allah menjaga, memelihara dan mengawasi tingkah laku manusia di dalam kehidupan. Jelaslah dalam urutan ayat ini bahwa malaikat-malaikat yang mulia-mulia itu bukan seorang, melainkan banyak. “Mereka itu tahu apa jua pun yang kamu kerjakan.” (ayat 12). Sehingga tidaklah kita ini pernah terlepas dari pengawasan dan penjagaan. Maka janganlah kita menyangka ketika kita sedang berada seorang diri bahwa kita memang sepi seorang! Di kiri kanan kita ada makhluk yang selalu mengawasi kita. Dia menjaga moga-moga jangan sampai kita terjatuh. Sedang di samping malaikat-malaikat yang memelihara itu ada pula makhluk yang selalu ingin agar kita jatuh masuk jurang kehinaan. Itulah musuh kita Syaitan dan Iblis. Maka kepercayaan kepada Allah yang sangat dekat kepada kita, lebih dekat dari urat leher kita sendiri, di samping itu ada pula penjagaan malaikat yang banyak atas diri kita, malaikat yang mulia-mulia, sekali-kali tidaklah orang yang beriman akan merasa sepi dalam kehidupan ini.

Al Infithaar 13 – 19

$
0
0

YANG BERBAKTI DAN YANG DURHAKA

“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti.” (pangkal ayat 13). “Al-Abrar” kita artikan orang-orang yang banyak berbakti, berbuat jasa, meninggalkan kenang-kenangan yang baik di dalam hidupnya, terutama kepada sesama hamba Allah: “Benar-benarlah di dalam syurga yang penuh nikmat.” (ujung ayat 13).

Artinya, Mahkamah Ilahiah yang berdiri dan berlakulah pertimbangan Hukum Allah Yang Maha Adil. Tidak akan ada penganiayaan Hukum, sebab Allah Yang Maha Kuasa tiadalah berkepentingan untuk dirinya sendiri untuk melakukan kezaliman. Dan semua makhluk adalah sama di sisi Allah.

Menurut sebuah riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Asakir dengan sanadnya daripada Abdullah bin Umar bahwa yang dimaksud dengan orang yang disebut Al-Abrar ialah orang yang berkhidmat kepada sesama manusia, terutama kepada kedua orang ibu bapa. Demikian juga memberikan pendidikan yang baik kepada anak dan keturunan.

“Dan sesungguhnya orang-orang yang berbuat durhaka.” (pangkal ayat 14). Yakni orang yang dengan sengaja melanggar segala apa yang ditentukan oleh Allah, tidak perduli akan nilai-nilai kebenaran: “Benar-benarlah dia dalam neraka jahim.” (ujung ayat 14). Jahim adalah salah satu nama dari neraka, di samping sa’iir, jahannam, saqar, lazhaa, huthamah. “Mereka akan bergelimang di dalamnya pada Hari Pembalasan itu.” (ayat 15). Yaitu Yaumud Din itu.

“Dan tidaklah mereka akan terhindar jauh daripadanya.” (ayat 16). Artinya, apabila mereka telah dimasukkan ke dalamnya, tidaklah mereka kuasa atau sanggup keluar lagi, sehingga apabila dipanggil mereka dalam neraka itu, mereka akan senantiasa menjawab ada.

“Dan tahukah engkau, apakah Hari Pembalasan itu?” (ayat 17). Dan pertanyaan pertama ini diikuti lagi oleh pertanyaan kedua: “Kemudian itu, tahukah engkau, apakah Hari Pembalasan itu?” (ayat 18).

Diulang-ulangkan pertanyaan yang serupa sampai dua kali, untuk menarik perhatian betapa hebatnya hari itu:

“Pada hari yang tidaklah berkuasa satu diri terhadap diri yang lain sedikit pun.” (pangkal ayat 19). Maka bapak tidaklah dapat menolong anaknya, anak tak dapat menolong ayah, isteri terhadap suami, suami terhadap isteri. Guru terhadap murid, raja terhadap rakyat dan seterusnya; semuanya tidaklah ada kekuasaan akan menolong, akan membela atau mengadakan pertahanan. Masing-masing orang sibuk membela dirinya sendiri. Maka salahlah persangkaan orang yang merasa bahwa seorang guru thariqat, atau guru suluk misalnya, dapat menolong muridnya pada hari itu, atau seorang kiyai dalam menolong santrinya. Semua orang akan terlepas daripada kengerian hari itu hanyalah karena amalnya dan jasanya sendiri: “Dan segala urusan, pada hari itu adalah dalam kekuasaan Allah semata-mata.” (ujung ayat 19).

Al Insyiqaaq 1 – 5

$
0
0


KEHANCURAN

Ini adalah peringatan lagi tentang akan datangnya hari kiamat:

“Apabila langit telah hancur.” (ayat 1). Susunan yang sebagai kita lihat dari bumi sekarang ini tidak akan ada lagi. Bintang-bintang yang sekarang ada di tempatnya akan berkacau; itulah kehancuran. “Lantaran patuhnya kepada Tuhannya.” (pangkal ayat 2). Karena semuanya itu akan terjadi atas kehendak dan perintah Tuhan, sehingga langit itu hanya menurut saja kehendak Allah yang mengaturnya: “Dan patutlah dia begitu.” (ujung ayat 2). Kepatuhan langit kepada kehendak Allah adalah suatu hal wajar, sebab Allah-lah yang menciptakan sejak semula dan Allah pula Yang Maha Kuasa merobahnya.

“Dan apabila bumi telah dipanjangkan.” (ayat 3). Kalau kita lihat dalam peta atlas yang besar, nyatalah bahwa bumi itu bulat. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa suatu waktu dia akan dijadikan Allah panjang atau meluas. Menurut keterangan ahli-ahli memang bumi itu selalu berobah meskipun berobah itu berlaku dalam jutaan tahun. Bukan mustahil dari membulat dia melonjong. “Dan dikeluarkannya apa yang ada di dalamnya.” (pangkal ayat 4). Bumi itu sendiri karena telah melebar, atau tanah-tanah ketinggian jadi runtuh longsor, maka simpanan yang ada di dalam perut bumi itu dikeluarkannya sendiri. Simpanan itu ialah kuburan manusia: “Dan dia pun kosong.” (ujung ayat 4). Kubur itu telah menjadi kosong sebab isinya telah dimuntahkannya keluar, sehingga berseraklah tulang-tulang. “Lantaran patuhnya kepada Tuhannya dan patutlah dia begitu.” (ayat 5).

Kejadian di bumi demikian rupa adalah karena tunduknya bumi kepada Tuhan yang menciptakannya juga sebagaimana terjadi pada langit di ayat 2.

Semuanya berlaku atas kehendak Tuhan. Tidak ada kekuasaan lain yang membendung atau menghalanginya.


Al Insyiqaaq 6 – 15

$
0
0

KAMU AKAN MENEMUI TUHAN

“Wahai Insan!” (pangkal ayat 6). Ingatlah kamu dan insafilah keadaanmu: “Sesungguhnya engkau telah kerja keras akan menuju Tuhanmu, sekeras-keras kerja.” Artinya bahwasanya manusia ini hidup di atas dunia bekerja keras, membanting tulang memeras tenaga siang dan malam, apa jua pun jenis yang dikerjakan, namun akhir perjalanan adalah menuju Tuhan juga. Tidak ada jalan lain. Kerja keras membanting tulang dalam hidup, tidak lain tujuan insan hanyalah ke pintu kubur. “Maka akan bertemulah engkau dengan Dia.” (ujung ayat 6). Bertemu dengan Dia artinya ialah mati!.

Oleh sebab itu janganlah sekali-kali melupakan bahwa segala kerja keras menghabiskan tenaga di dalam hidup itu akhirnya akan diperhitungkan di hadapan Tuhan. “Maka adapun orang-orang yang diberikan suratnya dari sebelah kanannya.” (ayat 7). “Maka akan diperhitungkanlah dia dengan perhitungan yang mudah.” (ayat 8).

Tersebut di dalam sebuah Hadis yang dirawikan oleh Imam Ahmad daripada Aisyah r.a. bahwa beliau pernah mendengar, Rasulullah SAW membaca pada sembahyangnya:

“Ya Tuhanku, perhitungkanlah aku dengan perhitungan yang mudah.”

Maka bertanyalah Aisyah kepada beliau sehabis beliau sembahyang: “Apakah yang dimaksud dengan perhitungan yang mudah itu, ya Rasul Allah?” beliau menjawab:

“Akan ditengok pada suratnya itu sepintas lalu, lalu dihentikan. Karena sesungguhnya barangsiapa yang dilakukan perhitungan yang teliti atas suratnya pada waktu itu, ya Aisyah, celakalah dia.” 

Muslim pun merawikan Hadis ini pula dalam shahihnya.

Nampaklah pada Hadis ini bahwasanya menerima surat panggilan dari sebelah kanan saja, sudah menjadi alamat bahwa pemeriksaan atas diri orang yang bersangkutan akan mudah saja; laksana pemeriksaan barang-barang kepunyaan orang yang dipandang istimewa dan mendapat hak luar biasa dan kekebalan diplomatik pada pemeriksaan duane, atau biasa juga disebut VIP (Very Important Persons). Dibuka sepintas lalu, ditutup, lalu dibebaskan.

“Dan dia akan kembali kepada keluarganya dengan sukacita.” (ayat 9). Keluarganya yang dimaksud di sini ialah sesamanya ahli syurga. Sebab orang-orang yang sama-sama mendapat nasib baik, mendapat keridhaan Allah, lalu dimasukkan Tuhan ke dalam syurga-Nya adalah laksana satu keluarga. Sama duduk bercengkrama menikmati anugerah dan kurnia Ilahi di tempat yang mulia itu.

“Dan adapun orang yang diberikan suratnya dari belakang punggungnya.” (ayat 10). Dan diartikan juga dari sebelah kirinya. Dalam ayat ini disebut dari belakangnya, atau dari belakang punggungnya, untuk menunjukkan bahwa pemberian itu adalah dalam keadaan yang buruk: “Maka dia akan berteriak menyebut kecelakaan.” (ayat 11). Datangnya surat dari sebelah belakang itu saja sudah menjadi isyarat baginya bahwa dia akan menghadapi perhitungan yang sangat teliti karena banyak kesalahannya semasa di dunia fana ini. Dia akan berteriak keras menyesali diri: “Celakalah aku ini!”

“Dan dia akan masuk ke dalam api yang bernyala-nyala.” (ayat 12). Api nerakalah yang akan jadi tempatnya.

Maka ayat selanjutnya menerangkan sebab-sebab maka demikian nasib buruk yang menimpanya:

“Karena sesungguhnya dia pernah bersukaria pada ahlinya.” (ayat 13). Yaitu semasa hidupnya di atas dunia tidaklah diingatnya akan hari Akhirat, hari akan bertemu dengan Tuhan. Dia tidak bersiap untuk menghadapi maut. Sebab itu dia bersukaria menghabiskan umur pada barang yang tidak berfaedah. Sebagai tersebut pada ayat keenam tadi, dia bekerja keras, namun pekerjaannya itu hanyalah buat kepuasan hawa nafsu yang sementara. Maka dilanggarnyalah segala larangan Allah dan tidak dilaksanakannya apa yang diperintahkan, karena: “Sesungguhnya dia menyangka bahwa sekali-kali tidaklah dia akan kembali.” (ayat 14). Dia bawa lalu saja segala peringatan, dilengahkannya saja tuntunan yang diberikan oleh Rasul-rasul Allah, bahkan dicemuhkannya segala nilai-nilai yang diberikan oleh agama:

“Tidak begitu!” (pangkal ayat 15). Artinya, ingatlah olehmu wahai Insan yang hidup sekarang di dunia ini, bahwa keadaan yang sebenarnya tidaklah begitu, tidaklah sebagaimana yang kamu sangkakan itu: “Sesungguhnyalah Tuhannya selalu melihatnya.” (ujung ayat 15).

Hilangkanlah persangkaan yang salah itu, yaitu bahwa hidup di dunia ini tidak berujung dengan Akhirat, dan sementara di dalam dunia ini tidaklah ada kita yang lepas dari tilikan Tuhan. Oleh sebab itu maka hati-hatilah melangkah dari sekarang, agar tenaga jangan habis percuma dan kelak kita bertemu dengan Tuhan kita dalam suasana yang menggemberikan hati. Sebab Tuhan sendiri pun ingin agar kita jadi orang baik, (orang shalih).

Al Insyiqaaq 16 – 25

$
0
0


“Maka tidaklah Aku akan bersumpah.” (pangkal ayat 16). Banyak terdapat susun kata seperti ini di dalam Al-Qur’an: Falaa Uqsimu yang arti harfiahnya tidaklah aku akan bersumpah, padahal hendaklah dia diartikan sebagai suatu sumpah peringatan yang sangat penting. Oleh sebab itu ada juga ahli-ahli yang menafsirkan ‘Falaa Uqsimu’ dengan: “Maka tidak. Aku akan bersumpah.” Diputuskan hubungan laa dan uqsimu.

Setelah mengetahui yang demikian kita teruskanlah persumpahan Ilahi itu: “Demi tanda merah di tepi langit.” (ujung ayat 16). Tanda merah di tepi langit ialah syafaq yang merah itu, yang meskipun matahari telah terbenam ke sebelah Barat, namun tanda merah itu masih kelihatan sebelum matahari hilang sehilang-hilangnya ke bawah dasar bumi. Allah mengambil syafaq ini menjadi persumpahan supaya kita memperhatikan alam yang indah dijadikan Tuhan, untuk membulatkan ketundukan kepada Tuhan.

“Demi malam dan apa yang dikumpulkannya.” (ayat 17). Banyak yang terkumpul pada malam hari; baik yang berupa alam kebendaan dengan cahaya bintang gemerlapan, ataupun kesunyian dan kesepian, dan boleh juga kita masukkan dalamnya kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia yang durhaka di malam hari dan terkumpul juga di malam hari ibadat dan munajat hamba Allah, tahajjud dan pulang perginya malaikat membawa permohonan makhluk kepada Tuhan dan turunnya mereka membawakan rahmat dan maghfirat.

“Demi bulan apabila telah purnama.” (ayat 18). Bulan terang benderang 14 hari, puncak dari kesegaran dan keindahan alam. Itulah yang dinamakan purnama. Bintang-bintang menjadi pudar cahaya dikalahkan oleh bulan, dan alam terang bagai disepuh, dan keindahan itu pun mempengaruhi membawa udara yang nyaman. Diketahuilah bahwasanya terang-benderang cahaya bulan adalah karena dia senang bertentang dengan matahari, sebab bulan tidak memancarkan cahaya sendiri. Pada masa terakhir ini sampailah manusia ke atas bulan itu, dan memang sejak lama dia telah disediakan Allah buat diselidiki; bukan bulan sahaja, bahkan matahari pun. (Surat 14, Ibrahim : 33, Surat 13, Ar-Ra’ad : 2). Dan lain-lain.

“Sesungguhnya kamu akan melalui setingkat sesudah setingkat.” (ayat 19). Berbagai-bagailah ahli tafsir menafsirkan apa maksud melalui setingkat sesudah setingkat, atau selapis demi selapis itu, yang dijadikan tekanan tujuan kata oleh Allah sesudah Allah mengambil sumpah dengan tanda merah di tepi langit, atau malam atau bulan purnama. Maka bertemulah dua penafsiran yang agak cocok dengan penafsiran kita, yaitu tafsiran Ikrimah dan Hasan Al-Bishri. Menurut Ikrimah melalui selapis demi selapis ialah hal-ihwal hidup yang dilalui semua manusia: “Lahir ke dunia, sarat menyusu, sesudah itu berangkat besar dan remaja, sesudah itu muda lalu tia dan akhirnya dunia ini pun ditinggalkan.” Hasan Al-Bishri menafsirkan: “Senang sesudah susah, susah sesudah senang. Kaya sesudah miskin, miskin sesudah kaya. Sakit sesudah sihat, sihat sesudah sakit, tak tetap dalam satu keadaan.”

“Maka gerangan apalah sebabnya, mereka tidak akan beriman?” (ayat 20). Baca ayat-ayat ini dari mulanya dengan tenang, sampai kepada ayat 20 ini; bumi beredar mengelilingi matahari, sehingga timbul syafaq yang merah di ufuk Barat sesudah matahari terbenam, hari pun malam dan bulan purnama mulai bercahaya, semuanya itu mengandung ibadat bagi manusia. Kemudian disadarkan tentang hidup itu sendiri, pergantian di antara selapis hidup demi selapis lagi, mendaki menurun, mendatar dan melereng, dari ayunan diakhiri dengan kuburan. Kalau begitu keadaan yang kita dapati dan akan selalu begitu, apalah gerangan sebabnya manusia masih ada juga yang tidak mau beriman? Dapatkah dia mengelakkan diri dari lingkungan ketentuan Allah yang dinamai takdir? Karena semua itu ialah takdir, yang berarti ukuran atau jangkaan.

“Dan apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak mau sujud?” (ayat 21). Artinya tidak mau tunduk dan mengakui kebesaran Ilahi, malahan membangkang dan mengangkat muka? “Bahkan orang-orang kafir itu pun mendustakan.” (ayat 22). Mereka tolak keterangan yang telah dibawakan di dalam Al-Qur’an itu dan mereka tempuh jalan sendiri yang diluar dari ketentuan Tuhan: “Namun Allah amatlah mengetahui apa yang mereka pendam di hati.” (ayat 23). Oleh sebab itu ke mana saja pun gerak-gerak mereka akan dituruti oleh Allah sehingga mereka tak dapat lari. “Lantaran itu ancamlah mereka dengan azab yang pedih.” (ayat 24). Neraka jahannam.

“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih; bagi mereka adalah pahala yang tidak putus-putusnya.” (ayat 25).

Itulah pengharapan. Dan alangkah sepinya hidup ini kalau tidak mempunyai pengharapan. Dan ini pulalah kelebihan pada jiwa orang beriman.

Al Buruuj 1 – 9

$
0
0


CERITERA DAN PERISTIWA

Tuhan Allah memulai lagi suatu hal yang hendak dititahkannya dengan memakai sumpah. Allah bersumpah: “Demi langit yang mempunyai bintang-bintang.” (ayat 1). Artinya, perhatikanlah olehmu langit yang mempunyai bintang-bintang itu, alangkah besar, alangkah luas dan alangkah jauh, entah di mana batasnya. Di sana terdapat bintang-bintang berjuta-juta banyaknya. Di antara bintang-bintang yang banyak itu ada yang dianggap sebagai perhentian tempat singgah, atau manaazil. 12 bilangan bintang-bintang menurut letak bulan tiap-tiap tahun bergilir keadaannya. Itulah bintang-bintang yang bernama (1) Capriconus, (2) Aquarius, (3) Pisces, (4) Aries, (5) Taurus, (6) Gemini, (7) Cancer, (8) Leo, (9) Virgo, (10) Libra, (11) Scorpio, (12) Sagitarius. Dalam bahasa Arab ke 12 bintang tersebut disebut “Buruj” yang dapat juga diartikan sebagai puri atau benteng tertinggi, tempat persinggahan perjalanan bulan dalam giliran setahun.

Tuhan mengambil sumpah dengan keindahan dan kehebatan “organisasi” atau peraturan perjalanan makhluk di langit, yang dapat juga dinamai “Kerajaan langit”, agar kita meletakkan perhatian kepadanya.

“Demi hari yang telah dijanjikan.” (ayat 2). Sesudah Allah menyuruh kita memperhatikan langit dengan keadaannya yang terbuka, maka pada yang kedua Tuhan mengambil sumpah dengan hail yang telah dijanjikan, yaitu pada suatu masa semuanya itu akan berakhir; langit akan runtuh dan bumi akan tenggelam, dan gunung-gunung akan menjadi rata dan air laut akan melimpah dan meluap, menggelegak.

“Demi penyaksi, demi yang disaksikan.” (ayat 3). Berbagai-bagai pendapat ahli-ahli tafsir tentang syahid dan masyhud, tentang penyaksi dan yang disaksikan. Menurut suatu penafsiran yang dinukilkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah ialah bahwa hari yang dijanjikan (Al-Mau’ud) ialah hari kiamat. Syahid ialah hari Jum’at dan masyhud ialah hari wuquf di padang Arafah.

Menurut suatu tafsiran dari Ikrimah: “Syahid ialah Nabi Muhammad SAW dan masyhud ialah hari Jum’at.” Dan menurut satu tafsiran pula dari Ibnu Abbas: “Syahid itu ialah Allah sendiri dan masyhud ialah hari kiamat.” Ada pula: “Syahid itu ialah Insan, masyhud ialah haru Jum’at.”

Tetapi barangkali tidak pula ada salahnya kalau kita katakan bahwa “Syahid” itu ialah Insan dan yang masyhud itu ialah Allah “sebagai pencipta alam ini.” Sebab dari permulaan ayat Allah sudah mengambil sumpah dengan langit beserta bintang-bintang burujnya. Maka kita manusia penyelidik dan penilik kekayaan Allah pada alam ini. Dengan melihat kebesaran dan kekayaan Allah itu dapatlah kita percaya akan adanya Allah. Kita tidak akan dapat mengetahui betapa zat Allah. Kalau itu yang kita cari, kita akan celaka. Tetapi saksikanlah adanya Allah pada alam yang Dia ciptakan.

Sesudah mengemukakan sumpah tiga patah yang begitu hebat: sumpah kebesaran langit dengan bintang-bintang burujnya. Sumpah tentang hari yang dijanjikan, kemudian itu sumpah tentang penyaksi dengan yang disaksikan, barulah Tuhan masuk kepada apa yang dituju dengan persumpahan itu: “Binasalah orang-orang yang empunya lobang parit.” (ayat 4).

Binasalah, atau celakalah atau kena kutuk laknatlah orang-orang yang telah sengaja menggali lobang atau parit yang dalam, yang mereka pergunakan untuk membakar orang-orang yang berkeras mempertahankan imannya kepada Allah Yang Maha Esa: “Dari api yang bernyala-nyala.” (ayat 5).

Mereka gali lobang lalu mereka lemparkan orang-orang yang beriman kepada Allah ke dalam lobang itu, lalu mereka bakar, sehingga api bernyala. “Ketika mereka duduk didekatnya.” (ayat 6). Yaitu mereka menggali lobang buat membakar orang-orang yang beriman itu sambil membakar telah duduk di dekat lobang parit tersebut beramai-ramai, “Dan mereka, terhadap apa yang mereka perbuat atas orang-orang yang beriman itu, adalah menyaksikan.” (ayat 7).

Dengan urutan ayat ini dapatlah kita fahamkan bahwasanya pernah terjadi orang menggali lobang yang dalam untuk dilemparkan ke dalamnya orang-orang yang dipaksa meninggalkan keyakinan dan imannya kepada Allah Yang Maha Esa. Orang-orang yang beriman itu tidak mau berganjak dari pendiriannya, sehingga pihak yang berkuasa menggali lobang untuk memasukkan mereka ke dalam, dan setelah mereka berada di dalamnya dinyalakanlah api, dan orang-orang yang membakar itu duduk di keliling lobang itu menyaksikan orang-orang beriman itu jadi abu.

“Dan tidaklah mereka berlaku kejam kepada orang-orang itu, melainkan karena orang-orang itu percaya kepada Allah.” (pangkal ayat 8). Kesalahan orang-orang yang digalikan lobang lalu dibakar itu hanya itulah; mereka percaya kepada Allah, mereka tidak mau menukar kepercayaan itu dengan yang lain. Baik terhadap atas adanya Allah itu, ataupun terhadap perintah dan larangan Allah. Tidak ada perintah lain yang mereka junjung tinggi melainkan perintah Allah. Tidak ada peraturan manusia yang mereka hormati sama dengan penghormatan kepada peraturan Allah: “Yang Maha Gagah Perkasa, Yang Maha Terpuji.” (ujung ayat 8).

Ajaran Tauhid menyebabkan keyakinan kepada Allah itu tidak dapat berbelah bagi. Manusia beriman tidak akan tunduk kepada sesama manusia sama dengan ketundukan kepada Allah. Dengan keyakinan Tauhid manusia sampai kepada kesimpulan bahwa yang gagah perkasa itu hanya Allah; adapun manusia itu tidaklah gagah perkasa. Manusia tidak sanggup melawan penyakit, melawan tua dan melawan maut. Allah itu Maha Terpuji, karena hanya Dia sajalah yang sebenar berjasa atas alam ini dan tidak pernah bersalah. Mutlak Dia dalam kepujian-Nya.

“Yang bagi-Nya-lah kerajaan di semua langit dan bumi.” (pangkal ayat 9). Keyakinan Tauhid pun sampai kepada satu kesimpulan bahwa sesungguhnya kekuasaan yang Maha Tinggi, Maha Luas meliputi seluruh alam hanya kekuasaan Allah sahaja. Kekuasaan manusia tidak ada. Kalau ada sangatlah terbatas. Karena kekuasaan manusia yang terbatas itu hanya pinjaman sementara belaka dari Allah. Tidak ada satu kerajaan yang meliputi seluruh permukaan bumi ini, baik dahulu ataupun sekarang, ataupun kelak dikemudian hari. Seorang Kepala Negara dinaikkan dan kemudian diturunkan, atau seorang Raja naik tahta kemudian mangkat, lalu digantikan oleh puteranya, dan dia tidak dapat mencapai kekuasaan kalau tidak diakui oleh rakyatnya dan dibantu oleh para menterinya. Dan kekuasaan tersebut hanya sekeliling batas sepanjang negerinya dengan negeri tetangganya. Sedang kekuasaan Allah meliputi seluruh langit, meliputi semua langit yang disebutkan tujuh lapis itu dengan bintanggemintangnya dan meliputi juga seluruh bumi sejak dari puncak gunung paling tinggi sampai ke dasar laut paling rendah. Oleh sebab itu maka orang-orang yang bertauhid tidaklah dapat ditundukkan oleh kekuasaan lain, kecuali oleh kekuasaan Allah itu. “Dan Allah, atas tiap-tiap sesuatu, adalah jadi penyaksi.” (ujung ayat 9).

Dia menyaksikan apa yang dibelakang kita dan apa yang berada di muka kita. Yang tersembunyi ataupun yang nyata. Dan tiadalah Allah itu pelupa. Segala sesuatu tiadalah yang lepas dari ingatan-Nya.

Berbagai penafsiran telah dinyatakan oleh ahlinya berkenaan dengan apa yang disebut “yang empunya lobang parit” itu, siapakah mereka itu? Menurut suatu tafsiran dari Saiyidina Ali bin Abu Thalib, yang empunya lobang parit ialah salah seorang daripada raja-raja Parsi di zaman purbakala, yang mendesak kepada ulama-ulama supaya menghalalkan orang mengawini mahramnya. Namun ulama-ulama itu tidak mau menghalalkan perkara yang haram itu. Sebab yang empunya peraturan demikian bukan mereka, melainkan Allah jua. Oleh karena ulama-ulama itu tidak mau berbuat demikian maka murkalah raja. Lalu baginda menitahkan orang menggali lobang dalam dan dinyalakan api padanya, lalu dilemparkanlah ulama-ulama itu ke dalam, satu demi satu. Maka habislah ulama-ulama yang mempertahankan kebenaran itu mati terbakar.

Menurut satu riwayat pula dari Sayidina Ali juga, di zaman purbakala pernah terjadi di Yaman peperangan di antara kaum yang beriman kepada Allah Yang Tunggal dengan golongan kaum yang mempersekutukan Allah (musyrikin). Oleh karena golongan beriman sedikit dan golongan musyrik banyak, kalahlah yang beriman. Lalu dengan kejamnya golongan musyrikin itu menangkapi, menawan dan menghukum ummat yang bertauhid itu; mereka gali lobang, mereka nyalakan api di dalamnya dan mereka lemparkan yang beriman itu satu demi satu ke dalamnya.

Dan ada pula diriwayatkan dalam sebuah Hadis yang dirawikan oleh Muslim dan Imam Ahmad tentang seorang anak kecil yang kuat imannya dan banyak pertolongan Allah kepadanya, sehingga terlepas dari berbagai bahaya. Baru dia dapat mati dibunuh setelah raja yang menyuruh membunuh itu membaca suatu pengakuan atas Keeasaan Allah. Duduk ceriteranya demikian:

“Berkata Nabi SAW: Di zaman dahulu ada seorang raja. Baginda mempunyai seorang ahli sihir. Setelah ahli sihir itu merasa dirinya telah tua, berdatang sembahlah dia kepada raja menerangkan bahwa dia telah tua dan hampir sampai ajalnya. Dia mohonkan kepada raja agar raja mencarikan seorang anak kecil, karena kepada anak itu akan diturunkannya ilmu sihirnya. Permohonan itu dikabulkan raja, lalu diserahkan kepadanya seorang anak kecil dan datanglah anak itu berulang-ulang kepada tukang sihir itu mempelajari sihirnya. Di antara tempat tinggal tukang sihir dan tempat tinggal anak itu ada pula berdiam seorang pendeta. Anak itu senantiasa singgah pula berteduh di tempat kediaman pendeta itu dan banyak pula dia mendengar ucapan-ucapan dari pendeta tua itu yang amat menarik hatinya. Maka kalau dia terlambat datang kepada tukang sihir, tukang sihir itu marah lalu memukulnya. Dan kalau dia terlambat pulang ke rumah orang tuanya kena marah pula mengapa terlambat pulang. Lalu diajarkan pendeta tua itu suatu jawaban, kalau ditanya oleh tukang sihir mengapa lambat, jawablah karena terlambat turun dari rumah dan kalau ditanya pula di rumah mengapa terlambat, katakan guruku tukang sihir menahan daku.

Dalam hal yang demikian selalulah dia pulang dan pergi ke rumah tukang sihir dan tetap singgah di rumah pendeta. Pada suatu hari terlambatlah orang yang lalu lintas berjalan di jalan raya yang ditempuhnya karena ada binatang buas yang mengganggu, sehingga orang merasa takut liwat di situ. Ketika itu anak kecil tersebut lalu pula di sana. Lalu dia berkata: “Akan aku uji, manakah yang lebih dapat aku gunakan, ajaran tukang sihirkah atau ajaran pendeta.” Lalu diambilnya sebuah batu dan dia ucapkan: “Ya Allah! Kalau ajaran pendeta itu yang benar di sisi Engkau, lebih daripada ajaran tukang sihir maka bunuhlah binatang ini, supaya manusia yang lalu lintas di jalan ini jangan terhalang juga.” Lalu dilemparkannya batu itu kepada binatang tersebut.

Maka matilah binatang itu dan lalu lintaslah manusia sebagai biasa.

Setelah dia menghadap pendeta itu diceriterakannyalah pengalamannya itu kepada beliau. Maka berkatalah beliau: “Wahai buyung! Engkau telah mencapai derajat yang lebih tinggi daripada yang aku capai! Tetapi aku peringatkan kepada engkau, bahwa engkau akan menderita banyak percobaan. Maka kalau percobaan itu datang, janganlah engkau beritahukan hubungan engkau dengan daku.”

Sejak waktu itu nama anak itu kian terkenal dan dapatlah dia mengobati orang yang ditimpa penyakit kusta atau penyakit balak dan penyakit lain-lain.

Raja ada mempunyai seorang orang besar yang selalu diajak raja musyawarat. Kebetulan orang itu buta. Dia mendengar cerita orang tentang anak itu, lalu datanglah orang besar buta itu kepadanya membawakan hadiah sebanyak-banyaknya dan berkata: “Sembuhkanlah butaku! Hadiah ini adalah untukmu dan jika aku sembuh hadiah ini aku tambah lagi!”

Anak itu menjawab: “Saya tidak berkuasa menyembuhkan apa jua pun macam penyakit. Yang Maha Kuasa menyembuhkan hanya Allah. Kalau tuan sudi beriman kepada Allah, saya akan berdoa memohonkan kepada-Nya agar tuan disembuhkan.”

Mendengar ajakan anak itu berimanlah orang besar yang buta itu. Lalu anak itu berdoa, maka orang besar itu pun sembuhlah dan nyalanglah kedua belah matanya.

Setelah matanya sembuh datanglah dia kembali ke dalam majlis raja. Baginda sangat tercengang lalu bertanya: “Siapa yang menyembuhkan mata engkau?” Dia menjawab: “Tuhanku!”

Dengan heran raja bertanya pula: “Akukah yang engkau maksudkan?” Dia menjawab: “Bukan! Tuhanku dan Tuhanku ialah Allah!” Engkau mengakui ada lagi Tuhan selain aku?”

Orang besar itu tetap menjawab: “Tuhanku dan Tuhan Tuanku ialah Allah.”

Raja sangat murka mendengar jawab itu, sehingga orang besar itu ditangkap dan disiksa, sampai karena tidak tahan menderita sakit dibukanya rahasia bahwa guru yang mengajarnya ialah anak kecil tersebut.

Anak kecil itu pun ditangkap lalu ditanyai apa benarkah dia dapat menyembuhkan orang yang dapat penyakit kusta, orang buta dan lain-lain. Anak itu menjawab bahwa semuanya itu tidak benar! Dia tidak dapat menyembuhkan siapa jua pun. Yang menyembuhkan segala yang sakit hanya Allah Yang Maha Kuasa.

“Akukah yang engkau maksudkan?” tanya raja.

“Bukan!” jawab anak itu: “Tapi Allah!”

“Apakah engkau mengakui pula ada Tuhan selain aku?” tanya raja lagi. Dengan tegas anak itu menjawab pula: “Tuhanku dan Tuhan raja ialah Allah!”

Mendengar jawab demikian anak itu pun disiksa. Dia pun dipaksa mengakui dari mana dia mendapat pelajaran yang amat ganjil itu. Karena tidak tahan dipukul, terpaksa dia menunjukkan gurunya, yaitu pendeta tersebut tadi. Pendeta itu pun segera ditangkap. Dia pun disiksa dan dipaksa meninggalkan agama yang dianutnya mengatakan ada lagi Tuhan selain raja, namun pendeta itu tidak mau. Akhirnya kepala pendeta itu. Kepala beliau digergaji sampai terbelah dua dan mati.

Kemudian dipaksa pula orang besar yang telah sembuh dari buta itu meninggalkan agama bertuhan kepada Allah itu dan kembali hanya bertuhan kepada raja. Dia pun tidak mau. Dia pun digergaji pula, sampai belah dua badannya dan mati.

Lalu dihadapkan pula anak kecil itu. Dia pun mulai dipaksa meninggalkan agama yang telah diimaninya itu. Tetapi dia tidak mau. Lalu raja memerintahkan beberapa orang membawa anak itu ke puncak gunung, dan raja memerintahkan: “Apabila sampai di puncak gunung paksa dia sekali lagi kembali kepada agama kita. Kalau dia tidak juga mau lemparkanlah dia ke bawah.!”

Maka dibawa oranglah dia ke puncak gunung. Sampai di sana kedengaranlah anak itu berdoa: “Ya Allah! Peliharakanlah aku dari mereka dengan kekuasaan-Mu!” Tiba-tiba bergoncanglah gunung itu dan orang-orang yang mengantarkan itulah yang jatuh dan anak itu selamat.

Dia pun turun dan terus sekali menghadap raja. Lalu raja bertanya: “Apa khabar orang-orang yang aku suruh menghantarkan engkau ke gunung?”

Anak itu menjawab: “Tuhanku telah memeliharakan daku dari mereka.”

Rupanya raja belum juga puas. Disuruhnya menangkap anak itu sekali lagi dan disuruh hantarkannya dengan sebuah sampan ke tengah laut. Diperintahkan kepada orang yang mengantarkan supaya memaksa anak itu kembali kepada agama yang lama. Kalau tidak mau supaya dia dibenamkan saja masuk laut. Sekali lagi anak itu menadahkan tangannya ke langit, maka datanglah angin ribut sangat besar. Tenggelamlah seluruh orang yang diperintahkan mengantarkannya itu dan dia sendiri selamat berenang ke tepi. Dan kembali dia menghadap raja.

Dia pun ditanya apa yang telah kejadian. Dia menjawab – Tuhannya telah menolongnya dan orang-orang itu telah tenggelam semuanya.

Kemudian berkatalah dia kepada raja: “Hai Raja! Tuanku tidak akan dapat membunuh aku kalau hanya dengan cara demikian. Barulah akan berhasil tuan membunuhku jika tuan kerjakan apa yang aku suruhkan. Kalau tidak tuan kerjakan apa yang aku suruhkan, tidaklah akan berhasil maksud tuan menyingkirkan daku dari dunia ini!”

Lalu raja bertanya: “Apakah yang engkau minta itu?”

Anak itu menjawab: “Tuan suruh manusia berkumpul di satu tempat. Kemudian tuan suruhkan menaikkan daku ke atas kayu palang (salib), lalu tuan ambil satu anak panah kepunyaanku sendiri dari dalam busurnya. Kemudian tuan bidik aku dengan tepat, lalu baca:

“Dengan nama Allah, Tuhan anak kecil ini.”

Dengan melakukan cara demikian barulah tuan dapat membunuhku.

Permintaan itu dilakukan oleh raja, diambilnya anak panahnya dari busurnya dan dengan mengucapkan: “Dengan nama Allah, Tuhan anak kecil ini.” Lalu dipanahnya anak kecil itu, tepat kena pada jantungnya dan terkulailah kepalanya, sedang tangannya memegang pangkal panah yang telah tersisip di dadanya dan dia pun matilah.

Tiba-tiba terloncatlah dari mulut seluruh orang yang hadir:

“Kami beriman dengan Tuhan anak kecil ini.”

Gempitalah suara di tanah lapang itu menyatakan iman kepada Tuhan Allah, yang dipercayai oleh anak kecil itu.

Maka berbisiklah seorang kepada raja: “Tidaklah tuan perhatikan? Bukankah apa yang tuan takuti selama ini telah terjadi? Budak kecil itu mati, tetapi semua orang telah menganut ajarannya?”

Sangatlah murka raja melihat manusia telah berbalik arah. Lalu raja memerintahkan menangkapi orang-orang yang terang-terang menyatakan percaya kepada Tuhan anak kecil itu, dan baginda suruh gali lobang-lobang atau parit-parit besar. Dan diancamlah orang: “Barangsiapa yang masih memegang kepercayaan anak kecil itu akan dimasukkan ke dalamnya dan dibakar dan barangsiapa yang kembali kepada agama puasaka nenek-moyang akan selamat.”

Mendengar itu tidaklah mereka mundur, malahan mereka berduyun mendekati lobang yang ternganga itu menunggu giliran dibakar. Maka adalah di antara mereka itu seorang perempuan yang sedang membimbing anaknya, seketika telah dekat ke pinggir lobang itu timbul ragu-ragu dalam hatinya. Tiba-tiba berkatalah anaknya yang dalam bimbingan itu: “Teguhkan hatimu, ibuku! Ibu adalah dalam agama yang benar!”

Begitulah sebuah Hadis yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan Muslim dan dirawikan juga oleh An-Nasa’I dari Hadis dan diriwayatkan juga oleh Termidzi yang berasal daripada Hadis sahabat Rasulullah SAW. Shuhaib.

Tersebut lagi cerita lain tentang lobang pembakaran itu, yaitu seketika Raja Dzu Nuas yang beragama Yahudi memaksa penduduk Najran yang telah lama memeluk Agama Nabi Isa ‘alaihis-salam. Setelah raja yang beragama Yahudi itu menaklukkan negeri tersebut dijalankanlah paksaan kepada penduduk supaya memeluk agama Yahudi. Orang Nasrani di waktu itu di bawah pimpinan Pendetanya yang telah sangat tua, sehingga ke mana pun berjalan beliau itu ditandu. Ketika Yahudi menanyai akidahnya, dia menjawab bahwa dia beriman kepada Allah Yang Maha Esa dan beriman kepada syariat Nabi Isa ‘alaihis-salam dan dia tidak akan merobah kepercayaannya itu. Maka ditangkaplah dia dan ditangkapi pula para pengikutnya, digali lobang dan, dinyalakan api di dalamnya dan dilemparkanlah mereka ke sana. Dan mereka masuk ke dalam lobang itu dengan tidak mengeluh, karena yakinnya akan pendirian.

Ibnu Katsir menyatakan dalam tafsirnya bahwa penggalian lobang dan pembakaran terhadap orang beriman yang teguh pada keyakinannya itu bukanlah kejadian satu kali, malahan berkali-kali. Ibnu Katsir menyalinkan keterangan dari Ibnu Abi Hatim bahwa penggalian lobang pembakaran itu pernah terjadi di Yaman di zaman raja-raja Tubba’, di Konstantinople di zaman Konstantin memaksa orang Nasrani melepaskan kepercayaan mereka yang asli tentang Tauhid, dan kejadian juga di Iraq yaitu di negeri Babil di zaman Raja Bukhtinashr (Nebukadnesar) yang membuat berhala dan memaksa orang menyembah kepada berhala itu; maka Nabi Dinial tidak mau mengurbankan kepercayaannya kepada Allah Yang Esa bersama kedua temannya ‘Izriya dan Mikhaail. Lalu dibuat lobang dan diunggunkan kayu-kayu kering ke dalamnya dan dimasukkan ketiga orang beriman itu ke dalam. Namun sesampai mereka dalam api yang bernyala itu, mereka tetap hidup dengan segar-bugar dan keluar dengan selamat. Padahal bersama ketiga orang yang beriman di antaranya seorang Nabi itu, dimasukkan pula sembilan orang yang dianggap pemberontak kepada raja; semuanya hangus terbakar.

Dengan keterangan ini, yang pada pokoknya peringatan kepada kaum Quraisy, tetapi akan jadi peringatan seterusnya bagi manusia, bahwa pihak-pihak yang berkuasa di segala zaman akan mencoba membelokkan keyakinan orang atau menukar Iman kepada Allah dengan semacam “iman” yang mereka rumuskan dan mereka wajibkan orang supaya tunduk. Kalau tidak mau tunduk akan mereka siksa, mereka paksa, mereka bakar, mereka sula, mereka gantung, sekurang-kurangnya mereka buang dari negeri atau mereka simpan ke dalam penjara. Ayat 8 di atas menunjukkan bahwa sebab-sebab utama penganiayaan itu ialah karena hanya beriman kepada Allah. Dan ayat menunjukkan bahwa kekuasaan Allah itulah yang lebih tinggi dan lebih Maha-maha luas, meliputi seluruh kerajaan langit dan bumi. Dan pada ayat 10 dijelaskan pula bahwasanya orang-orang yang berlaku aniaya itu pun kelak akan dibakar pula dengan api neraka.

Di dalam Al-Qur’an sendiri pernah dipertunjukkan keyakinan tukang sihit Fir’aun yang sihirnya dapat dikalahkan atau “ditelan” oleh mu’jizat Nabi Musa ‘alaihis-salam. Raja Fir’aun sangat murka kepada mereka, karena setelah sihir mereka dapat dipatahkan oleh mu’jizat Nabi Musa, dengan tidak merasa takut kepada Fir’aun sedikit pun mereka menyatakan Iman kepada Allah dan percaya kepada Musa. Lalu Fir’aun menghukum mereka karena dianggap belot! Kaki dan tangan mereka dipotongi dan mereka dinaikkan ke atas kayu palang, dihukum mati. Namun demikian mereka tidak dapat dihambat lagi buat menyatakan beriman kepada Allah. Malahan setelah hukuman dijatuhkan, mereka menjawab dengan tegas: “Bahwa Fir’aun hanya dapat menguasai mereka pada hidup di dunia ini. Namun iman mereka tidak dapat dikuasainya lagi.”

Ayat dari Surat Al-Buruuj ini dapatlah menjadi pegangan bagi-tiap-tiap orang yang ingin mengambil teladan dalam kekuatan iman. Karena kadang-kadang sikap dan sifat lemah tidaklah akan menolong jika musuh-musuh Tauhid itu telah menyatakan sikap hendak berlaku sewenang-wenang. Namun mati itu hanya sebentar saja. Setelah putus nyawa bertemulah apa yang dicita oleh Mu’min, yaitu liqa-a rabbihi: Berjumpa dengan Tuhannya.

Al Buruuj 10 – 16

$
0
0

Setelah Tuhan memberi pujiannya kepada orang-orang yang teguh pendirian dan iman, yaitu mereka disiksa dan dibakar dalam lobang yang disediakan buat menyiksa mereka, tidak lain hanyalah karena mereka teguh beriman kepada Allah, maka ayat yang selanjutnya ini menerangkan akibat yang akan diterima oleh orang-orang kafir yang telah menindas dan memfitnah kaum yang beriman itu. Bagaimanapun besarnya kekuasaan mereka di dunia ini, namun mereka akan hina di hadapan Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang melakukan tindasan kepada orang Mu’min dan Mu’minat.” (pangkal ayat 10). Memfitnah, menyiksa, dan menindas dan menimpakan berbagai ragam kesusahan kepada orang yang telah beriman kepada Allah, baik laki-laki ataupun perempuan: “kemudian tidak mereka taubat” tidak sedikit pun ada penyesalan dalam hatinya atas perbuatannya yang kejam itu: “Maka bagi mereka adalah Jahannam, dan bagi mereka adalah siksa bakaran.” (ujung ayat 10).

Artinya Tuhan akan membalas kekejamannya kepada orang yang beriman itu dengan siksa berlipat-ganda. Jika dahulu mereka telah menggali lobang untuk menyiksa orang yang beriman, lalu membakar, maka dalam neraka jahanam itu siksa yang akan didapatnya pun pembakaran jua adanya.

Orang yang digoyangkan imannya oleh propaganda agama lain, yaitu Agama Nasrani yang mengadakan Zending dan Missi ke tanah air orang Islam mengatakan bahwa ancaman Tuhan kepada orang yang salah yang tersebut di dalam Al-Qur’an adalah sangat kejam, seakan-akan tidak mengandung belas kasihan. Padahal kalau diperhatikan ayat ini dengan seksama akan kelihatan nyata sekali kasih sayang Allah. Yaitu sesudah mereka itu berlaku kejam, menindas dan menganiaya, padahal yang ditindas dianiaya itu ialah orang yang beriman, bagi mereka masih dibukakan pintu untuk taubat. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Imam Hasan Al-Bishri: “Alangkah pemurahnya Allah Ta’ala itu. Sesudah mereka bunuhi, mereka galikan lobang dan mereka bakar orang-orang yang dikasihi oleh Allah, namun mereka masih diseru buat taubat. Dan bila taubat kesalahan besar itu diampuni.”

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah syurga-syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (pangkal ayat 11). Meskipun di dunia ini orang-orang Mu’minin dan Mu’minat ini mungkin dianiaya dan disiksa, disakiti dan ditindas, karena teguhnya mereka dengan iman dan diiringi oleh amal yang shalih, bagi mereka telah disediakan syurga, taman-taman yang indah, yang penuh dengan nikmat, dengan air yang selalu mengalir membawa kesejukan dan nyaman, sehingga kesakitan yang diderita sementara waktu di dunia itu telah mendapat balasan yang mulia di sisi Allah: “Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (ujung ayat 1).

Memang, itulah dia kemenangan yang besar. Menang jiwa Mu’minin dan Mu’minat mengatasi cobaan di kala hidup; memang Mu’minin dan Mu’minat mengatasi debar-debar jantungnya karena ketakutan, lalu dipadukannyalah takutnya itu, hanya kepada Allah. Lalu dia pun menutup mata dengan meninggalkan teladan yang baik bagi anak-cucu yang datang di belakang. Dan di akhirat menang pulalah dia, kemenangan yang besar dan agung, karena iman dan amalnya disambut mesra di sisi Allah.

Lalu Allah memberi peringatan:

“Sesungguhnya pembalasan Tuhan engkau itu adalah amat sangat.” (ayat 12).

Orang yang mencoba menentang Allah, jika pada akhirnya lehernya dikeripukkan Tuhan, amatlah seram pembalasan itu. Sedang di puncak, dia jatuh dihinakan ke bawah. Sedang mulia dan ditakuti, dihinakannya dan tersungkur lalu diinjak-injak orang.

Fir’aun mati tenggelam di tengah laut. Dan berpuluh bahkan beratus Fir’aun lagi menerima pembalasan yang kejam sekali, yang dia tidak menyangka.

Inilah peringatan Allah yang selalu mesti diperhatikan oleh orang yang berlaku zalim; sebab pembalasan yang sangat dahsyat dari Tuhan itu adalah tersebab salah orang itu sendiri. Dia sendiri yang menempuh jalan yang menyampaikannya kepada azab siksaan yang pedih itu. Laksana budak bermain api, telah berkali-kali ditegur tidak juga mau melihatnya tidak dapat berkata lain: “Bukankah sudah aku katakan.”

“Sesungguhnya Dialah yang memulai.” (pangkal ayat 13). Artinya Allah dengan sendiri-Nya, tiada dengan pertolongan yang lain yang telah memulai menjadikan dan menciptakan sesuatu, “Dan Dia yang mengulang kembali.” (ujung ayat 13). Misalnya Allah menciptakan dari buah-buahan, seumpama mangga dan durian dari bijinya sebuah, dilemparkan dengan tak sengaja ke bumi atau ditanam dan dipupuk dengan sesungguh-sungguh. Lalu tumbuhlah dia; mulanya berdaun dua helai saja, lama-lama tumbuh dengan suburnya sejak dari daun dua helai lalu rimbun rampak berdahan, bercabang dan beranting, berdaun dan berbungan, berputik dan berbuah. Begitulah keadaannya dimulai sejak dari sebuah biji mangga sampai kelaknya berbuah beribu-ribu pada tiap musim. Maka tiap-tiap biji dari buahnya tadi, bila datang waktunya, dia pun akan mengulang lagi tugas yang telah diterimanya sebagai lanjutan daripada tugas yang mula ditanamkan dahulu; mulai lagi dan ulang lagi.

Demikianlah segala-galanya ini; bermulai dan berulang dalam keadaan yang baru pula. Seorang manusia lahir ke dunia, berasal dari setetes mani yang menjadi nuthfah, ‘alaqah dan mudhghah, lalu menjelma jadi manusia lengkap. Kemudian itu mati, lalu dikuburkan ke dalam perut bumi. Hancurlah daging yang memalut tulang, kembali kepada asal mulanya, yaitu bingkah bungkahan tanah. Maka tumbuhlah sesuatu tumbuhan di atas kubur itu, entah pohon kamboja entah pohon puding yang bernama “cucuk-kerah”. Urat-urat pohon tadu meresapkan sari tanah. Sebahagian dari tanah yang berasal dari daging tubuh manusia tadi, timbul kembali dalam bentuk lain. Sampai Failasuf Islam Iran yang terkenal, Omar Khayam dalam Robayatnya yang terkenal mengatakan bahwa mungkin saja tembikar pecahan periuk yang terinjak oleh kakimu, adalah bahagian tubuh dari nenek-moyangmu.

“Dan Dia adalah Maha Pengampun.” (pangkal ayat 14). Maha Pengampun atas dosa dan kesalahan yang kita perbuat di dalam hidup kita, karena kedatangan sekali ke atas dunia ini, dan belum pernah datang sebelumnya menyebabkan kita belum berpengalaman. Niscaya akan terdapat jua kesalahan dalam menempuh jalan hidup itu. Akan tetapi kita insaf dan sadar, lalu kita memohonkan ampun dan kurnia Ilahi, niscaya akan diberinya ampun: “Maha Penyayang.” (ujung ayat 14). Artinya bahwa Allah itu Penyayang, Pengasih dan sangat Cinta akan hamba-Nya. Dituntun-Nya hamba-Nya itu, diutus-Nya Rasul-rasul-Nya untuk menunjukkan jalan. Diperingatkan-Nya dengan wahyu-wahyu berulang-ulang agar manusia jangan menempuh jalan yang salah.

“Yang empunya Arsy.” (pangkal ayat 15). ‘Arsy berarti Mahligai, atau Takhta, atau Singgasana tempat duduk bersemayam. Dia adalah perlambang daripada kekuasaan yang mutlak. Apakah ‘Arsy Tuhan itu sesuatu benda, atau diartikan perlambang semata-mata, tidaklah perlu kita perbincangkan. Karena tidaklah ada kemampuan manusia dalam daerah hidup yang terbatas ini akan mengetahui keadaannya yang sebenarnya. Apakah dia hanya perlambang, ataukah dia bersifat benda, namun dalam keduanya itu jelas tidak diragukan lagi, bahwa telah terkandung arti kekuasaan: “Yang Maha Terpuji.” (ujung ayat 15). Dengan sendirinya timbullah pujian kepada Allah Tuhan Sarwa Sekalian Alam bilamana telah dilihat dan dirasakan betapa luas dan teraturnya kekuasaan itu. Bertambah halus perasaan manusia, bertambah tajam daya pengenalan pancaindera terhadap keindahan alam ini, bertambah terlompatlah dari dalam lubuk hati sanubari puji dan puja kepada Allah Maha Kuasa. “Yang berbuat apa yang Dia kehendaki.” (ayat 16). Artinya, apabila Dia berkehendak sesuatu diperbuatnyalah. Tak ada yang dapat menghalangi. Dalam sekejap mata kemegahan si manusia yang telah merasa dirinya sampai di puncak, dapat saja diturunkannya ke bawah dan hancur. Dan dalam sekejap mata itu pula orang yang tadinya tidak penting, bisa naik.

Sebab kekuasaan-Nya adalah meliputi langit dan bumi. Kekayaan dan kekuasaan yang didapat oleh manusia yang disangka telah kokoh, kelemahannya terletak di dalam sendinya sendiri, yang manusia tidak tahu, dan baru dia tahu kelak kesalahan dan kelemahan itu setelah dia jatuh.

Al Buruuj 17 – 22

$
0
0

TENTARA – TENTARA

“Adakah sudah datang kepada engkau berita tentara-tentara?” (ayat 17). “Fir’aun dan Tsamud?” (ayat 18).

Ayat-ayat ini berupa pertanyaan. Kita pun sudah tahu bahwa dahulu dari Surat Al-Buruuj ini sudah banyak ayat menerangkan tentang Fir’aun dan Tsamud, dan setelah ini akan datang lagi ayat yang lain. Lantaran itu ayat dimulai dengan pertanyaan adalah semata untuk mengingatkan kejadian itu. Kita pun tahu bahwasanya yang dimaksud dengan tentara ialah kekuatan tersusun, atau organisasi yang teratur. Bukan saja Fir’aun dan Tsamud, bahkan yang lain pun demikian juga halnya. Dengan secara tentara yang teratur mereka mencoba menantang Nabi-nabi dan Rasul-Rasul Allah. Ada Fir’aun, ada Tsamud, ada ‘Aad, ada penduduk Sadum dan Gamurrah dan ada Madyan dan Ash-habul Aikah dan lain-lain. Dengan tentara teratur, secara perlambang ataupun secara kenyataan mereka semua mencoba menantang kebenaran yang dibawa oleh Nabi-nabi Allah.

“Bahkan orang-orang yang kafir itu dalam keadaan mendustakan.” (ayat 19).

Dimulai dengan kata Bal, yang berarti bahkan! Untuk menjelaskan bahwasanya orang-orang yang kafir itu selama-lamanya akan tetap mendustakan, baik di zaman Fir’aun atau di zaman Tsamud, ataupun di zaman Muhammad Saw. Dengan susunan seakan-akan teratur mereka menantang dan mendustakan apa yang dibawa oleh Rasul.

Tetapi apakah mereka berhasil? Baik mereka di zaman lampau atau di zaman ini, ataupun di zaman nanti? Sehingga manakah batas kekuatan mereka? Adakah yang batil akan menang menantang yang hak?

“Padahal Allah dari belakang mereka, selalu mengepung.” (ayat 20). Tegasnya, bagaimanapun gagah perkasa mereka sebagai Fir’aun dan Tsamud itu bahkan walaupun mereka menyusun kekuatan sebagai tentara, namun mereka sadari atau tidak sebenarnya sejak mereka memulai langkah, Allah telah mengepung mereka dari kiri-kanan, muka-belakang, atas dan bawah.

Satu di antara alat pengepung kepunyaan Allah itu ialah maut! Adakah pada mereka kekuatan buat menantang maut? Yang kedua ialah oleh karena yang mereka pertahankan itu ialah hal yang batil, misalnya menyembah berhala, taqlid kepada nenek-moyang, atau kedudukan dan kemegahan dalam masyarakat, maka tidaklah semuanya itu akan tahan bila beradu dengan yang hak. Apabila berlawanan iman dengan kufur, pastilah kufur jua yang akan kalah. Mereka dikepung Tuhan dari segala penjuru.

Yang penting dalam hal ini ialah keteguhan hati para pejuang yang menuruti jejak Rasul mempertahankan dan memperjuangkan Kebenaran itu. Dan intisari Kebenaran yang hendak diperjuangkan itu sudah termaktub di dalam Al-Qur’an.

“Bahkan, dia adalah Al-Qur’an yang tinggi mulia.” (ayat 21). Sebab kata-kata yang termaktub di dalamnya adalah sabda Ilahi. Sebab itu sucilah sifatnya. Mengatasi undang-undang dan percikan permenungan manusia: “Di dalam LUH yang terpelihara.” (ayat 22).

Luh yang terpelihara, atau Luh Mahfuzh. Di sanalah kata asli atau original Al-Qur’an itu tersimpan. Qaul itu sendiri qadim sifatnya, kekal selama ada alam semesta. Karena Kebenaran itu tidaklah dapat dingaruhi oleh ruang dan waktu. Asal arti kata LUH ialah batu picak tipis, laksana batu tulis anak sekolah atau batu lain yang di sana dapat dipahatkan satu tulisan. Apakah sifat LUH MAHFUZH yang dalam ayat ini sebagai batu tulis pula? Itu pun tak usah mengganggu fikiran kita. Jangan bertengkar lagi Mu’tazilah Moden dengan Ahlus-Sunnah Moden. Yang terang ialah bahwa kebenaran itu tetap terlukis dan terpahat di dalam Alam Cakrawala ini. Dan Al-Qur’an sendiri sebagai wahyu Ilahi tidaklah pernah berobah; terpelihara dia daripada tahrif, yaitu diobah-obah titik atau barisnya atau kalimatnya oleh tangan manusia, sehingga bisa pula berobah artinya, sebagaimana yang telah berlaku pada kitab-kitab Nabi-nabi yang terdahulu.

Oleh karena telah demikian terjaminnya kesucian Al-Qur’an, tidaklah akan dapat meruntuhkannya usaha dari orang-orang yang kafir itu. Malahan merekalah yang selalu dalam terkepung oleh kebesaran Allah.

Ath Thaariq 1 – 4

$
0
0


BINTANG THARIQ

Pembukaan Surat ini dimulai Allah dengan mengambil alam yang Dia jadikan untuk jadi sumpah. Sebagai telah kita maklumi, sumpah Tuhan atas segala sesuatu ialah sebagai anjuran agar kita menumpah perhatian kepada yang diambil Allah jadi sumpah itu. Di ayat 1 ini terdapat dua yang disumpahkan Tuhan. Pertama langit. Dan sumpah tentang langit ini akan banyak kita dapati dalam ayat-ayat yang lain, baik dalam Surat ini sendiri (ayat 11), ayat Surat-surat yang lain, terutama Surat-surat yang terligkung dalam Juzu’ 30 ini. Tetapi sumpah dengan Thariq ini jarang-jaranglah kejadian.

Kalimat Thariq jika diartikan ke dalam bahasa kita, asal artinya ialah mengetuk atau memukul yang keras. Sebagai orang yang mengetuk pintu orang lain tengah malam agak keras, supaya yang empunya rumah lekas bangun, karena dia membawa berita penting.

Sebab itu maka jalan raya yang selalu dilalui manusia dinamai dalam bahasa Arab Ath-Thariiq (dengan tidak beralif-saksi di huruf Tha dan memakai Ya, supaya dibaca panjang pada huruf Raa yang baris di bawah). Sebab jalan raya itu selalu diketuk oleh kaki manusia, kaki kudan dan roda kendaraan yang lalu lintas.

Maka datanglah ayat yang kedua: “Dan adakah pengetahuan engkau, apakah yang mengetuk itu?” (ayat 2).

Pertanyaan pada ayat yang kedua ini, sebagaimana banyak juga terdapat di beberapa ayat yang lain, ialah guna lebih menarik minat dan perhatian Rasulullah SAW kepada barang yang diambil sumpah oleh Allah itu. Dan kita pun sudah maklum bahwa Nabi Muhammad SAW tidaklah akan tahu mengapa maka Ath-Thariq atau pengetuk itu yang diambil jadi sumpah oleh Tuhan. Niscaya Nabi Muhammad lebih berminat menunggu keterangan dari Tuhan sendiri. Lalu Allah meneruskan firman-Nya memberitahukan apakah yang disebut Thariq itu:

Ath-Thariq ialah: “Suatu bintang yang menembus.” (ayat 3).

Dapatlah diambil kesimpulan dari deretan ketiga ayat ini, bahwa di alam cakrawala itu ada suatu bintang yang melancar dengan keras dan cepat, laksana mengetuk pintu yang terkunci sehingga orang yang enak tidur jadi terbangun. Sifatnya ialah menembus. Yang ditembusnya ialah kegelapan malam. Bila bintang yang bergerak cepat itu lalu di dalam gelap gulita, tembuslah kegelapan itu dan timbullah cahaya di kelilingnya.

Dan kadang-kadang kita pun dapat menyaksikan bintang-bintang Thariq itu bila langit jernih di tengah malam, dan bintang-bintang bercahaya berkelap-kelip. Kadang-kadang jelas sekali melintas satu bintang comet, cepat sekali. Ditembusnya kegelapan malam.

Lalu rahasia ini dibukakan oleh ahli-ahli tafsir. Bahwa Ath-Thariq itu adalah perumpamaan belaka daripada kedatangan Jibril ke atas dunia ini, membawa wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Cepat sekali, karena malaikat itu adalah Nur, atau cahaya. Ilmu pengetahuan tentang alam ini telah didapat serba sedikit oleh manusia, bahwa kecepatan perjalanan cahaya itu adalah 180.000 mil dalam satu detik! Kecepatan malaikat seratus kali dari itu. Dia melayang dengan cepatnya, menembus kegelapan malam. Atau kegelapan alam fikiran manusia yang telah diliputi oleh jahiliyah, tak ada pedoman hidup lagi. Dia mengetuk hati yang telah membeku dan membatu.

Inilah isi sumpah. Yang disumpahkan ialah Bintang. Namun dia lebih tinggi dari segi rohnya dari bintang itu sendiri.

Coba perhatikan susunan letak Surat. Ujung Surat Al-Buruuj (85) menyatakan Al-Qur’an tersimpan dan terpelihara pangkal Surat Ath-Thariq (86) ialah kiasan tentang Cahaya turunnya Jibril menembus kegelapan malam mengantar wahyu kepada Muhammad SAW.

SEMUA DIPELIHARA

“Tidak ada tiap-tiap diri, melainkan ada atasnya yang memelihara.” (ayat 4).

Artinya tegas sekali: Tidak ada satu diri pun yang terlepas daripada penjagaan dan pemeliharaan Tuhan.

Dengan ayat sependek ini terungkaplah seluruh jaminan hidup Allah atas semua makhluk-Nya yang empunya diri, yang bernyawa. Sedangkan ikan dalam laut, serangga menjalar di bumi, cacing di balik tanah, sampai kepada binatang liar di hutan lebat, semuanya dijaga dan dipelihara oleh Allah, dijamin rezekinya, dilindungi hidupnya, apatah lagi manusia.

Setelah ada penjagaan yang demikian, niscaya diperhitungkan pula amalnya, buruknya dan baiknya, sehingga manusia tidak dapat menyembunyikan diri dan mengelak dari tanggung jawab.

Ath Thaariq 5 – 10

$
0
0

RENUNGKANLAH DARI MANA ASALMU

“Maka hendaklah memandang manusia.” (pangkal ayat 5). Hendaklah manusia merenungkan, memikirkan atau memandang dengan mata hati kepada keadaan yang terlindung di balik kenyataan, padahal dari sana asal kenyataan itu; perhatikanlah: “Dari apakah dia diciptakan.” (ujung ayat 5).

Engkau yang telah bertubuh gagah ini, atau manusia yang mabuk dengan kedudukan dan kemegahan, yang menyangka bahwa dunia ini telah dapat dikuasainya; perhatikanlah daripada asal mula engkau jadi.

“Dia diciptakan daripada air yang melancar.” (ayat 6).

Yaitu daripada air mani atau dalam bahasa tua disebut Kama. Dari puncak kelazatan bersetubuh, melancarlah dengan cepatnya mani itu keluar, laksana meloncat mendesak keluarnya. “Yang keluar dari antara shulbi dan taraib.” (ayat 7).

Maka berkatalah ahli tafsir dan ahli bahasa; Shulbi ialah deretan tulang punggung laki-laki. Demikianlah perjalanan darah manusia diatur pada ginjal. Dia yang akan memisahkan di antara darah manusia dengan mani. Darah mengumpul kepada jantung; dari jantung dia berbagi dengan cepat sekali, pergi dan pulang di seluruh tubuh. Dan dari ginjal yang terletak di tulang punggung itu pula mani tadi disaringkan, buat turun ke bawah, yaitu kepada buah-buah (pelir) laki-laki. Dengan demikian jelaslah bahwa shulbi ialah deretan tulang punggung. Dan ditating oleh tulang punggung itu terletak ginjal, yang dinamai juga buah punggung.

Taraib ialah tulang dada bagi perempuan, yang di sana terletak susunya (tetek). Maka syahwat perempuan yang menimbulkan maninya itu lebih berpusatlah kepada susunya. Dan susu itu pula yang dipergunakan Allah menjadi “magnit” penarik syahwat laki-laki. Tetapi kemudian susu itu pula dijadikan penyimpan makanan (air susu) yang akan diminum oleh anak agar dia besar.

Begitulah kejadian manusia pada mulanya, yang manusia tidak boleh melupakan itu, supaya janganlah dia sombong dalam dunia ini.

“Sesungguhnya Dia, atas mengembalikannya, adalah sangat sanggup.” (ayat 8).

Kalau kiranya dari air mani yang meloncat melancar dari kemaluan seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kemudian berpadu satu menjadi nuthfah, dan akhirnya jadi orang, jadi manusia dan diangkat jadi raja atau presiden, jadi ahli fikir ataupun jadi seorang Nabi, dan yang menciptakan dengan jalan semacam itu ialah Allah Ta’ala, tentu saja tidaklah layak kita membantah jika Allah itu Maha Kuasa mengembalikan hidup sesudah melalui alam kematian kelak. Maka tidaklah layak manusia yang selalu menyaksikan asal mula jadinya manusia, jika dia membantah dan tidak mau percaya akan hidup yang kedua kali yang bernama Hari Akhirat itu.

Bilakah itu akan terjadi?

Ialah: “Pada hari yang akan jadi nyata segala yang tersembunyi.” (ayat 9). Dalam hidup di dunia ini, dapatlah manusia bersikap munafik, menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Sehingga ada kehidupan peribadi yang dirahasiakan ke muka umum dan ada kehidupan di muka umum. Pada kehidupan di muka umum itu, yang diperlihatkan hanya yang bagus-bagus saja. Di akhirat kelak terbukalah rahasia itu. Ditelanjangi manusia daripada bungkusan munafiknya. Kerdilah manusia yang dahulu membesarkan diri. Dan besarlah di hadapan Allah orang-orang yang taat mengikuti jalan yang digariskan-Nya, dengan bimbingan Nabi-nabi.

“Maka tidaklah ada baginya sembarang kekuatan pun.” (pangkal ayat 10). Sembarang kekuatan yang kamu megahkan di dunia ini tidaklah akan menolong. Walaupun engkau mempunyai peluru kendali, bom nuklir, meriam yang dapat menghancurkan sekian divisi tentara. Dikawal pun engkau kiri kanan akan percumalah kawalan itu. Sebab engkau di waktu itu sebagai Insan yang kecil laksanan cacing tengah berhadapan mempertanggungjawabkan hidup yang kamu lalui di masa lampau, di hadapan Tuhanmu sendiri: “Dan tidak (pula) yang akan membela.” (ujung ayat 10).

Siapa yang lain yang akan membela? Padahal yang dihadapi ialah hari akhirat, bukan di dunia yang dapat mencari “Sarjana Hukum” yang dapat menelaah dan mencari jalan-jalan keluar dari jeratan undang-undang. Permbelamu kalau ada tidak lain hanya amal di kala hidupmu.


Ath Thaariq 11 – 17

$
0
0

Sekali lagi Allah bersumpah dengan langit sebagai makhluk-Nya: “Demi langit yang menurunkan hujan.” (ayat 11). Langit yang dimaksud di sini tentulah yang di atas kita. Sedangkan di dalam mulut kita yang sebelah ke atas kita namai “langit-langit”, dan tabir sutera warna-warni yang dipasang di sebelah atas singgasana raja, atau di atas pelaminan tempat mempelai dua sejoli bersanding dinamai langit-langit jua, sebagai alamat bahwa kata-kata langit itu pun dipakai untuk yang di atas. Kadang-kadang diperlambangkan sebagai ketinggian dan kemuliaan Tuhan, lalu kita “tadahkan tangan ke langit” seketika berdoa. Maka dari langit itulah turunnya hujan. Langitlah yang menyimpan air dan menyediakannya dan menurunkannya menurut jangka tertentu. Kalau dia tidak turun, kekeringanlah kita di bumi ini dan matilah kita.

Di dalam ayat 11 ini terdapat kata-kata raj’i yang diartikan hujan. Padahal asal maknanya ialah kembali sebagai di ayat 8 tadi terdapat juga raj’i dengan arti asalnya: kembali!

Mengapa raj’i artinya di sini jadi hujan? Sebab hujan itu memang air dari bumi juga, mulanya menguap naik ke langit, jadi awan berkumpul dan turun kembali ke bumi, setelah menguap lagi naik kembali ke langit dan turun kembali ke bumi. Demikian terus-menerus: Naik kembali, turun kembali.

Lalu Allah bersumpah dengan makhluk-Nya yang satu lagi, yaitu bumi tempat kita hidup ini: “Demi bumi yang menimbulkan tumbuh-tumbuhan.” (ayat 12). Maka bertalilah di antara langit dengan bumi itu. Langit menurunkan hujan dan bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Banyak hujan, dapat hidup sentosa di bumi banyaklah yang tumbuh. Teratur hujan suburlah bumi.

Dan kamu hai insan, hanyalah karena belas-kasihan Allah yang mengatur pertalian langit dan bumi itu. Kalau kamu perhatikan itu, niscaya kamu akan insaf di mana letakmu dalam alam ini.

Sesudah mengambil sumpah dengan langit dan bumi itu, langsunglah Tuhan menjelaskan apa yang hendak di firmankan-Nya: “Sesungguhnya dia adalah kata yang tegas jitu.” (ayat 13). Tegas keluarnya dan jitu, maksudnya, tiada tedeng aling-aling, sehingga jelaslah menjadi fashl, yaitu pemisah di antara yang hak dengan yang batil: “Dan bukanlah dia suatu olok-olok.” (ayat 14). Itulah kata Al-Qur’an; tegas dan jitu sehingga bila “ketuk palunya” telah kedengaran tidak ada suara lain lagi. Sebab itulah kata putus yang tidak berolok-olok. Tidaklah dia kata yang tidak jelas ujung pangkal. Dia keluar daripada telaga jernih. Kebenaran. Bukan bolak-balik tak tentu arah dan bukan main-main. Sebab dia adalah firman Tuhan!

“Sesungguhnya mereka membuat dalih, sebenarnya dalih.” (ayat 15). Membuat tipu hendak mengelak, dengan sebenar tipu: “Dan Aku pun membuat dalih, sebenarnya dalih.” (ayat 16). Dengan segenap daya upaya orang yang kafir itu hendak mendalih menipu Tuhan, namun yang tertipu bukanlah Tuhan, melainkan diri mereka sendiri. Mereka kejar dunia, padahal yang pasti bertemu ialah akhirat. Mereka ingin panjang umur, padahal mereka takut tua. Mereka sayangi dunia, padahal kuburlah yang menunggu mereka.

“Maka perlambat-lambatlah bagi orang-orang kafir itu.” (pangkal ayat 17). Lambat akan datang pembalasan azab, ini pun salah satu tipuan Tuhan: “Aku pun memperlambat-lambatnya pula, sebentar.” (ujung ayat 17). Mereka sangka perlambatan itu akan lama, padahal hanya sebentar. Karena akhirnya hanya akan berdiri juga di hadapan Allah memperhitungkan kelalaian yang telah dilakukan di kala hidup.

Hari-hari yang telah kita lampaui itu, rasakanlah! Bukankah hanya sebentar saja rasanya. Sedang mencoba-coba hidup, hidup pun habis.

Al A’laa 1 – 5

$
0
0


Ucapkan kesucian bagi nama Allah, Tuhan sarwa sekalian alam, itulah yang disebut tasbih. Dia diungkapkan di dalam salah satu dzikir, yaitu Subhanallah!

Langit dan bumi pun mengucapkan kesucian bagi Allah. Dan itu dapat kita rasakan apabila sebagai insan kita tegak dengan sadar ke tengah-tengah alam yang di keliling kita ini. Siapa menjadikan ini semua dan siapa yang mengatur.

Disebutkan di ujung ayat salah satu sifat Tuhan, yaitu Al-A’laa. Artinya Yang Maha Tinggi, tinggi sekali, puncak yang di atas sekali dan tidak ada yang di atasnya lagi.

Ucapan tasbih itu adalah pupuk bagi Tauhid yang telah kita tanam dalam jiwa kita. Allah itu suci daripada apa yang dikatakan oleh setengah manusia. Mereka pun memuji Allah tetapi tidak bertasbih kepada Allah. Sebab Allah itu dikatakannya beranak. Ada yang mengatakan Allah itu beranak laki-laki seorang, yaitu anaknya yang tunggal. Itulah Isa Almasih anak Maryam dan bertiga dia menjadi Tuhan. Yang seorang lagi ialah Ruhul-Qudus atau Roh Suci. Padahal itu adalah Malaikat Jibril, bukan Tuhan. Bagi mereka Allah itu tidak Maha Tinggi sendiri-Nya, karena ada yang duduk sama rendah tegak sama tinggi dengan dia, yaitu Almasih dan Ruhul-Qudus itu.

Dan ada pula yang mengatakan bahwa Allah itu beranak. Tetapi anaknya perempuan belaka. Itulah Al-Laata, ‘Uzza dan Manaata yang besar. Ada pula yang mengatakan bahwa sekalian malaikat itu adalah anak Allah. Dan ada pula yang mengatakan bahwa banyak yang lain yang bersekutu dengan Allah itu. Sebab dia tidak berkuasa, tidak berupaya mengatur alam ini dengan sendiri.

Selalulah kita hendaknya bertasbih, mengucapkan kesucian bagi nama Allah, Yang Maha Tinggi itu. Sampai seketika ayat pertama ini diturunkan, Nabi kita bersabda:

“Jadikanlah dia dalam sujud kamu”

Dan seketika turun ayat 95 dan 96, Surat 56 (Al-Waqi’ah) yang berbunyi:

“Sesungguhnya ini, adalah dia sebenar-benar yakin. Maka ucapkanlah kesucian atas nama Tuhan engkau Yang Maha Agung.”

Maka bersabdalah Rasulullah SAW:

“Jadikanlah dia dalam ruku’mu”

Demikianlah asal mula bacaan ruku’ dan sujud yang berbunyi demikian:

“Amat Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi” (Waktu sujud) dan Yang Maha Agung (di waktu ruku’), lalu ditambahi dengan wa bi hamdihi :

“Dan disertai puji-pujian bagi-Nya.”

Itu pun adalah pelaksanaan daripada ayat 48 dan 49 dari Surat 52, Ath-Thuur:

“Dan ucapkanlah kesucian dengan memuji kepada Tuhan engkau seketika engkau berdiri sembahyang; dan daripada malam, maka ucapkan jualah kesucian untuk-Nya, dan seketika bintang-bintang mulai pudar cahayanya.” (Subuh).

Mengapa maka kita ucapkan kesucian bagi Tuhan kita?

Karena Dialah: “Yang telah menciptakan.” (pangkal ayat 2).

Khalaqa: berarti telah menciptakan daripada tidak ada kepada ada. Dan yang sanggup berbuat demikian hanyalah Allah sahaja. Setinggi-tinggi kekuatan kita makhluk ini hanyalah sehingga Ja’ala, yaitu menukar dari barang yang telah ada kepada bentuk lain. Misalnya kayu di hutan kita jadikan kursi, buat alas kursi kita ambil rotan yang tumbuh di hutan. Namun bahan asli adalah dari Allah sebagai ciptaan-Nya. Maka segala perbuatan manusia di dalam alam ini tidaklah ada cipta, yang ada hanyalah mempergunakan bahan yang telah ada buat merobah bentuk. Dan merobah bentuk itu pun sangat terbatas sekali. Kita tidak sanggup merobah bentuk darah jadi mani, mani jadi manusia! Sebab itu disamping Khalaqa, Tuhan Allah pun Ja’ala.

“Lalu membentuk dengan seimbang.” (ujung ayat 2).

Membentuk dengan seimbang inilah satu “arsitectur” dari Allah Yang Maha Tinggi sekali. Itu boleh kita perhatikan kepada padai atau gandum yang tumbuh di sawah. Kalau menurut ilmu ukur, adalah satu hal yang sangat sulit batang padi yang halus itu dapat berdiri dengan megahnya mendukung buah padi yang mulai masak. Di sana pasti terdapat suatu perseimbangan, yang menyebabkan dia tidak rebah. Rebahnya hanya kalau anging sangat keras dan deras.

Maka pada diri manusia pun terlihat perseimbangan itu. Dari kening permulaan tumbuh rambut sampai bibir adalah sejengkal, dan sejengkal itu adalah ukuran dari tumit sampai ke pangkal empu jari kaki. Pas dari pinggul sebelah muka sampai ke lutut, panjangnya ialah sehasta. Oleh sebab itu dapat diketahui berapa tinggi seseorang dengan hanya melihat jejak kakinya. Maka badan manusia itu adalah sawwaa: artinya diperseimbangkan oleh Tuhan. Perseimbangan itu akan kita lihat pada alam sekeliling kita, sejak dari mikrokosmos (alam kecil) sampai kepada makrokosmos (alam besar); sejak dari molokul sangat kecil sampai kepada cakrawala yang besar.

“Dan yang telah mengatur.” (pangkal ayat 3). Kita artikan mengatur kalimat qaddara. Fill mudhari’nya ialah yuqaddiru dan mashdarnya ialah taqdiiran. Dia telah menjadi rukun (tiang) Iman kita yang keenam. Kita wajib percaya bahwa samasekali ini diatur oleh Allah. Mustahil setelah alam Dia jadikan, lalu ditinggalkannya kalau tidak teratur.

Selain daripada takdir Allah pada alam semesta, kita pun mempercayai pula takdir Allah pada masing-masing diri peribadi kita. Kita ini hidup tidaklah dapat melepaskan diri daripada rangka takdir itu. Dan ada takdir yang dapat kita kaji, kita analisa dan ada takdir yang tersembunyi dari pengetahuan kita.

Misalnya tidak bisa kita menyangka ketika kita turun dari rumah akan ada bahaya. Lalu kita menyeberangi suatu sungai. Tiba-tiba sedang kita di tengah-tengah sungai itu datang air bah, kita pun hanyut, karena takdir Allah ada air bah. Tetapi kita ditakdirkan sampai di tepi seberang dengan selamat, karena kita pandai berenang dan mengetahui jika air bah jangan menyongsong, tetapi turuti derasnya air dan ansur kemudikan diri ke tepi. Semuanya itu takdir.

“Lalu Dia memberi petunjuk.” (ujung ayat 3). Maka tidaklah kita dibiarkan berjalan saja di muka ini dengan hanya semata-mata anugerah perseimbangan dan peraturan Ilahi atas alam. Di samping itu diri kita sendiri pun diberi petunjuk. Petunjuk itu diberikan dari dua jurusan. Pertama dari jurusan bakat persediaan dalam diri; itulah akal. Kedua ialah petunjuk yang dikirimkan dengan perantaran para Nabi dan para Rasul.

“Dan yang telah mengeluarkan rumput-rumput pengembalaan.” (ayat 4). Dengan ayat ini diisyaratkan kepada kita bahwa untuk persediaan hidup kita manusia ini, selalulah ada pertalian dengan makhluk lain, yaitu binatang ternak. Terutama di Tanah Arab tempat mula ayat ini diturunkan. Kehidupan Badwi yang berpindah-pindah adalah sambil menghalau untanya, kambing ternaknya, termasuk juga sapi. Yang mereka cari ialah tanah yang subur yang di sana tumbuh rumput untuk menggembalakan ternak mereka itu. Asal makanan ternak itu subur terjamin, hidup mereka pun makmur. Segala yang dicita-citakan dapat dicari.

“Lalu kemudiannya menjadikannya kering kehitaman.” (ayat 5). Artinya bahwa pergantian musim pun mempengaruhi tumbuh dan suburnya rumput-rumput di tanah penggembalaan itu. Dan kalau rumput di satu tempat telah kering kehitaman, mereka pun akan mencari padang rumput yang lain, dan selalu ada. Sampai mereka pun menetaplah membuat negeri.

Dapatlah disimpulkan bahwasanya ayat 1 adalah anjuran ataupun perintah kepada ummat yang beriman, di bawah pimpinan Rasul SAW supaya selalu mengucapkan puji suci kepada Allah. Bersihkan anggapan kepada Allah daripada kepercayaan yang karut-marut, mempersekutukan Allah dan berkata atas Allah dengan tidak ada ilmu. Sedang 4 ayat selanjutnya adalah membuktikan kekuasaan Allah itu, yang tiada bersekutu yang lain dengan Dia dalam segala perbuatan-Nya.

Al A’laa 6 – 13

$
0
0

“Akan Kami jadikan engkau membaca.” (pangkal ayat 6). Artinya diutus Allah Malaikat Jibril, selain dari membawakan wahyu, ditugaskan lagi kepadanya mengajarkan membacanya kepada Nabi Muhammad SAW. “Maka engkau tidaklah akan lupa.” (ujung ayat 6). Artinya bahwa setelah diajarkan itu lekatlah selalu dalam ingatan beliau, sehingga beliau tidak lupa lagi mana ayat-ayat yang telah turun itu.

Az-Zamakhsyari menulis dalam tafsirnya: “Inilah satu berita gembira dari Allah kepada Rasul-Nya, SAW yang menunjukkan mu’jizat yang tinggi. Datang Jibril membacakan kepadanya, sampai dia ingat betul dan membacanya pula, sedang dia sendiri adalah ummi, tidak pandai menulis dan tidak pandai membaca; dia pun hapal dan tidak lupa lagi.”

Malahan seketika ayat mula-mula turun dilakuinya terus-terang bahwa dia tidak pandai membaca.

“Kecuali apa yang dikehendaki Allah.” (pangkal ayat 7). Artinya, bahwa dengan kehendak Allah jua, tidaklah mustahil kalau kadang-kadang ada yang terlupa baginya. Dan kelupaan yang kadang-kadang itu, sebab beliau manusia, mesti ada padanya. Yang tidak pernah lupa sama-sekali hanya Allah sahaja. Nabi SAW pun bersabda:

“Tidak lain aku ini hanyalah manusia seperti kamu jua. Aku pun lupa sebagaimana kamu lupa. Maka bilamana aku kelupaan, peringatilah aku.”

(Riwayat Bukhari dan Muslim)

Disebut di pangkal ayat ini “kecuali apa yang dikehendaki Allah,” untuk menjelaskan bahwa meskipun pada umumnya tidaklah ayat-ayat itu akan terlupa oleh beliau, namun ingatan beliau tidak jugalah sebagai ingatan Allah. Tetapi kalau telah diingatkan yang lupa sedikit itu, beliau ingat kembali semuanya dan beliau teruskan lagi membacanya. Dan itu bukanlah satu aib. “Sesungguhnya Dia mengetahui yang nyata dan apa yang tersembunyi.” (ujung ayat 7).

Artinya: sesungguhnya hanya Dia saja, Allah, yang serba tahu. Dia tahu barang yang nyata, Dia ingat semuanya, sebab Dia yang empunya. Dia yang menguasai. Dan yang tersembunyi dari penglihatan mata, baik karena terlindung oleh sesuatu, atau tidak akan dapat dilihat buat selama-lamanya oleh kita manusia, meskipun dia barang yang sedekat-dekatnya kepada kita, umpama otak benak kita sendiri, mata dan jantung kita sendiri, atau punggung kita, namun bagi Allah semuanya itu diketahui-Nya. Tentu saja Rasul yang mana pun Nabi yang mana pun tidak mencapai martabat Tuhan sebab mereka semuanya adalah Hamba Tuhan, bukan bersekutu dengan Tuhan.

Sungguhpun demikian, pada ayat yang seterusnya, Allah memberikan janji dan jaminan bagi Rasul-Nya:

“Dan akan Kami mudahkan engkau kepada jalan yang mudah.” (ayat 8).

Artinya jalan yang akan engkau tempuh ini tidak sukar dan agama ini pun tidaklah sukar. Perintah yang terkandung di dalamnya tidaklah akan berat dipikul oleh ummat manusia, asal mereka percaya; iman. Meskipun akan ada rintangan, namun rintangan itu kelak akan menambah yakinnya engkau akan kebenaran yang engkau bawa itu.

Maka segala perintah yang diperintahkan Tuhan mudah dikerjakan, sebab tidak ada perintah Allah yang tak dapat dipikul oleh manusia. Tidak kuat sembahyang berdiri karena sakit, boleh dikerjakan dengan duduk. Tak kuat duduk boleh dikerjakan dengan tidur. Tak ada air wudhu’, boleh diganti dengan tayammum. Demikian juga perintah-perintah yang lain. Bahkan naik haji hanya sekali saja yang wajib bagi barangsiapa yang sanggup ke sana dengan perongkosan dan kesihatan. Belum lengkap kesanggupan itu, belum wajib ke Makkah.

Demikian juga larangan. Segala yang berbahaya bagi diri, bagi agama, bagi keturunan, bagi hartabenda dan bagi keamanan bersama dilarang oleh Tuhan, agar hidupmu peribadi atau hidupmu dalam masyarakat tetap dalam perseimbangan yang baik.

“Maka beri peringatanlah.” (pangkal ayat 9).

Memberi peringatan adalah kewajiban yang ditugaskan kepada diri Nabi SAW. Tetapi hendaklah ditilik ruang dan waktu, mungkin dan patutnya, supaya peringatan itu berhasil. Berilah peringatan: “Jika memberi manfaat peringatan itu.” (ujung ayat 9).

Dengan ayat 9 ini bertemulah suatu kewajiban menyelidiki bagaimana agar peringatan itu ada manfaatnya. Jangan sebagai menumpah ke atas pasir saja, hilang tak berbekas.

Di dalam Surat 51, Adz-Dzariat ayat 55 tersebut:

“Beri peringatanlah, karena sesungguhnya peringatan itu ada manfaatnya bagi orang-orang yang beriman.”

Maka tidaklah memberi manfaat misalnya berpidato agama dan menyuruh manusia zuhud membenci dunia dalam gedung parlemen. Atau berpidato lucu-lucuan di rumah orang kematian. Berpidato bersedih hati di perayaan perkawinan. Pidato membenci harta pada rakyat yang miskin. Dan lain-lain sebagainya.

Maka bukanlah memberi manfaat peringatan yang dilarang dalam ayat 9 ini, melainkan yang dilarang ialah pidato yang tidak ada manfaatnya, karena tidak tahu waktu dan tempatnya.

“Akan beringat-ingatlah orang yang takut.” (ayat 10). Yaitu bahwa bagi orang yang telah tertanam di dalam dirinya rasa khasyyah, takut kepada Allah, peringatan itu akan besarlah faedahnya. Sekepal akan dibumikannya, setitik akan dilautkannya, dipegangnya erat, di buhulnya mati.

Dan sebaliknya bagi yang tidak takut kepada Tuhan:

“Dan akan menjauhlah daripadanya orang yang celaka.” (ayat 11). Siapakah orang celaka itu?

Yaitu orang: “Yang menyala-nyalakan api yang besar.” (ayat 12). Artinya bahwa di dalam hidupnya ini tidak ada usahanya hendak mendekati syurga, dengan takut kepada Tuhan, dengan Iman dan Amal yang shalih. Telinganya ditutupnya daripada mendengarkan peringatan yang benar. Dia asyik memperturutkan hawa nafsunya. Sebab itu maka sejak kini dia telah mulai menyalakan api neraka yang besar buat membakar dirinya sendiri. Bertambah dia membikin dosa, bertambah dia menyalakan api. Dia tidak mau melaksanakan perintah Ilahi yang telah menciptakannya, yang telah membuat perseimbangan dalam dirinya, yang telah mengatur hidupnya dan memberikan petunjuk kepadanya. Dia tutup telinganya daripada mendengarkan itu semuanya, lalu yang dikerjakannya ialah apa yang dilarang. Merusak peribadi sendiri dengan memakan dan meminum yang haram, tidak sembahyang, tidak puasa, tidak berzakat. Tidak berniat menolong sesamanya manusia yang melarat dan dosa-dosa lain, sehingga putus tali hubungan batinnya dengan Tuhan dan dengan manusia dengan dirinya sendiri.

Dinyalakannya api neraka itu dari sekarang. Dan ke sanalah dia akan pergi kelak di akhirat. Karena jalan yang ditujunya memang ke sana sejak semula hidup.

“Maka tidaklah mereka akan mati di dalamnya dan tidak pula akan hidup.” (ayat 13).

Meranalah dia di dalam neraka itu. Tidak akan mati, sebab mati hanya sekali saja, yaitu ketika hari perpindahan daripada Alam Fana, Dunia kepada Alam Khulud Akhirat. Padahal di dunia ini banyaklah orang yang mati terlepas dari sengsara karena sakit telah sampai di puncak. Terlalu sakit orang pun mati. Terlalu panas, mati. Terlalu dingin, mati. Terlalu susah, mati. Malahan ada orang yang ingin saja lekas mati, karena derita itu rasanya tidak terpikul lagi.

Dalam neraka itu tidaklah akan dapat terlepas dari sengsara azab dengan mati. Karena mati tidak ada di sana. Dan tidak pula dapat hidup. Karena hidup berarti di akhirat itu ialah di dalam syurga Jannatun Na’im dengan segala nikmat yang telah disediakan Allah bagi hamba-Nya.

Maka adalah satu pepatah Melayu terkenal yang dapat sedikit menggambarkan penderitaan di neraka itu: “hidup segan, mati tak mau.”

Al A’laa 14 – 19

$
0
0

“Sungguh, beroleh kemenanganlah siapa yang mensucikan.” (ayat 14). Artinya, menanglah di dalam perjuangan hidup ini barangsiapa yang selalu mensucikan atau memberishkan dirinya daripada maksiat dan dosa, baik dosa kepada Allah dengan mempersekutukan Allah dengan yang lain, atau dosa kepada sesama manusia dengan menganiaya atau merampok hak orang lain, atau kepada diri sendiri memendam rasa dendam dan dengki kepada sesamanya manusia. Maka kalau seseorang dapat berusaha mengendalikan dirinya, akan terlepaslah dia daripada kekotoran. Terutama kekotoran jiwa.

“Dan yang ingat akan nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” (ayat 15). Usaha mensucikan diri sebagai tersebut di ayat 14 itu, tidaklah akan berhasil kalau tidak selalu mengingat Tuhan. Melakukan zikir, selalu ingat kepada Allah adalah kendali yang sebaik-baiknya atas diri. Karena kita menanamkan rasa dalam diri bahwa Tuhan selalu ada dekat kita dan ingat kepada Allah itu disertai pula dengan mengerjakan sembahyang lima waktu, termasuk di dalamnya doa dan munajat, yaitu menyeru kepada Tuhan selalu, memohonkan bimbingan-Nya. Dan sembahyang itu sendiri pun adalah termasuk zikir juga. Di dalam Surat 8, An-Anfal ayat 2 dijelaskan faedah zikir bagi orang yang beriman: yaitu bahwa hatinya akan bertambah lembut dan patuh kepada Tuhan. Di dalam Surat 20, Thaha, disuruh mendirikan sembahyang agar selalu ingat (zikir) kepada Allah.

“Akan tetapi kamu lebih mementingkan hidup di dunia.” (ayat 16).

Akan tetapi sayang sekali, ada di antara kamu yang tidak memperdulikan seruan Tuhan agar mensucikan diri, mengingat Allah dan melakukan sembahyang. Masih ada di antara kamu yang lebih mementingkan hidup di dunia ini saja, tidak mengingat lanjutan hidup di hari akhirat. Sudah sendang tenteram saja hatinya di negeri dunia yang hanya tempat singgah sebentar ini: “Dan Akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (ayat 17).

Tidak mereka sadari bahwa perjalanan hidup ini masih ada lanjutan, yaitu hari akhirat. Padahal untuk mencapai kebahagiaan di akhirat itu, di dunia inilah ditentukan. Dengan mengerjakan amal yang shalih, dengan menanamkan jasa yang baik, dengan memupuk budi yang luhur. Maka apa yang ditanam di dunia ini, di akhiratlah masa mengetamnya. Di situlah kelak nikmat yang tidak putus-putus.

“Sesungguhnya” (pangkal ayat 18). Yaitu nasihat-nasihat dan peringatan yang telah dimulai pada ayat 14 tadi, bahwa yang menang dalam hidup ialah orang yang selalu berusaha mensucikan atau membersihkan jiwa, bukanlah dia semata-mata pengajaran yang timbul sejak Nabi Muhammad SAW dan bukan wahyu dalam Al-Qur’an saja. Ajaran ini: “Telah ada di dalam shuhuf yang dulu-dulu.” (ujung ayat 18).

Sebagaimana telah kita ketahui, wahyu yang diturunkan kepada Nabi-nabi itu ada saja catatannya. Catatan ini dinamai shuhuf, kertas yang digulung, lalu dikembangkan ketika membacanya. Maka macam-macamlah shuhuf itu. Yang lebih tebal dinamai Kitab atau Zabur dan yang terpecah-pecah dinamai shuhuf. Al-Qur’an sendiri setelah dikumpul jadi satu Surat-surat yang 114, ada yang panjang dan ada yang amat pendek, dinamailah dia mushaf.

Tersebutlah di dalam ayat ini bahwa pengajaran ini bukanlah pengajaran sekarang saja. Dia telah tua. Dia telah tersebut juga dalam shuhuf yang dulu-dulu. Terutama: “(Yaitu) Shuhuf Ibrahim dan Musa.” (ayat 19).

Samalah kiranya ajaran yang diberikan kepada ummat manusia ini dari zaman ke zaman. Supaya kiranya manusia berusaha selalu membersihkan dari dosa, atau menyadari diri agar jangan sampai bergelimang dosa. Karena telah pun tersebut dalam Surat 26, Asy-Syu’ara’, ayat 88 dan 89, bahwa pada hari itu kelak tidaklah bermanfaat harta yang disimpan dan tidak pula anak-anak dan keturunan. Kecuali barangsiapa yang datang menghadap kepada Allah dengan hati yang bersih.

KELEBIHAN SURAT INI

Menurut sebuah Hadis yang dirawikan oleh Muslim dari Nu’man bin Basyir, adalah menjadi kebiasaan Rasulullah SAW mengambil Surat Sabbihisma Rabbikal A’laa dan Hal Ataaka Hadiitsul Ghaasyiyah untuk bacaan sembahyang Jum’at dan pada dua hari raya. Dan kadang-kadang berkumpul dalam satu hari, Jum’at dan Hari Raya; beliau baca jua kedua Surat ini di kedua sembahyang itu.

Menurut riwayat Aisyah pula, beliau SAW membaca Surat ini dalam sembahyang witir di rakaat pertama, Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruuna di rakaat kedua dan Qul Huwallaahu Ahad dan dua Qul A’uudzu di rakaat ketiga (terakhir).

Al Lail 1 – 4

$
0
0


“Demi malam, apabila dia kelam.” (ayat 1). Untuk menarik perhatian lagi bagaimana pentingnya malam bagi kehidupan manusia, untuk istirahat, untuk zikir dan tafakkur; “Demi siang, apabila dia terang.” (ayat 2). Apabila malam telah habis, fajar mulai menyingsing, kemudian diiringi oleh terbitnya matahari, maka hari pun sianglah. Dalam pergantian siang dan malam itulah manusia hidup, sebagaimana yang telah diterangkan juga pada Surat-surat yang lain. Lebih jelas lagi pembahagian itu dalam Surat 78, An-Naba’.

“Demi yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan.” (ayat 3). Atau yang pada mulanya sekali telah menciptakan Adam dan Hawa. Daripada kedua laki-laki dan perempuan itulah berkembang manusia di permukaan jagat ini, menjadi bangsa-bangsa, suku bangsa dan perkauman.

“Sesungguhnya usaha kamu itu bermacam-macam.” (ayat 4). Berkembang-biaklah laki-laki dan perempuan di muka bumi ini, hidup dalam pergantian di antara siang dan malam. Di waktu siang mereka berjalan, berusaha dan bekerja mengambil manfaat yang telah disediakan Allah. Usaha itu bermacam-macam menurut pembawaan, bakat dan menurut yang dipusakai dari lingkungan orang tua atau iklim tempat tinggal. Ada yang menjadi petani, saudagar, menjadi pelaksana pemerintahan dalam suatu masyarakat yang teratur dan ada pula yang menjadi penjaga keamanan Negara. Bermacam-macam, bersilang siur mata usaha manusia. Semuanya penting, yang satu berkehendak kepada yang lain. Maka tidaklah ada pekerjaan atau usaha yang hina, bahkan semuanya mulia dan baik, asal dilaksanakan menurut garis-garis yang telah ditentukan Tuhan, yaitu mengambil yang manfaat dan menjauhi yang mudharat.

Ketahuilah bahwa segala usaha manusia adalah mempunyai dua tujuan, yaitu keduanya sama pentingnya, dan kait-berkait di antara satu dengan yang lain. Usaha yang kita hadapi niscaya berdasar khidmat kepada sesama manusia. Asal khidmat kepada sesama manusia itu kita sadari, niscaya sesama manusia pun menghargai usaha kita itu. Sebab itu tidaklah ada satu macam usaha yang hanya untuk kepentingan diri kita sendiri. Dan tidak pula ada usaha yang hanya untuk kepentingan orang lain dan diri sendiri hanya mengerjakan saja dengan tidak mendapat faedah.

Diambil satu misal, yaitu seorang pengarang. Asal karangannya itu disengaja untuk kemuslihatan orang banyak, buku itu akan dihargai bahkan dibeli orang. Maka si pengarang akan mendapat untung dari penjualan itu. Bertambah naik dan bagus mutu karangannya, bertambah naik pula penghargaan masyarakat, dan si pengarang pun bertambah dapat untung pula. Sebab itu maka keuntungan masyarakat dan peribadi tidaklah dapat dipisahkan. Sebab hati dan perasaan menyukai yang baik, menjauhi yang buru, samalah di antara peribadi dengan masyarakat; sebab keduanya sama-sama diciptakan Tuhan daripada laki-laki dan perempuan.

Viewing all 93 articles
Browse latest View live