Quantcast
Channel: Tafsir Al Azhar | Tafsir Al Qur'an Oleh Buya HAMKA
Viewing all 93 articles
Browse latest View live

Al Fajr 15 -16

$
0
0

KALAU IMAN TIDAK ADA

Pada kedua ayat ini digambarkan jiwa manusia bila Iman tidak ada; “Maka adapun manusia itu, apabila diberi percobaan akan dia oleh Tuhannya, yaitu diberi-Nya dia kemuliaan dan diberi-Nya dia nikmat.” (pangkal ayat 15). Diberi dia kekayaan atau pangkat tinggi, disegani orang dan mendapat kedudukan yang tertonjol dalam masyarakat; yang di dalam ayat itu disebutkan bahwa semuanya itu adalah cobaan; “Maka berkatalah dia: “Tuhanku telah memuliakan daku.” (ujung ayat 15). Mulailah dia mendabik dada, membanggakan diri, bahwa Tuhan telah memuliakan dia. Dia masih menyebut nama Tuhan, tetapi bukan dari rasa Iman. Sehingga kalau kiranya datang orang minta tolong kepadanya, orang itu akan diusirnya, karena merasa bahwa dirinya telah diistimewakan Tuhan.

“Dan adapun apabila Tuhannya memberikan percobaan kepadanya, yaitu dijangkakan-Nya rezekinya.” (pangkal ayat 16). Dijangkakan, atau diagakkan, atau dibatasi; dapat hanya sekedar penahan jangan mati saja. Kehidupan miskin, dapat sekedar akan dimakan, dan itu pun payah; “Maka dia berkata: “Tuhanku telah menghinakan daku.” (ujung ayat 16).

Di dalam ayat ini bertemu sekali lagi bahwa kemiskinan itu pun cobaan Tuhan juga. Kaya percobaan, miskin pun percobaan.

Dalam Surat 21, Al-Anbiya’ ayat 35 ada tersebut:

“Tiap-tiap diri akan merasakan mati, dan Kami timpakan kepada kamu kejahatan dan kebaikan sebagai ujian; dan kepada Kamilah kamu semua akan kembali.”

Buruk dan baik semuanya adalah ujian. Kaya atau miskin pun ujian. Kalau Allah memberikan anugerah kekayaan berlimpah-ruah, tetapi alat penyambut kekayaan itu tidak ada, yaitu Iman; maka kekayaan yang melimpah-ruah itu akan membawa diri si kaya ke dalam kesengsaraan rohani. Harta yang banyak itu akan jadi alat baginya menimbun-nimbun dosa.

Sebaliknya orang miskin, hidup hanya sekedar akan dimakan. Kalau alat penyambut kemiskinan itu tidak ada, yaitu Iman; maka kemiskinan itu pun akan membawanya menjadi kafir! Asal perutnya berisi, tidak peduli lagi mana yang halal dan mana yang haram.

Oleh sebab itu dapatlah kita lihat di kota-kota besar sebagai Jakarta dan kota-kota lain; ada orang yang mengendarai mobilnya dengan sombong, dengan kaki tidak berjejak di tanah, tidak tahu dia ke mana rezeki yang banyak itu hendak dibelanjakannya. Lalu dia pun lewat di atas jembatan. Di bawah jembatan tadi kelihatan orang-orag yang tidak ada rumah tempat tinggalnya lagi, tidur dengan enaknya siang hari. Karena jika hari telah malam, yang laki-laki pergi menggarong dan yang perempuan pergi menjual diri. Namun nilai di sisi Tuhan di antara yang berbangga berpongah di atas mobil mengkilap itu sama saja dengan yang tidur di bawah jembatan. Keduanya tidak ada alas Iman dalam hatinya untuk menerima percobaan rezeki melimpah atau rezeki terbatas.


Al Fajr 17 – 20

$
0
0

Di dalam ayat-ayat ini diuraikan “penyakit” jiwa manusia bilamana tidak ada Iman. Yang mereka pentingkan hanya diri sendiri. Dia tidak mempunyai rasa belas-kasihan; “Tidak sekali-kali! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim.” (ayat 17).

“Tidak sekali-kali maksudnya ialah bantahan pembelaan diri setengah orang, bahwa mereka kalau kaya akan banyak berbuat baik. Kalau miskin akan sabar menderita. Samasekali itu adalah “omong kosong”. Sebab sifat-sifat yang baik, kelakuan yang terpuji tidaklah akan subur dalam jiwa kalau Iman tidak ada. Kalau dia telah kaya, dia tidak lagi akan merasa belas-kasihan kepada anak yatim. Sebab dia hanya memikirkan dirinya, tidak memikirkan orang lain. Sebab dia tidak pernah memikirkan bagaimana kalau dia sendiri mati, dan anaknya tinggal kecil-kecil. “Dan kamu tidak ajak-mengajak atas memberi makan orang miskin.” (ayat 18).

Di dalam dua ayat ini bertemu dua kalimat penting, yang timbul dari hasil Iman. Pertama ialah memuliakan anak yatim. Memuliakan adalah lawan dari menghinakan, yaitu menganggapnya rendah, hanya separuh manusia, sebab tidak ada lagi orang yang mengasuhnya. Atau diasuh juga anak yatim itu tetapi direndahkannya, dipandang sebagai budak belian saja. Ini bukanlah perangai orang Mu’min.

Kedua ialah kalimat ajak-mengajak. Dalam kalimat ini terdapat pikulan bersama, bukan pikulan sendiri. “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.”

Seorang Ulama Besar, Ibnu Hazm Al-Andalusi pernah menyatakan bahwa jika terdapat seseorang mati tidak makan pada satu qaryah (kampung), maka yang bertanggung jawab ialah orang sekampung itu. Dalam hukum Islam seluruh isi kampung diwajibkan membayar diyat atas kematian si miskin itu. Karena memberi makan fakir-miskin adalah kewajiban mereka bersama. Si miskin berhak menerima bahagian dari zakat.

“Dan kamu makan harta warisan orang; makan sampai licin.” (ayat 19). Ini pun rentetan dari dada yang kosong dari iman dan petunjuk itu. Dada yang penuh dengan kufur. Mereka terima harta warisan dari saudaranya yang telah wafat, lalu dimakannya sendiri dengan lahapnya, sampai licin tandas; sedang waris yang berhak, baik isterinya atau anak-anaknya yang masih kecil, tidak mendapat. Inilah yang banyak kejadian pada bangsa Arab di zaman Jahiliyah. Kadang-kadang janda dari si mati, atau yatim anak perempuan yang masih gadis, dijadikan sebagai “waris” pula, diambil alih kekuasaan oleh laki-laki yang dewasa, yang mengakui dirinya kepala waris. Bersama-sama dengan harta si mati orang-orang yang dalam kesedihan itu diboyong semua ke rumah yang menyambut waris. Untuk dikuasai hartanya dan dikuasai dirinya. Kadang-kadang ditahan-tahannya akan kawin lagi, karena merugikan bagi si pemboyong waris itu.

Setelah hijrah ke Madinah, Agama Islam mengatur pembahagian warisan (faraidh) dan perempuan mendapat hak pula sebagai laki-laki.

“Dan kamu suka sekali-kali akan harta, kesukaan sampai keji.” (ayat 20). Di mana saja pintunya, akan kamu hantam pintu itu sampai terbuka, kalau di dalamnya ada harta. Halal dan haram tak perduli. Menipu dan mengecoh tak dihitung. Menjual negeri dan bangsa pun kamu mau, asal dapat duit. Menjual rahasia negara pun kamu tidak keberatan, asal uang masuk. Malah membuka perusahaan yang penuh dengan dosa; sebagai perusahaan pelacuran perempuan, membuka rumah perjudian, menjual barang-barang yang merusak budi pekerti manusia, bahkan apa saja, kamu tidak keberatan asal hartamu bertambah.

Inilah celakanya kalau hidup tidak ada tuntunan Iman.

Al Fajr 21 – 26

$
0
0

INSAFILAH

“Tidak sekali-kali!” (pangkal ayat 21). Samasekali sombong congkakmu di dunia itu, sikap penghinaanmu terhadap anak yatim, engganmu bersama-sama membantu makanan fakir-miski, kecurangan dan lahap seleramu memulut segala harta warisan sehingga yang berhak tak mendapat apa-apa lagi, sampai kepada loba tamakmu akan harta, sehingga dengan jalan yang keji dan nista kamu pun suka, asal harta itu kamu dapat, semuanya itu tidaklah akan menyelamatkan dirimu. Itu hanya laba sebentar dalam dunia. Tidak, sekali-kali tidak! Janganlah kamu harapkan itu semua akan menolongmu. Bahkan akan datang masanya; “Apabila kelak bumi ini dihancurkan, sehancur-hancurnya.” (ujung ayat 21). Sehingga bumi itu akan jadi datar pun runtuh menjadi debu atau laksana saraab (fatamorgana), (lihat kembali ayat 20, Surat 78, An-Naba’). Dan segala sesuatu pada berobah kepada kehancuran. Sebab kiamat sudah datang.

“Dan datang Tuhan engkau.” (pangkal ayat 22). Yaitu datang ketentuan dari Tuhan, bahwasanya segala perkara akan dibuka, segala manusia akan dihisab, buruk dan baik akan ditimbang. “Sedang malaikat mulai hadir berbaris-baris.” (ujung ayat 22).

Ditunjukkanlah di dalam ayat ini bagaimana hebatnya hari itu.

“Tuhan datang” – Dan hari itu bukanlah hari dunia ini lagi. Setengah Ulama tafsir memberikan arti bahwa yang datang itu ialah perintah Tuhan, bukan Tuhan sendiri.

Menulis Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang arti: “Dan datang Tuhan engkau.” – Kata beliau: “Yakni kedatangan-Nya karena akan memutuskan perkara-perkara di antara hamba-hamba-Nya. Yang demikian itu ialah setelah semuanya memohonkan syafa’at daripada Tuhannya seluruh Anak Adam, yaitu Nabi Muhammad SAW, yaitu sesudah mereka itu semua pada mulanya memohonkan pertolongan syafa’at daripada sekalian Rasul-rasul yang terutama, seorang sesudah seorang; semuanya menjawab mengatakan aku ini tidaklah layak untuk itu, sehingga sampailah giliran kepada Nabi Muhammad SAW. Lalu beliau berkata: “Akulah yang akan membela! Akulah yang akan membela!” Maka pergilah Muhammad menghadap Tuhan, memohonkan Tuhan memutuskan perkara-perkara itu, lalu Tuhan memberikan syafa’at yang dimohonkannya itu. Itulah permulaan syafa’at dan itulah “maqaaman-mahmuudan” sebagai yang tersebut di dalam Surat Al-Isra’ (tengok Juzu’ 15). Maka datanglah Tuhan untuk mengambil keputusan perkara-perkara itu, sedang malaikat-malaikat pun hadirlah berbaris-baris dengan segala hormatnya di hadapan Tuhan.

Di dalam ayat 38, daripada Surat 78, An-Naba’ pun disebutkan bagaimana sikap hormat para malaikat itu di hadapan Tuhan, tak seorang jua pun yang berani berkata mengangkat lidah sebelum mendapat izin dari Tuhan.

Berkata Az-Zamakhsyari: “Diumpamakan keadaannya dengan kehadiran raja sendiri kepada suatu majlis; maka timbulah suatu kehebatan dan ketinggian siasat, yang tidak akan didapat kalau yang hadir itu cuma pimpinan tentara atau menteri-menteri saja.”

Tidaklah perlu kita perbincangkan terlalu panjang hal yang disebutkan tentang kehadiran Tuhan di dalam Al-Qur’an. Melainkan wajiblah kita mempercayainya dengan tidak memberikan lagi keterangan lebih terperinci, di dalam alam dunia yang kita hidup sekarang ini.

“Dan akan didatangkan pada hari itu neraka jahannam.” (pangkal ayat 23). Oleh karena neraka jahannam itu adalah satu di antara berbagai-bagai makhluk Tuhan Yang Maha Besar Maha Agung, niscaya berkuasalah Tuhan mendatangkan neraka jahannam itu, dengan alat-alat kekuasaan yang ada pada-Nya. Sehingga segala makhluk dapat melihatnya dengan jelas, dan orang kafir mengerti sendiri bahwa ke sanalah mereka akan dihalau. Di dalam Surat 79, An-Nazi’at yang telah lalu, ayat 36 disebutkan bahwa neraka Jahim akan ditonjolkan! “Pada hari itu teringatlah manusia, padahal apa gunanya peringatan lagi?” (ujung ayat 23). Pada hari itu baru timbul sesal; padahal apalah gunanya penyesalan lagi; roda hidup tak dapat lagi diputar ke belakang. Yang dihadapi sekarang adalah hasil kelalaian di zaman lampau.

“Dia akan berkata: “Wahai, alangkah baiknya jika aku dari semula telah bersedia untuk penghidupanku ini.” (ayat 24).

Itulah satu keluhan penyesalan atas sesuatu yang tidak akan dapat dicapai lagi. Huruf Laita dalam bahasa Arab disebut Huruf Tamanni, yaitu mengeluh mengharap sesuatu yang tidak akan dapat dicapai lagi. Karena waktunya telah berlalu. “Kalau aku tahu akan begini nasibku, mengapa tidak sejak dahulu, waktu di dunia, aku berusaha agar mencapai hidup bahagia di hari ini. Padahal kalau aku mau mengatur hidup demikian di dunia dahulu, aku akan bisa saja.”

Itulah sesalan yang percuma di hari nanti. Dan itu pula sebabnya maka Nabi-nabi disuruh memperingatkan dari sekarang. Karena perintah-perintah Al-Qur’an adalah untuk dilaksanakan di sini, dan terima pahalanya di akhirat; bukan sebaliknya.

“Maka pada hari itu, tidak ada siapacpun akan dapat mengazab seperti azab-Nya.” (ayat 25). “Dan tidak siapa pun akan dapat mengikat seperti ikatan-Nya.” (ayat 26).

Ini adala Azab Tuhan, buka Azab seorang makhluk bagaimanapun kuat kuasanya. Ikatan belenggu Tuhan, yang tidak ada satu belenggu pun dalam dunia ini yang akan dapat menandingi belenggu Tuhan itu.

Maka ngeri dan tafakkurlah kita memikirkan hari itu; hari yang benar dan termasuk dalam bahagian terpenting dari Iman kita, sesudah percaya kepada Allah. Dan terasalah pada kita bahwa tidak ada tempat berlindung daripada murka Allah, melainkan kepada Allah jua kita berbuat.

Dalam suasana yang demikian itu kita bacalah ayat yang seterusnya. Ayat penutup Surat dan ayat memberikan pengharapan kepada jiwa yang telah mencapai ketenteramannya.

Al Fajr 27 – 30

$
0
0

Siapakah yang disebut Nafsul-Muthmainnah?

Al-Qur’an sendiri menyebutkan tingkatan yang ditempuh oleh nafsu atau diri manusia. Pertama Nafsul Ammarah, yang selalu mendorong akan berbuat sesuatu di luar pertimbangan akal yang tenang. Maka keraplah manusia terjerumus ke dalam lembah kesesatan karena nafsul-ammarah ini. (Lihat Surat 12, Yusuf; ayat 53).

Bilamana langkah telah terdorong, tibalah penyesalan diri atas diri. Itulah yang dinamai Nafsul-Lawwamah. Itulah yang dalam bahasa kita sehari-hari dinamai “tekanan batin”, atau merasa berdosa. Nafsul-Lawwamah ini dijadikan sumpah kedua oleh Allah, sesudah sumpah pertama tentang ihwal hari kiamat. (Surat 75, Al-Qiyamah ayat 2).

Demikian pentingnya, sampai dijadikan sumpah. Karena bila kita telah sampai kepada Nafsul-Lawwamah, artinya kita telah tiba dipersimpangan jalan; atau akan menjadi orang yang baik, pengalaman mengajar diri, atau menjadi orang celaka, karena sesal yang tumbuh tidak dijadikan pengajaran, lalu timbul sikap yang dinamai “keterlanjuran”.

Karena pengalaman dari dua tingkat nafsu itu, kita dapat naik mencapai “An-Nafsul-Muthmainnah”, yakni jiwa yang telah mencapai tenang dan tenteram. Jiwa yang telah digembleng oleh pengalaman dan penderitaan. Jiwa yang telah melalui berbagai jalan berliku, sehingga tidak mengeluh lagi ketika mendaki, karena di balik pendakian pasti ada penurunan. Dan tidak gembira melonjak lagi ketika menurun, karena sudah tahu pasti bahwa dibalik penurunan akan bertemu lagi pendakian. Itulah jiwa yang telah mencapai Iman! Karena telah matang oleh berbagai percobaan.

Jiwa inilah yang mempunyai dua sayap. Sayap pertama adalah syukur ketika mendapat kekayaan, bukan mendabik dada. Dan sabar ketika rezeki hanya sekedar lepas makan, bukan mengeluh. Yang keduanya telah tersebut dalam ayat 15 dan 16 tadi.

Jiwa inilah yang tenang menerima segala khabar gembira (basyiran) ataupun khabar yang menakutkan (nadziran).

Jiwa inilah yang diseru oleh ayat ini:

“Wahai jiwa yang telah mencapai ketentraman.” (ayat 27). Yang telah menyerah penuh dan tawakkal kepada Tuhannya: Telah tenang, karena telah mencapai yakin: terhadap Tuhan.

Berkata Ibnu ‘Atha’: “Yaitu jiwa yang telah mencapai ma’rifat sehingga tak sabar lagi bercerai dari Tuhannya walau sekejap mata.” Tuhan itu senantiasa ada dalam ingatannya, sebagai tersebut dalam ayat 38 dari Suray 13, Ar-Ra’ad.

Berkata Hasan Al-Bishri tentang muthmainnah ini: “Apabila Tuhan Allah berkehendak mengambil nyawa hamba-Nya yang beriman, tenteramlah jiwanya terhadap Allah, dan tenteram pula Allah terhadapnya.”

Berkata sahabat Rasulullah SAW ‘Amr bin Al-‘Ash (Hadis mauquf): “Apabila seorang hamba yang beriman akan meninggal, diutus Tuhan kepadanya dua orang malaikat, dan dikirim beserta keduanya suatu bingkisan dari dalam syurga. Lalu kedua malaikat itu menyampaikan katanya: “Keluarlah, wahai jiwa yang telah mencapai keternteramannya, dengan ridha dan diridhai Allah. Keluarlah kepada Roh dan Raihan. Tuhan senang kepadamu, Tuhan tidak marah kepadamu.” Maka keluarlah Roh itu, lebih harum dari kasturi.”

“Kembalilah kepada Tuhanmu, dalam keadaan ridha dan diridhai.” (ayat 28). Artinya: setelah payah engkau dalam perjuangan hidup di dunia yang fana, sekarang pulanglah engkau kembali kepada Tuhanmu, dalam perasaan sangat lega karena ridha; dan Tuhan pun ridha, karena telah menyaksikan sendiri kepatuhanmu kepada_nya dan tak pernah mengeluh.

“Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku.” (ayat 29). Di sana telah menunggu hamba-hamba-Ku yang lain, yang sama taraf perjuangan hidup mereka dengan kamu; bersama-sama di tempat yang tinggi dan mulia. Bersama para Nabi, para Rasul, para shadiqqin dan syuhadaa. “Wa hasuna ulaa-ika rafiiqa”; Itulah semuanya yang sebaik-baik teman.

“Dan masuklah ke dalam syurga-Ku.” (ayat 30). Di situlah kamu berlepas menerima cucuran nikmat yang tiadakan putus-putus daripada Tuhan; Nikmat yang belum pernah mata melihatnya, belum pernah telinga mendengarnya, dan lebih daripada apa yang dapat dikhayalkan oleh hati manusia.

Dan ada pula satu penafsiran yang lain dari yang lain; yaitu annafs diartikan dengan roh manusia, dan rabbiki diartikan tubuh tempat roh itu dahulunya bersarang. Maka diartikannya ayat ini: “Wahai Roh yang telah mencapai tenteram, kembalilah kamu kepada tubuhmu yang dahulu telah kamu tinggalkan ketika maut memanggil,” sebagai pemberitahu bahwa di hari kiamat nyawa dikembalikan ke tubuhnya yang asli. Penafsiran ini didasarkan kepada qiraat (bacaan) Ibnu Abbas, Fii ‘Abdii dan qiraat umum Fii “Ibaadil.

Wallahu A’lam Bishshawaabi.

Al Balad 1 – 4

$
0
0


Ketika menafsirkan Surat 75 Al-Insan atau Ad-Dahr di Juzu’ 29 telah kita uraikan juga agak panjang tentang arti sumpah peringatan Allah yang dimulai dengan Laa Uqsimu, yang arti lurusnya saja: tidak aku akan bersumpah! Meskipun arti lurus saja tidak bersumpah, namun maksudnya ialah bersumpah, sehingga perkataan Laa pada satu waktu berarti menafikan dan di waktu yang lain berarti nahyi, yaitu melarang, di Laa Uqsimu ini mesti diartikan bahwa Tuhan Bersumpah. Sehingga Syaukani di dalam tafsirnya Al-Fat-hul Qadiir mengambil kesimpulan bahwa Laa yang berarti tidak atau jangan ialah huruf zaidah huruf tambahan yang tidak ada arti dalam susunan ini. Tafsiran Asy-Syaukani ini menguatkan tafsiran Al-Akhfasy.

Seluruh ahli tafsir, sejak dari Ibnu Jarir Ath-Thabari, sampai kepada Ibnu Katsir dan lain-lain (jumhurul-mufassirin) telah mengartikan Laa Uqsimu dengan aku bersumpah, bukan dengan Tidak aku bersumpah.

Satu tafsiran dari Al-Qusyairi: Huruf Laa yang berarti tidak, di sini bukanlah huruf tambahan yang tidak berarti. Kata beliau Tuhan berfirman: TIDAK! Adalah bantahan terhadap manusia yang kelak akan dibicarakan dalam Surat ini, yaitu manusia yang terpedaya oleh dunia; tidaklah keadaan sebagai yang mereka sangka, yaitu bahwa mereka menyangka tidak seorang pun yang dapat menguasai mereka; yang akan tersebut di ayat 5 kelak.

Jadi menurut tafsiran Al-Qusyairi ini ialah begini: “Tidak! Persangkaan kalian itu adalah salah!” Aku bersumpah, demi negeri ini!

Dan ada satu lagi penafsiran dibawakan orang. Dia mengatakan bahwa Laa Uqsimu artinya betul-betul menurut aslinya. Yaitu: “Aku tidak bersumpah demi negeri ini lagi, karena engkau tidak ada lagi di dalamnya, sesudah engkau keluar meninggalkannya (hijrah).” Tafsiran ini diriwayatkan oleh Al-Makkiy.

Maka kita ambil sajalah tarjamah dan arti yang dipakai oleh golongan yang terbesar (jumhurul-mufassirin), sebagai telah kita suntingkan di atas; “Aku bersumpah, demi negeri ini.” (ayat 1).

Tuhan bersumpah demi negeri ini, yaitu negeri Makkah Al-Mukarramah. Dan apabila Tuhan telah mengambilnya menjadi sumpah, artinya ialah bahwa Tuhan memberi ingat kita betapa pentingnya negeri itu. Di Surat 95 kelak, (Surat At-Tiin) kita bertemu lagi ayat 3 sumpah Tuhan memperingati negeri ini:

“Demi ini negeri yang aman.”

Dapatlah kita maklumi betapa mulia dan betapa penting kedudukan negeri Makkah itu, yang sejak zaman Ibrahim telah jadi pusat peribadatan kepada Allah bagi menegakkan kalimat tauhid. Dia bernama Makkah dan dia bernama Bakkah. Antara huruf Mim dengan huruf Baa adalah satu makhrajnya, yaitu sama-sama bibir. Di sanalah pertama sekali sebuah rumah ibadat buat memuja Allah Yang Esa berdiri, jadi petunjuk untuk seluruh alam, (Surat 3, Ali Imran; 96). Di sana terdapat Maqam Ibrahim (Ali Imran; 97). Di situ berdiri Ka’bah didirikan oleh Nabi Ibrahim dibantu oleh anaknya Ismail sebagai pusat tempat beribadat bagi manusia (Surat 5; Al-Maidah; 97). Dan beberapa Surat yang lain. Dan di sinilah lahir Nabi Muhammad SAW.

“Dan engkau menjadi halal di negeri ini.” (ayat 2).

Ayat ini pun mendapat dua macam penafsiran yang berbeda, karena berbedanya pengertian tentang kalimat hillun.

Al-Wahidi berkata: Al-hillu, al-halal dan al-mahill sama saja artinya, yaitu lawan dari haram.

Ada penafsir mengatakan bahwa yang halal itu ialah perbuatan Nabi Muhammad, jika dia hendak bertindak bagaimanapun, walaupun membunuh orang, kalau negeri itu ditaklukkannya kelak. Dan telah beliau taklukkan kemudian, setelah beliau datang dengan tentaranya dari Madinah di tahun ke 8.

Ibnu Abbas menjelaskan; “Engkau halal membunuh siapa sja yang engkau rasa patut dibunuh, jika engkau masuk ke sana kelak.” Dijelaskan lagi oleh As-Suddi: “Engkau halal memerangi orang-orang yang pernah memerangimu di negeri itu.”

Ini pun dikuatkan oleh sebuah Hadis shahih;

“Allah telah menjadikan Makkah tanah haram sejak sehari Dia menciptakan segala langit dan bumi. Maka tetaplah dia tanah haram sampai kelak berdiri kiamat. Maka tidaklah pernah dia dihalalkan bagi seorang pun yang sebelumku, dan tidak pula dihalalkan bagi seorang pun sesudahku. Dan tidaklah dia dihalalkan untukku hanyalah satu saat saja pada suatu hari.”

(Muttafaq ‘alaihi; Bukhari dan Muslim).

Tetapi ada pula penafsir lain berpendapat bahwa yang halal di negeri itu ialah Nabi sendiri. Al-Qasimi menyalinkan riwayat itu demikian;

“Dan ada pula yang mengatakan bahwa artinya ialah kehormatan diri engkau, ya Muhammad, telah diperhalal orang saja di negeri ini. Mereka berleluasa saja menyakiti engkau.” Dalam arti seperti ini terkandunglah dalam ayat ini rasa heran ta’jub mengapa sampai demikian mereka memusuhi Nabi. Dan sebagai suatu uraian tentang mereka berkumpul dan mereka berpisah dari masa ke masa, tidak seorang jua pun yang berlain pendapat bahwa seekor burung merpati pun mesti mendapat perlindungan di Tanah Haram Makkah itu, mengapa darah dan nyawa orang yang ditunjuk Allah untuk menjadi pembawa selamat bagi seluruh alam ini mereka pandang halal saja.

Penafsir-penafsir kita sendiri di Indonesia pun memakai kedua macam tafsir ini juga.

H. Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin H.S. menafsirkan; “Dan engkau bertempat tinggal di negeri ini.”

Pada keterangan beliau-beliau di bawahnya no. 2051 (Hal. 913), mereka tulis; “Nabi Muhammad di waktu masih bertempat tinggal di Makkah.”

Arti yang dipakai oleh Panitia Penyusun “Al-Qur’an Dan Terjemahannya” dari Kementrian Agama mengartikan; “Dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Makkah ini.” (Hal. 1061).

Tuan A. Hassan dalam tafsirnya “Al-Furqan” mengambil tafsir yang disalinkan oleh Al-Qasimi itu. Demikian bunyinya; “Padahal engkau menjadi barang halal di negeri ini.” Lalu beliau terangkan tafsirnya pada catatan di bawah (Al-furqan, hal. 1208); “Engkau diganggu dan diapa-apakan di negeri ini sebagai suatu barang halal buat umum.”

Saya, penafsir Al-Azhar ini lebih dekat kepada arti yang dipakai oleh A. Hassan. Sebab kalau dipakai arti Zainuddin Hamidi dan Kementrian Agama, kita tentu meletakkan mashdar dari halla, yahillu, hallan; yang berarti tempat tinggal. Sedang di ayat ini bacaannya (Qiraat) dan baris di dalam mushaf ialah hillun, yang menurut yang dijelaskan oleh Al-Wahidi di atas tadi, al-hillu, al-halal dan al-mahill artinya satu saja, yaitu lawan dari haram.

Dan A. Hassan menjadikan huruf waw di permulaan ayat menjadi waw hal. Lalu beliau artikan; “Aku menarik perhatian sungguh-sungguh ke negeri ini.” Padahal engkau jadi barang halal di negeri ini.”

Maka dapatlah kita fahamkan penafsiran A. Hassan; “Negeri ini menjadi perhatian-Ku sungguh-sungguh, sampai dia Aku jadikan sumpah kemuliaan. Tetapi engkau sendiri dipandang oleh penduduknya sebagai seorang yang halalud-dam, halal darahnya saja, boleh dibunuh sesuka hati.”

Dan ayat ini turun di Makkah. Kemudiannya baru beliau diperintah pindah, hijrah ke Madinah, pada malam orang sudah bermufakat hendak membunuhnya dengan mengepungnya di rumahnya sendiri.

“Demi yang beranak, demi yang diperanakkannya.” (ayat 3).

Siapakah yang dituju Tuhan dengan mengambil sumpah dengan waalid; yang berarti ayah, dan wamaa walad; apa yang dia anakkan. Menurut tafsir Mujahid dan Qatadah dan lain-lain: Yang beranak, atau ayah itu, yang dimaksud Tuhan ialah Nabi Adam; ayah dari seluruh manusia. Yang diperanakkan ialah kita seluruh keturunan Adam ini.

Dapat saja kita memperpanjang tafsir ini dengan penghargaan Allah terhadap Insan yang amat dimuliakan Tuhan di antara segala makhluk-Nya. Di Surat 17, Al-Isra’: 70, dengan bangga Allah menyatakan bahwa; “Sesungguhnya telah Kami muliakan keturunan Adam; dan Kami angkut mereka di darat dan di laut dan Kami beri rezeki mereka dengan yang baik-baik, dan Kami lebihkan dia dari sebahagian besar dari yang Kami ciptakan, benar-benar lebih.” Banyak lagi ayat lain menyatakan kelebihan Adam dan keturunannya itu.

Abu Imran Al-Juani menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan yang jadi ayah itu ialah Nabi Ibrahim, dan yang diperanakkan ialah turunannya, termasuk Nabi Ishak yang menurunkan Nabi-nabi Bani Israil dan Ismail yang menurunkan Muhammad SAW.

Tetapi Ibnu Jarir At-Thabari menyatakan dengan tegas, bahwa yang dimaksud dalam ayat ini nyata sekali, yaitu segala orang yang jadi ayah, dan segala anak yang diperanakkan oleh si ayah itu. Manusia kembang di dunia ini. Kehidupan seorang ayah di dalam mendidik anaknya berbagai ragam, berbagai rupa, berbagai perangai, itu pun satu hal yang memang patut mendapat perhatian. Itu sebab maka “Ayah dan keturunannya” menjadi salah satu sumpah penting pula oleh Allah. Hartabenda dan anak keturunan adalah perhiasan hidup di dunia, namun yang kekal hanyalah amal yang shalih jua. Seorang ayah dapat membangga dengan banyak anak-anaknya waktu mereka masih kecil. Tetapi setelah anak itu menjadi dewasa, belum tentu anak itu akan dapat dibanggakan.

Teringatlah saya bahwa pada tahun 1951, ketika Muhammad Natsir menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia, di tengah hebatnya percaturan politik, Natsir mendapat percobaan. Puteranya laki-laki terbenam hanyut sedang berenang di salah satu permandian di Jakarta, sehingga meninggal dunia. Di antara yang datang takziyah Almarhum Haji Agus Salim Failasuf tua itu dalam bersalam menyatakan turut berdukacita telah berkata kepada Natsir: “Tak usah saya terangkan lagi. Bersyukurlah kepada Tuhan, karena anak ini meninggal di saat engkau masih merasa bangga dengan dia.”

Saya tafakur mendengarkan ucapan orang tua itu. Dan telah berlalu lebih 20 tahun sampai sekarang, kian saya renungkan maksud perkataan Failasuf besar itu. Memang anak sebelum dia dewasa masih pasti dapat kita banggakan. Nanti kalau dia telah dewasa dan telah bertindak sendiri dalam hidupnya, tidaklah kurang orang tua yang “makan hati berulam jantung” melihat perangai anak. Lain yang dicitakan, lain yang tumbuh dalam hidup anak ini. Kadang-kadang bertolak belakang.

Di dalam ayat ini disebut waa waalidin, yang berarti demi seorang ayah. Kita cenderung menumpangkan diri dalam tafsiran Ibnu Jarir, bahwa sumpah peringatan Allah itu bukan terkhusus kepada Nabi Adam atau Nabi Ibrahim. Sebab kalimat waalidin adalah nakirah, yang berarti tidak ditentukan kepada orang tertentu, bahkan mencakup barang mana ayah saja pun. Sambungannya wamaa walada; Yang berarti: dan apa yang dia peranakan. Kalau diingat bahwa yang diperanakkan itu tentu saja manusia, tentu hendaknya bukan memakai maa yang berarti apa yang melainkan memakai man yang berarti demi orang yang dia peranakan. Tetapi karena yang dimaksud bukan menyebut orangnya, melainkan menyebut macam ragam perangai, pembawaan, kelakuan, kepintaran, kebodohan, kekayaan dan kemiskinan, maka yang tepat memang Maa, bukanlah Man.

“Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia itu berada dalam susah payah.” (ayat 4).

Setelah berturut mengemukakan tiga macam sumpah peringatan, (1) Makkah sebagai kota terpenting tempat Ka’bah berdiri, (2) Muhammad yang begitu berat dan mulia tugasnya berdiam di Makkah itu, namun darahnya dipandang halal saja oleh kaumnya, (3) bersumpah lagi demi pentingnya, kedudukan ayah dan pentingnya pula anak-anak yang diturunkannya, masuklah Tuhan kepada yang dimaksudnya, memperingatkan bahwa Dia telah menciptakan manusia tidak terlepas daripada susah-payah. Susah-payah itulah bahagian yang tidak terpisah dari hidup itu. Tidak bernama hidup kalau tidak ada kesusahan dan kepayahan.

Berkata Al-Yaman: “Tak ada Allah menciptakan makhluk yang lebih banyak susah-payah dalam hidup ini, melebihi Anak Adam, padahal dia adalah makhluk yang paling lemah pula.”

Fikirkanlah; sejak dari dalam rahim ibu kepayahan itu sudah dimulai. Membalik-balikkan badan mencari jalan keluar sampai kepada tersumbur dari pintu. Setelah lahir dengan kepayahan, yang mula terdengar adalah tangis karena tak tahan dingin mula bertemu dengan udara luas, setelah berbulan lamanya merasa panas badan dalam rahim ibu. Setelah itu mulailah pusat dikerat, lalu menangis kesakitan. Mulailah menggerak-gerakkan tangan dan kaki; mulai menangis minta menyusu, menangis kedinginan karena telah basah oleh kencing, menangis karena telah berak, menangis minta digendong minta dibawa. Beransur badan besar, beransur besar kepayahan. Setelah itu bapa memandang telah kuat, mulailah merasa sakit dikhitan. Setelah selesai dikhitan, mulailah dimasukkan ke sekolah. Sejak dari kelas satu sekolah rendah sampai sekolah tinggi bertemu kesusahan mengahapal, kepayahan mengulang pelajaran, ketakutan mendapat angka “merah”. Dan kalau maju sekolah, orang tua susah dan melarat, susah payah mencari akal bagaimana melanjutkan sekolah. Dan setelah tammat sekolah yang tinggi, menggondol titel dan gelar Sarjana Hukum, Insinyur, dan Doktorandus, timbul lagi kesusah-payahan mencari pekerjaan. Dan setelah sampai berumahtangga, timbul lagi kesusahan menafkahi isteri, kemudian mengemudikan anak, timbul lagi kesusah-payahan lantaran umur yang lanjut.

Setelah isteri dan anak berdiri berkeliling, timbul lagi kesusahan menyediakan rumah yang layak tempat diam, kendaraan yang layak untuk perhubungan. Setelah rumah tempat tinggal siap dan kendaraan telah sedia, timbul lagi kesusah-payahan memperjodohkan anak-anak. Yang perempuan supaya bersuami, yang laki-laki supaya beristeri. Setelah semuanya itu selesai; rumah sudah ada, anak-anak sudah kawin, yang laki-laki telah keluar bersama isterinya, yang perempuan telah keluar dibawa suaminya, tinggallah awak telah tua dalam kesepian ditinggalkan anak cucu. Setelah datang usia tua, segala penat, payah, mulailah terasa. Kaki mulai penat, tangan mulai pegal, mata mulai kabur, gigi mulai goyah dan gugur, uban mulai bertabur, telinga mulai pekak, kepala sakit-sakit dan pening; akhirnya ditutup semuanya dengan mati.

Oleh sebab itu maka kepayahan dan kesusahan adalah bahagian dari hidup, dalam itulah Tuhan menciptakan kita. Sehingga walau pekerjaan baik atau pekerjaan buruk, semuanya meminta kepayahan. Sehingga memberikan nafkah batin kepada isteri pun meminta tenaga dan kepayahan!

Oleh sebab itu sia-sialah, semata-mata orang yang menghabiskan usia, yang segala sesuatu, baik dan buruk, pasti payah, kalau kepayahan itu karena yang buruk.

Termidzi menyimpulkan usia habis dalam kepayahan itu dalam sepatah dan dua patah kata: “Sudah payah, tidak memperhatikan apa yang perlu, menghabiskan masa pada yang tidak perlu.”

Al Balad 5 – 10

$
0
0

Sebagai telah dikatakan di atas tadi, manusia pun berpayah-payah menghabiskan usianya pada perkara yang tidak berfaedah. Bahkan orang musyrikin Quraisy pun berpayah-payah menghabiskan tenaga dan harta menghambat dan menghalangi segala seruan Nabi Muhammad SAW. Maka datanglah ayat selanjutnya; “Apakah dia menyangka bahwa tidak seorang pun yang berkuasa atas dirinya?” (ayat 5). Apakah disangkanya bahwa Tuhan tidak melihat dan memperhatikannya? Apakah dia menyangka bahwa Tuhan akan membiarkan saja dia berleluasa berbuat sesuka hati?

“Dia mengatakan: “Aku telah menghabiskan harta yang bertumpuk.” (ayat 6). Ayat ini menyatakan bagaimana orang yang telah bersusah-payah menghabiskan tenaga dan hartabendanya untuk perkara yang tidak berfaedah, membanggakan kepada orang sudah berapa hartanya habis. Sebagaimana membangganya si tukang judi sekian ribu dia menang atau sekian ribu dia kalah. Sebagaimana membangganya orang-orang yang mubazzir membuang harta karena menunjukkan dia orang kaya, bahwa sekian juta telah habis untuk berfoya-foya. Ataupun orang yang pada lahirnya berbuat baik, seka berderma dan membantu orang lain, padahal cuma semata-mata untuk mereklamekan dirinya. Sebagaimana tersebut di dalam sebuah Hadis yang dirawikan daripada Abu Hurairah, bahwa di hari kiamat kelak semua orang akan ditanyai: “Apa yang engkau perbuat dengan hartamu yang banyak itu?” Orang itu menjawab: “Aku belanjakan untuk kebajikan dan aku zakatkan!” Lalu datanglah sambutan: “Engkau bohong! Padahal engkau mengeluarkan harta itu hanya semata-mata supaya engkau dipuji orang lain dan dikatakan bahwa engkau seorang yang dermawan.” Lalu dilemparkanlah orang itu ke dalam neraka.”

“Apakah dia menyangka bahwa tiada seorang yang melihatnya?” (ayat 7).

Apakah mereka menyangka bahwa perbuatannya, membuang-buang harta pada yang tidak berfaedah, atau mengeluarkan harta menolong orang lain, hanya semata-mata ingin disanjung dipuji, bahwa semuanya itu tidak ada orang yang tahu? Apakah dia tidak sadar bahwa perbuatannya itu tidak lepas dari tilikan Allah Ta’ala?

Di samping itu: “Bukanlah telah Kami jadikan baginya dua mata?” (ayat 8). “Dan lidah dan dua bibir?” (ayat 9).

Diberi Tuhan dua mata buat melihat jauh; jangan hanya merumbu-rubu dalam semak dan rimba kehidupan ini, dengan tidak tentu arah. Diberi lidah dan dua buah bibir, bibir sebelah atas dan sebelah bawah. Gunanya ialah untuk bercakap yang baik, untuk bertanya kepada yang pandai, karena kalau malu bertanya sesat di jalan.

Berkata Sayid Al-Murtadha: “Dengan ayat-ayat ini Allah memperingatkan betapa besar nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada hamba-Nya. Dengan dua mata untuk melihat, satu lidah untuk bercakap dan membolak-balikkan makanan dalam mulut. Dua bibir adalah bertalian dengan lidah. Bibir menghambat lidah itu sendiri ketika akan bercakap yang tidak berketentuan. Apabila agak lain rasanya, kedua bibir dapat dikatupkan saja. Dan makanan yang sedang dikunyah-kunyah dengan gigi, dihambat keluar oleh kedua bibir sehingga tidak berhamburan keluar.

“Dan telah Kami tunjukkan kepadanya dua jalan.” (ayat 10). An-Najdain artinya ilah dua jalan yang mendaki. Dua mata menghadap kemuka. Di muka terentang dua jalan yang mendaki; menandakan bahwa dua jalan yang terentang itu mesti ditempuh dengan perjuangan dan mengeluarkan tenaga juga. Kesatu ialah jalan kebajikan. Kedua ialah jalan yang buruk. Pilihlah dengan akal budi yang telah dianugerahkan Tuhan dan bimbingan Taufiq hidayat Ilahi jalan yang baik dan jauhi jalan yang membawa celaka.

Al Balad 11 – 16

$
0
0

Pada ayat 10 telah diterangkan bahwa di muka kita ada dua jalan terentang, yaitu jalan kebajikan dan jalan kecelakaan. Sedang keduanya itu sama saja sukarnya. Maka dalam ayat 11 ini diterangkanlah malang dan dangkalnya berfikir orang yang kurang iman; “Tetapi tidak ditempuhnya jalan mendaki yang sukar.” (ayat 11). Dilihatnya di muka ada kesukaran, (‘aqabah), sebab itu dijauhinya. Dia takut dan cemas melihat kesukaran itu. Padahal jalan kepada kebajikan, walaupun ada kesukarannya, namun bila ditempuh, selamatlah jiwa sendiri dan selamatlah masyarakat dan mendapatlah ridha dari Tuhan.

“Tahukah engkau, apakah jalan mendaki yang sukar itu?” (ayat 12). “(Ialah) melepaskan belenggu perbudakan.” (ayat 13).

Perbudakan dalam bahasa Arab disebut Raqabatin. Asal katanya berarti kuduk atau leher. Seorang yang telah jatuh ke dalam perbudakan samalah keadaannya dengan orang yang telah terbelenggu lehernya. Dia tidak bebas lagi. Lehernya telah dibelenggu oleh kekuasaan tuannya atas dirinya. Maka mendapat pahala besarlah orang yang sudi membeli budak-budak untuk memerdekakannya. Inilah yang disebut “tahriru raqabatin”; memerdekakan budak!

Memerdekakan budak itu adalah salah satu dari yang disebut ‘aqabah, jalan mendaki yang sukar menempuhnya, sebab mesti keluar uang. Dibelanjakan harta sendiri buat membeli orang. Harga manusia yang sudah menjadi “barang dagangan” itu kadang-kadang mahal. Dan kalau sudah dibeli, dia sudah menjadi kepunyaan yang empunya; boleh disuruhnya, boleh dicegahnya, bahkan lebih lagi rendahnya dari khadam atau orang gajian. Dan kalau budak itu perempuan, kalau cantik boleh dipakai, disetubuhi dengan tidak usah dibayar maharnya, asal dimaklumkan saja bahwa dia telah dijadikan gundik dan anak yang lagir dari hubungan dengan budak itu diakui sah oleh agama menjadi anak dari yang memperbudak ibunya itu. Dan tidak ada batas misalnya mesti berempat; seratus orang pun boleh kalau sanggup. Dan kalau dia telah beranak, dia tidak boleh dijual lagi.

Maka dikatakanlah dalam ayat ini bahwa memerdekakan budak yang telah dibeli itu adalah “jalan mendaki yang sukar.” Kalau dia dimerdekakan, niscaya dia sudah duduk sama rendah tegak sama tinggi dengan tuannya, dan uang untuk pembelinya tadi hilang habis saja. Rugi pada benda, tetapi tinggi pada pahala dan penghargaan di sisi Allah. Itulah “Jalan mendaki.”

“Atau memberi makan pada hari kelaparan.” (ayat 14). Memberi orang makan, membagi-bagikan beras atau gandum atau apa saja makanan mengenyang yang lain di musim paceklik, di musim rusak hasil bumi. Kalau ada orang kaya yang sanggup berbuat begini, memanglah dia telah melalui jalan mendaki yang sukar. Sebab tidak akan ada balasan dari orang-orag lapar yang ditolong itu lain dari “ucapan terimakasih.”

Di dalam Surat 76, Al-Insan ayat 8 dan 9 dipujikan orang ini oleh Allah setinggi-tingginya: “Mereka memberi makanan, dalam keadaan dia pun sangat memerlukannya, kepada orang miskin, dan anak yatim dan orang yang tengah tertawan. Kami beri makan kamu ini, lain tidak, hanyalah karena mengharap wajah Allah semata-mata; tidaklah kami menghendaki daripada kamu suatu balasan pun, dan tidak pula terimakasih.”

Yang diberi makan itu ialah; “Anak yatim yang ada hubungan qirabat.” (ayat 15).

Dalam ayat ini Allah menyebut anak yatim yang pantas ditolong itu; disebutkan bahwa yang utama ditolong ialah anak yatim yang ada hubungan qirabat. Ditekankan qirabat, supaya orang merasa bahwa mengasuh dan memelihara anak yati itu adalah kewajiban. Ini pun adalah “jalan mendaki yang sukar”, karena anak yatim itu adalah beban baru yang tadinya tidak disangka-sangka.

Taruklah anak perempuan kita sendiri yang telah bersuami dan telah beranak-anak. Tiba-tiba suami anak kita itu, tegasnya menantu kita itu mati. Syukur kalau menantu kita itu meninggalkan harta yang banyak, sehingga kita hanya tinggal mengasuh dan mengawasi. Bagaimana kalau miskin? Ke mana anak isterinya itu akan pulang? Siapa orang lain yang akan memikul beban itu kalau bukan kita sebagai neneknya? Demikian juga kematian saudara kandung kita. Anaknya mau tidak mau adalah tanggungan kita. Beban tersandang ke bahu. Tidak ada jalan buat nafsi-nafsi, kalau hendak beragama.

“Atau orang miskin yang telah tertanah.” (ayat 16).

Matrabah saya artikan tertanah; telah melarat, sehingga kadang-kadang rumah pun telah berlantai tanah. Di Minangkabau orang yang sudah sangat melarat itu memang disebutkan juga telah “tertanah” tak dapat bangkit lagi. Maka datanglah hari paceklik, semua orang kelaparan, harga makanan sangat naik, pertanian tak menjadi, banyak orang melarat. Maka tibalah seorang hartawan-dermawan membeli beras itu banyak-banyak lalu membagikannya dengan segala kerendahan hati, tidak memperdulikan “jalan mendaki yang sukar” karena uang kekayaannya akan berkurang lantaran itu. Sebab dia telah memupuk Imannya sendiri. Sebab kalau tidak ‘aqabah yang baik itu yang ditempuhnya, tentu jalan kepada kecelakaan jiwa karena bakhil. Dalam keadaan bakhil itu dia pun mati. Maka harta yang disembunyikannya itu habis porak-poranda dibagi orang yang tinggal atau dipertipukan orang.

Al Balad 17 – 20

$
0
0

“Kemudian.” (pangkal ayat 17). Artinya di samping amalannya yang lahir kelihatan itu, “Adalah dia termasuk orang-orang yang beriman.” Bukan hanya semata-mata karena mencari pujian orang, karena riya’. Karena kalau hanya mencari pujian dan riya’, dia akan berhenti di tengah jalan. Tak ada yang memuji dia pun berhenti, diomeli sedikit dia pun merajuk, sebab dia merasa dirinya penting benar. “Dan pesan-memesan dengan kesabaran,” karena banyaknya percobaan hidup sebagai paceklik, kemiskinan, kelaparan dan keyatiman. Semua adalah percobaan, dan harus dihadapi dengan hati tabah; “Dan pesan-memesan dengan berkasih-kasihan.” (ujung ayat 17). Yaitu bahwa yang kuat mengasihi yang lemah, yang kaya menghibai yang miskin. Berkasih-kasihan, bersayang-sayangan, bantu membantu, tolong menolong; “Orang-orang begitu adalah golongan kanan.” (ayat 18). Dan di akhirat kelak surat keputusan nasibnya pun akan diterimanya dari sebelah kanan juga. (Lihat kembali Surat 84, Al-Insyiqaq; 7-8).

“Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Kami. (pangkal ayat 19). Yaitu yang tidak mau percaya segala keterangan dan bimbingan yang diberikan Allah dengan perantaraan Rasul-rasulnya; “Mereka itulah golongan kiri.” (ujung ayat 19). Dan dari kiri atau belakang pulalah mereka akan menerima surat keputusan nasibnya di hari akhirat kelak (lihat Surat 84; 10-11-12). “Untuk mereka adalah neraka yang dikunci rapat.” (ayat 20). Tak ada harapan buat keluar lagi, sampai secukupnya azab siksaan yang diterima.

Dari sini mengertilah kita bahwa dalam istilah Islam “golongan kanan” dan “golongan kiri” itu berbeda dengan istilah kaum politisi Barat yang telah diistilahkan orang pula di Indonesia ini. Padahal asalnya ialah dari tradisi parlemen di Negeri-negeri Barat. Wakil-wakil Rakyat yang menyokong pemerintah duduk di sebelah kanan dan yang menentang (oposisi) duduk di sebelah kiri Ketua Parlemen.

Orang-orang Komunis di negeri-negeri yang belum mereka kuasai, senantiasa mengadakan oposisi (bangkangan) kepada pemerintah yang ada, lalu mereka menyebut diri mereka “Kaum Kiri”. Demikian pandai mereka mempengaruhi masyarakat dengan semboyan-semboyan, sehingga orang merasa megah kalau menyebut diri “Golongan Kiri” dan apa yang disebut “Golongan Kanan” dartikan golongan borjuis atau kaum kapitalis, orang yang tidak progressif dan kata-kata ejekan yag lain, sehingga golongan beragama yang telah menerima tuntunan dari Wahyu Ilahi, yang hidup dalam bertakwa dan iman yang disebut Tuhan dalam wahyu-Nya itulah “Golongan Kanan” menjadi terdesak dan malu, sedang orang-orang keras kepala, yang selalu hanya membangkang, yang merebut kekuasaan dengan serba kekerasan, merasa bangga dengan menyebutkan dirinya “Kaum Kiri.”

***

Seketika hebat revolusi fisik di Bukittinggi di sekitar tahun 1947 ayat-ayat dari Surat Al-Balad inilah yang diselidiki lebih mendalam dan diambil nilai-nilainya untuk dasar perjuangan Partai Masyumi oleh pemimpin Masyumi di Sumatera Barat di waktu itu, saudara Darwis Thaib, yang setelah menyandang gelar adat pusaka, memakai gelar Datuk Sidi Bandoro.

Di zaman pergerakkan menentang penjajahan sebelum perang dunia ke-II, Darwis Thaib adalah salah seorang kader penting dari Partai Pendidikan Nasional Indonesia, yang didirikan dan dipimpin oleh Muhammad Hatta. Darwis Thaib mempelajari sosialisme dengan mendalam. Menurut beliau, ayat-ayat dari Surat Al-Balad ini adalah dasar yang teguh dari ajaran “Keadilan Sosial” yang bersumber dari wahyu. Orang dididik memperdalam iman dan sanggup menempuh jalan mendaki yang sukar (‘Aqabah), mengeluarkan hartabenda dan tenaga buat: (1) Memberantas segala macam perbudakan, pemerasan manusia atas sesama manusia, (2) Memberi makan pada saat orang sangat memerlukan makanan, baik terhadap anak-anak yatim karena ayah-ayahnya yang tewas sebagai korban perjuangan, atau orang-orang miskin dan melarat yang tidak mempunyai apa-apa. (3) Semuanya itu terlebih dahulu mesti timbul dari Iman dan keyakinan hidup sebagai Muslim, yang masyarakatnya dibentuk oleh jamaahnya sendiri. Yaitu jamaah yang hidup dalam gotong-royong, hidup pesan-memesan tentang kesabaran menderita dan pesan-memesan supaya selalu hidup dalam berkasih-sayang, bantu-membantu, tolong-menolong; itulah yang dinamai hidup dalam masyarakat MARHAMAH.

Dan oleh Darwis Thaib diberi nama sehingga kalimat MARHAMISME ini menjadi timbalan, jauh lebih populer di kalangan Kaum Muslimin daripada kalimat MARHAENISME ciptaan Sukarno.

Sayang sekali karena perhubungan se Indonesia belum lancar di waktu itu, maka doktrin MARHAMISME dari kalimat MARHAMAH ini belum sempat tersiar jauh, dan oleh gangguan kesihatan Darwis Thaib tidak dapat membawa nilai-nilai cita-cita dan kepuasannya terhadap Surat Al-Balad ini ke pusat Masyumi di waktu itu, yaitu di Jokja, atau di Jakarta, untuk diperdalam lagi setelah didiskusikan dengan pemimpin-pemimpin yang lain. Apakah lagi setelah selesai penyerahan kedaulatan, Partai Masyumi telah menghadapi perjuangan-perjuangan yang dahsyat menghadapi usaha-usaha lawan-lawannya buat menghancurkannya, yang dipelopori oleh Presiden Sukarno sendiri, yang akhirnya sampai membubarkan partai tersebut. Dan setelah itu pemimpin-pemimpinnya dihalaukan masuk penjara bertahun-tahun lamanya. Kemudian sekali barulah diketahui bahwa Presiden Sukarno memang sudah lama dibina dan digarap oleh Komunis; sampai dia jatuh tersungkur dari kemegahannya yang demikian teguh dipertahankannya.

Darwis Thaib penggali doktrin MARHAMISME itu di tahun 1947 menerbitkan brosur kecil bernama “Marhamisme”.

Dalam penggalian membentuk ajaran MARHAMISME untuk ideologi Masyumi ini Darwis Thaib telah menggabungkan penyelidikannya yang dalam terhadap Al-Qur’an dengan ajaran Kedaulatan Rakyat Keadilan Sosial yang diterimanya dari kursus-kursus yang diberikan Muhammad Hatta, yang ditekankan terlebih dahulu kepada PENDIDIKAN. Oleh karena kekecewaan yang dirasakan oleh Hatta setelah Gerakan Nasional dicoba menghancurkannya oleh Belanda, sampai Sukarno ditangkap dan dibuang (1930), lalu Partai Nasional Indonesia (P.N.I) dibubarkan oleh Mr. Sartono, diganti dengan Partai Indonesia. Hatta tak setuju dengan pembubaran dan menukar nama itu; lalu didirikannya PENDIDIKAN Nasional Indonesia. Karena menurut Hatta rasa kebangsaan itu bergantung juga kepada pembentukkan karakter.

Kalau karakter lemah, orang akan lari tumpang-siur apabila musuh datang menghalau. Sebab itu dalam Pendidikan Nasional, Hatta menitikberatkan kepada pendidikan politik, memperdalam kesadaran nasional dan kesediaan berkurban demi cita-cita. Karena untuk mencapai kemerdekaan tanahair tidaklah soal mudah. Penjajah pasti tidak bersedia menyerahkan kemerdekaan itu dalam dulang emas. Itulah yang ditanamkan Hatta dalam partainya tersebut. Temannya di waktu itu ialah Sutan Syahrir.

Belanda memandang partai yang tidak banyak berpidato itu amat berbahaya. Akhirnya Hatta dan Syahrir dibuang ke Digul, namun kader-kader yang mereka tinggalkan tetap menjadi teladan keteguhan pendirian.

Darwis Thaib adalah seorang di antara mereka.

Setelah Masyui berdiri di Sumatera Barat di permulaan kemerdekaan, tidak ayal lagi, Darwis Thaib mendapat didikan Islam yang mendalam yang terus memasuki partai tersebut. Sebagai seorang pemikir, dialah yang menimbulkan citra MARHAMISME yang dikorek dari Surat Al-Balad itu.

MARHAMISME menjadi populer sehingga hilanglah pengaruh MARHAENISME dan MURBAISME yang suku-suku katanya hampir sembunyi dari daerah Sumatera Tengah. Demi perjuangan politik Islam, Masyumi mesti membentuk Kader dan memberikan pendidikan kehidupan MARHAMISME itu. Pendidikan yang dia maksudkan ialah supaya pemimpin dan calon-calon pemimpin benar-benar dididik atau mendidik diri, dilatih atau melatih diri agar benar-benar hidup secara Islami. Mendidik diri menerima dan menjalankan secara mutlak ayat dan bunyi Hadis Rasulullah SAW.

Darwis Thaib mendapat dalam renungannya bahwa apabila kemerdekaan ini telah tercapai dengan sempurna kelak, dan kita telah mendapat “De Jure” akan tiba masanya kaum yang tidak terdidik dalam Islam, kaum Komunis atau Kaum Nasionalis menyingkirkan Islam dari arena perjuangan. Walaupun secara curang. Karena suatu politik yang tidak berurat tunggang kepada agama berpendapat bahwa “kecurangan” adalah salah satu alat untuk mencapai tujuan politik. Tujuan politik ialah kekuasaan.

Sebab itu Darwis Thaib memperingatkan bahaya masuknya kaum oportunis, sarjana-sarjana dan cendekiawan yang tertarik masuk partai karena melihat partai mendapat dukungan massa yang amat hebat. Yang mereka harapkan ialah mendapat kedudukan yang empuk dengan perantaraan Masyumi. Padahal kehidupan peribadi mereka tidaklah menurut Islam. Rukun Islam tidak pernah mereka kerjakan, mereka tidak sembahyang. Tidak nampak Islam, baik pada dirinya ataupun dalam rumahtangganya.

Soal sembahyang lima waktu, puasa, zakat fithrah, zakat harta, pendidikan agama pada kanak-kanak bagi Darwis Thaib adalah syarat mutlak untuk mencapai masyarakat Marhamisme.

Darwis Thaib percaya, kalau satu waktu kelak Partai ini dikejar-kejar pula dan pemimpin-pemimpinnya dihina, disiksa dan dibuang, ataupun dibunuh, mana yang batinnya tidak kuat, niscaya akan lari tumpang-siur pula.

Waktu dia membuka soal ini di kantor Masyumi “Jalan Lurus” Bukitinggi, banyak orang yang tertawa saja, dan menuduh bahwa semuanya itu hanyalah “berkatia-katai” orang sakit demam panas!

Bagi beliau waktu itu, kerjasama di antara Masyumi dengan Muhammadiyah mestilah sangat dieratkan. Sebab Muhammadiyah itu adalah salah satu alat penting untuk membentuk kader perjuangan Islam, yang mesti selalu ditingkatkan untuk mencapai Marhamisme. Dia tertarik kepada pergerakkan Muhammadiyah, terutama di bawah pimpinan Abuya Ahmad Rasyid Sutan Mansyur, karena Muhammadiyah telah dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin partai yang gigih memperjuangkan Islam dalam Masyumi, terutama di Sumatera. Sebab Abuya Sutan Mansyur memang sejak lama telah membentuk kader-kader Islam. Dan pada masa itu (1945-1948) Abuya Sutan Mansyur membentuk gerakan Jihad yang giat mengadakan amal, mengerjakan sawah ladang, membangun madrasah, surau, langgar dan lain-lain yang berkenaan juga dengan pertanian dan ekonomi. Semua digerakkan setelah selesai sembahyang Subuh, dan hanya dikerjakan satu jam saja.

Menurut teori beliau, kemenangan politik Islam mesti dimulai dan ditanamkan dari bawah, dari satu jamaah kecil di satu surau kecil, dengan imamnya yang merangkap jadi pemimpin. Ini beliau dasarkan kepada ayat 38 dari Surat 42, Asy-Syura:

“Dan orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, dan mendirikan sembahyang, sedang urusan mereka dipermusyawaratkan di antara mereka, dan sebahagian daripada rezeki yag Kami anugerahkan, mereka belanjakan.”

Di ayat ini terdapat 4 pokok pendidikan:

(1) Kesadaran beragama, (2) Membentuk jamaah dari sebab sembahyang, (3) Latihan selalu musyawarat (demokrasi), (4) Latihan berkurban harta.

Dengan sendirinya dari dasar yang di bawah itu, kepada jamaah, keyakinan politik Islam sudah mulai ditanamkan. Karena sudah nyata bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan di antara politik atau kenegaraan dengan agama. Langgar ataupun mesjid adalah lembaga tempat pertumbuhan politik.

Beliau pandang pula pembahagian isi Surat Al-Balad itu dengan kacamata perjuangan politik. Al-Balad berarti Negeri; dan dia akan meningkat menjadi Negara. Tiap jamaah mempunyai Imam, bahkan dalam perjalanan musafir, bila bilangan anggota safari itu telah sampai tiga orang, sudah mesti seorang dijadikan imam. Imam atau pemimpin yang di atas sekali ialah Muhammad SAW. Muhammad sebagai pemimpin tertinggi mesti melalui pengalaman-pengalaman peribadi yang pahit, sampai dipandang orang halal darahnya di negerinya sendiri, sehingga terpaksa hijrah. Namun hijrah bukanlah lari, tetapi pergi menyusun kekuatan lahir dan batin, untuk merebut Negeri itu kembali, yaitu Makkah Al-Mukarramah. Karena dari sana, dari Makkah, yang bernama juga “Ummul Qura” artinya ibu dari negeri-negeri akan dipancarkan kelak pimpinan ke seluruh dunia. Sebab Muhammad diutus ialah untuk menjadi Rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ‘Aalamin).

Ketika diadakan “Ulang Tahun ke-II” berdirinya Partai Politik Islam Masyumi di Gedong Nasional (Bekas gedong Belvedere) pada 7 November 1947, di Bukittinggi Wakil Presiden Muhammad Hatta hadir dan turut mendengarkan keterangan dan uaraian bekas murid atau kadernya itu dalam ceramahnya yang brilian tentang MARHAMISME. Dalam memberikan keterangan yang luar biasa mengagumkan saya itu, kelihatan bahwa beliau agak payah karena sakit. Dalam sakitnya itu pidatonya bertambah indah; ada-ada saja penemuan baru tentang ideologi Islam yang ditemuinya. Sehabis dia berpidato seketika akan pulang, Wakil Presiden mengatakan kepada saya rasa sayang karena ideolog yang “Genius” itu sakit.

Sayangnya cita-cita dan penelitian yang indah itu belum sampai diratakan ke seluruh Indoneisa. Penyerbuan Belanda yang kedua terjadi. Kami kucar-kacir, Darwis Thaib pun pulang ke Maninjau kampung halamannya. Dan kami pun berserak-serak. Teringat saya Failasuf Jerman yang besar Friedrich Nietsche dengan filsafatnya yang terkenal “superman”. Buah-buah fikirannya yang indah itu pun banyak yang timbul di waktu dia sakit.

Setelah perang berhenti dan sampai pada penyerahan kedaulatan, terbukalah segala hubungan. Jalan ke Jawa telah terbuka. Tetapi Masyumi telah masuk ke dalam lapangan praktis politik yang hebat. Bergolak menegakkan cita-cita di dalam hebatnya pukulan lawan-lawannya.

Apa yang dikira-kirakan oleh Darwis Thaib seketika di Jalan Lurus Bukittinggi yang ketika itu ada yang menertawakan atau menyangka “katai-katai” orang sakit yang tengah mengigau, benar-benar terjadi; Masyumi sesudah tiga kali memegang perdana menteri dan dua kali menjadi Wakil Perdana Menteri, akhirnya dibubarkan oleh Presiden Sukarno.

Tetapi pokok dan dasar faham Marhamisme yang digali oleh Darwis Thaib dari dalam Surat Al-Balad ini masih tercantum dengan baik dan segar, dan masih dapat saja memberikan inspirasi perjuangan untuk tiap-tiap masa, untuk keturunan (generasi) demi keturunan.



Pokok bercatur yang dimainkan Sukarno ialah yang dalam sejarah politik Indonesia dinamai “Kabinet Kaki Empat”. Yaitu Koalisi Empat Partai Besar; (1) Masyumi (2) P.N.I. (3) P.K.I (4) Nahdhatul Ulama. Sukarno pun tahu bahwa mustahil Masyumi akan mau kerjasama dengan Komunis. Dengan ajakan yang mustahil inilah Sukarno lawan politik yang hebat itu mempermain Caturnya, mulai menyisihkan Masyumi.


Asy Syams 1 – 8

$
0
0


Di sini Tuhan Allah mengambil persumpahan dengan beberapa makhluk yang Dia ciptakan, yang samasekali itu adalah makhluk besar jika dibandingkan dengan kejadian manusia. Mula sekali di Surat ini Tuhan bersumpah dengan matahari, dan matahari pula yang menjadi nama Surat ini; “Demi matahari dan cahaya siangnya.” (ayat 1).

Karena apabila matahari telah mulai terbit, kian lama dia akan kian tinggi dan kian memancar pulalah cahaya siangnya. Maka terasalah betapa sangkut=pautnya kehidupan manusia dengan cahaya matahari di siang hari itu.

Dalam ayat ini ada disebut waktu Dhuha, yaitu sejak matahari mulai beransur panas, sampai matahari di pertengahan langit. Waktu itu disebut waktu Dhuha. Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir Juzu’ ‘ammanya mengatakan bahwa matahari dijadikan persumpahan oleh Tuhan agar kita perhatikan terbitnya dan terbenamnya, karena dia adalah makhluk Tuhan yang besar dan dahsyat. Dan Tuhan ambil pula cahaya siangnya jadi persumpahan karena cahaya itulah sumber kehidupan dan penerang mencari petunjuk dalam alam ciptaan Tuhan yang luas ini. Di mana engkau akan dapat hidup kalau cahaya matahari tak menerangi? Dan di mana engkau akan dapat melihat sesuatu yang tumbuh dan berkembang? Bahkan di mana engkau dapat mengetahui dirimu sendiri, kalau tak ada cahaya Sang Surya?

“Demi bulan apabila dia mengikutinya.” (ayat 2). Yang dimaksud bulan mengikuti matahari ini ialah di saat-saat bulan mencapai purnamanya, sejak 13 haribulan sampai 16 haribulan. Waktu itulah bulan penuh sebagaimana adanya kelihatan dari muka bumi, sehingga malam pun mendapat sinaran dari bulan sepenuhnya sejak matahari terbenam sampai fajar menyingsing. Oleh sebab itu persumpahan Ilahi tertuju di sini bukan semata kepada bulannya, tetapi terutama lagi kepada perbandingan cahayanya dengan cahaya matahari. Bukanlah maksud ayat ini bahwa bulan sendirilah yang mengikuti matahari, sebab sebagai tersebut di dalam Surat 36, Yaa-Siin ayat 40 perjalanan bulan itu jauh lebih cepat dari perjalanan matahari, sehingga “Tidaklah selayaknya matahari menukar bulan”, sebab perjalanan matahari itu lebih lambat (365 hari edaran satu tahun) dan bulan lebih cepat (354 hari dalam setahun).

“Demi siang apabila menampakkannya.” (ayat 3). Artinya, apabila hari telah pertambah siang, bertambah nampak jelaslah matahari itu, bahkan adanya matahari yang jelas itulah yang menyebabkan adanya siang. Karena di waktu itulah matahari yang memancarkan cahaya itu menjadi lebih jelas. Sehingga jelaslah dalam ayat ini betapa pentingnya cahaya itu bagi seluruh alam dalam kekeluargaan matahari, terutama di muka bumi kita ini. Dan kepentingan perhatian kita di hadapan cahaya itu bertambah lagi karena ayat yang berikutnya; “Demi malam apabila menutupinya.” (ayat 4). Karena bila matahari telah terbenam datanglah malam. Malam ialah saat-saat berpengaruhnya kegelapan, karena matahari tidak kelihatan lagi. Dan kegelapan malam itu mempengaruhi kepada urat-urat saraf kita. Dengan datangnya malam, yang matahari laksana tersimpan dahulu, kita pun dapat beristirahat menunggu matahari terbit pula.

“Demi langit dan apa yang mendirikannya.” (ayat 5). Setelah diambil perhatian kita kepada matahari, bulan dan siang dan malam, pada yang kelima diperingatkanlah keindahan langit itu sendiri, dan apa atau siapakah yang membina langit yang demikian indah, yang kadang-kadang dinamai “gubah hijau”, demi indah permainya di siang hari ketika awan beriring ke tepi, bukan berarak ke tengah. Dan lebih indah lagi bila kelihatan di malam hari dengan hiasan bintang-bintang, tidak pernah membosankan mata memandang, lebih-lebih lagi mereka yang berperasaan halus.

“Demi bumi dan apa yang menghamparkannya.” (ayat 6). Kelihatan pula keindahan bumi dengan lautan dan daratannya, gunung dan ganangnya, danau dan tasiknya, rimba dan padang belantaranya. Kayu-kayuannya, rumput-rumputannya, binatang-binatangnya, ikannya di laut, ternaknya di padang. Sebagai ayat 5 tentang langit, perhatian pun ditarik untuk memperhatikan apa yang menghamparkan bumi itu begitu indah, dengan padang saujananya yang serenjana mata memandang. Alangkah dahsyatnya kejadian bumi itu, apakah agaknya, atau siapakah yang menghamparkannya sehingga manusia dapat hidup di dalam bumi terhampar itu? Di kedua ayat ini, ayat lima dan ayat enam; dikatakan apa untuk mencari siapa!

Untuk menegaskan dari apa kepada siapa, datanglah ayat selanjutnya; “Demi sesuatu diri dan apa yang menyempurnakannya.” (ayat 7). Atau sesuatu jiwa, yang dimaksud ialah peribadi seorang Insan, termasuk engkau, termasuk aku. Sesudah kita disuruh memperhatikan matahari dan bulan, siang dan malam, langit dan bumi dan latarbelakang segala yang nyata itu, yang di dalam filsafat dinamai fisika, kita disuruh mencari apa metafisikanya, sampai hendaknya kita menginsafi bahwa segala-galanya itu mustahil terjadi dengan sendirinya. Semuanya teratur, mustahil tidak ada yang mengatur. Untuk sampai kesana, sesudah melihat alam keliling, hendaklah kita melihat diri sendiri; Siapakah AKU ini sebenarnya? Aku lihat matahari dan bulan itu, siang dan malam itu, langit dan bumi itu, kemudian aku fikirkan; “Aku yang melihat ini sendiri siapakah adanya?” Mula-mula yang kita dapati ialah; “Aku Ada!” bukti bahwa aku ini ADA ialah karena aku berfikir. Aku Ada, karena aku bertanya. Sesudah Aku yakin akan ADAnya aku, datanglah pertanyaanku terakhir; ”secara kebetulankah AKU ADA ini? Secara kebetulankah aku ini berfikir? Dan apa artinya AKU ADA ini? Siapakah yang aku? Apakah tubuh kasar ini, yang dinamai fisika pula. Kalau hanya semata-mata tubuh kasar ini yang aku, mengapa waktu berhenti bernafas dan orang pun mati? Dan barulah sempurna hidupku karena ada gabungan pada diriku ini di antara badan dan nyawa. Dan nyawa itu pun adalah sesuatu yang metafisika, di luar kenyataan! Maka lanjutlah pertanyaan! Apa dan siapakah yang menyempurnakan kejadianku itu?”

Di sinilah kita mencari Tuhan Maha Pencipta, setelah kita yakin akan adanya diri kita. Di sinilah terletak pepatah terkenal:

“Barang siapa yang telah mengenal akan dirinya, niscaya akan kenallah dia kepada Tuhannya.”

Sedangkan diri sendiri lagi menjadi suatu persoalan besar, apakah lagi persoalan tentang mencari hakekat Tuhan. Maka akan nyatalah dan jelaslah Tuhan itu pada matahari dengan cahaya siangnya, bulan ketika mengiringinya, siang ketika menampakkannya, malam ketika menutupinya, langit yang jelas betapa kokoh pendiriannya dan bumi yang jelas betapa indah penghamparannya; akhirnya diri kita sendiri dengan serba-serbi keajaibannya.

“Maka menujukkanlah Dia.” (pangkal ayat 8). Dia, yaitu Tuhan yang mendirikan langit menghamparkan bumi dan menyempurnakan kejadian Insan. Diberi-Nya Ilham diberi-Nya petunjuk “kepadanya.” Artinya kepada diri Insan tadi; “Akan kejahatannya dan kebaikannya.” (ujung ayat 8).

Diberilah setiap diri itu Ilham oleh Tuhan, mana jalan yang buruk, yang berbahaya, yang akan membawa celaka supaya janganlah ditempuh, dan bersamaan dengan itu diberinya pula petunjuk mana jalan yang baik, yang akan membawa selamat dan bahagia dunia dan akhirat.

Artinya, bahwa setiap orang diberi akal buat menimbang, diberikan kesanggupan menerima Ilham dan petunjuk. Semua orang diberitahu mana yang membawa celaka dan mana yang akan selamat. Itulah tanda cinta Allah kepada hamba-Nya. Di Surat Al-Balad yang baru lalu pada ayat 10 dikatakan juga:

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan mendaki.”

Asy Syams 9 – 15

$
0
0

“Maka berbahagialah barangsiapa yang membersihkannya.” (ayat 9). Setelah Tuhan memberikan Ilham dan petunjuk, mana jalan yang salah dan mana jalan kepada takwa, terserahlah kepada manusia itu sendiri, mana yang akan ditempuhnya, sebab dia diberi Allah akal budi. Maka berbahagialah orang-orang yang membersihkan jiwanya atau dirinya, gabungan di antara jasmani dan rohaninya. Jasmani dibersihkan dari hadas dan najis, hadas besar atau kecil, baik najis ringan atau berat. Dan jiwanya dibersihkan pula daripada penyakit-penyakit yang mengancam kemurniannya. Penyakit paling berbahaya bagi jiwa ialah mempersekutukan Tuhan dengan yang lain, mendustakan kebenaran yang dibawa oleh Rasul, atau bersifat hasad dengki kepada sesama manusia, benci, dendam, sombong, angkuh dan lain-lain.

“Dan celakalah barangsiapa yang mengotorinya.” (ayat 10). Lawan dari mensucikan atau membersihkan ialah mengotorinya. Membawa diri ke tempat yang kotor; kotor jasmani tersebab najis, tidak istinja’ (bersuci daripada najis dan hadas), tidak berwudhu’ lalu tidak sembahyang, tidak tahu kebersihan. Seorang yang beriman hendaklah selalu mengusahakan pembersihan diri luar dan dalam, dan jangan mengotorinya. Sebab kekotoran akan membuka segala pintu kepada berbagai kejahatan yang besar. Sebagai salah satu bukti dari kekotoran jiwa itu ialah perbuatan kaum Tsamud, kaum yang didatangi oleh Rasul Allah yang bernama Shalih.

“Telah mendustakan Tsamud, tersebab kesombongannya.” (ayat 11). Kesombongan adalah salah satu akibat dari kekotoran jiwa. Kaum Tsamud sombong, angkuh dan lantaran itu mereka tidak memperdulikan peraturan dan tidak menghargai janji yang telah diikat dengan Allah; “Seketika telah bangkit orang yang paling celaka di antaranya.” (ayat 12). Di dalam Surat-surat yang lain yang telah kita tafsirkan, telah kita ketahui bahwa sekelompok orang-orang celaka yang tidak menghargai nilai-nilai budi dan sopan, santun, peminum tuk dan pezina, telah bangkit menantang dan melanggar peraturan Allah.

“Lalu berkata Rasul Allah kepada mereka.” (pangkal ayat 13). Yaitu Rasul Allah dan Nabi-Nya, Shalih ‘alaihis-salam, yang telah diutus Allah kepada kaum itu. Mulanya mereka tidak mau percaya kepada Risalat yang dibawa oleh Nabi Shalih; lalu akhirnya mereka meminta ayat, atau tanda dan mu’jizat akan jadi bukti bahwa dia memang Utusan Tuhan. Lalu Tuhan ciptakan seekor unta besar. Maka dibuatlah janji bersama, bahwa jika unta itu tercipta, maka minuman akan dibagi; sehari minuman untuk unta dan sehari untuk penduduk negeri itu. Air itu timbul dari satu mata-air yang jernih. Di hari minuman unta mereka tidak boleh mengambil air, walaupun seteguk. Di hari minum mereka unta tidak akan minum, walaupun seteguk. Itulah yang diperingatkan oleh Nabi Shalih; “(Jagalah) unta Allah dan minumannya.” (ujung ayat 13). Artinya janganlah perjanjian dan pembahagian itu dilanggar, turutilah baik-baik dan jangan unta Allah itu diganggu supaya kalian selamat.

“Tetapi mereka dustakan dia.” (pangkal ayat 14). Mulanya mereka langgar peraturan yang telah diperbuat itu. Karena si celaka itu, dua orang kepalanya, yaitu si Qadar dan si Mashda ingin minuman tuak di rumah kekasih mereka seorang perempuan jahat. Setelah tuak itu dihidangkan ternyata sangat tebal alkoholnya. Mereka ingin ditambah sedikit dengan air. Tetapi pada malam itu air tidak ada dalam kendi perempuan itu, dan malam itu air tidak boleh diambil ke telaga, sebab sedang hari minuman unta. Maka dengan sombongnya kedua kepala penjahat atau orang celaka itu menyuruh anak buah mereka menyauk air dan minum sepuas-puasnya dan jangan diperdulikan peraturan yang dibuat Nabi Shalih itu. Kalau membuat-buat peraturan yang mengikat kemerdekaan mereka, kalau perlu Shalih sendiri dibunuh; “Lalu mereka bunuh unta itu.” Yang dinamai “Naqat Allah”, unta Allah. Unta itu mereka bunuh beramai-ramai pada malam itu juga, mereka bagi-bagi dagingnya dan mereka makan bersama-sama. “Maka Tuhan mereka pun mencurahkan azab kepada mereka lantaran dosa mereka itu.” Sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa Surat sebelum ini, didatangkan Tuhanlah kepada mereka siksaan tiga hari lamanya; khusus kepada sekalian mereka yang telah memakan daging unta itu; Hari pertama seluruh badan jadi kuning, hari kedua masak jadi merah, hari ketiga menjadi hitam. Dan pada petang hari yang ketiga itu kedengaranlah suara pekik yang sangat hebatnya, sehingga pecahlah anak telinga mendengarkannya dan sampai kepada perut pun jadi pecah. Adapun orang yang tidak turut memakan daging unta itu telah dibawa oleh Nabi Shalih terlebih dahulu meninggalkan negeri itu, sehingga mereka pun selamat; “Hingga Dia ratakan kebinasaan itu.” (ujung ayat 14). Tidak ada yang terlepas, semua yang bersalah, laki-laki dan perempuan, bahkan siapa saja pun rata disapu oleh azab itu, kecuali orang-orang yang beriman yang telah dapat memelihara diri di bawah pimpinan Nabi Shalih sebelum azab turun.

“Maka tidaklah Dia menghiraukan akibat dari kesalahan mereka.” (ayat 15). Artinya, jika semua yang bersalah itu mendapat siksa yang rata dari Allah, tanpa kecuali, janganlah sampai orang menyangka bahwa Allah berbuat aniaya kepada hamba-Nya. Azab Allah itu adalah akibat saja. Di dalam ayat tersebut uqbaaha daripada pelanggaran yang telah mereka lakukan. Maka segala manusia pun demikianlah jalan yang akan mereka tempuh. Tidaklah mereka dengan tiba-tiba datang dan diazab saja. Tuhan terlebih dahulu memberikan Ilham mana jalan yang salah dan yang buruk dan mana pula jalan yang takwa dan selamat. Untuk perlengkapannya maka Allah mengutus Rasul, guna menyempurnakan ilham yang diberikan Tuhan itu. Berbahagialah orang yang berusaha mensucikan dirinya lahir dan batin, dan celakalah orang yang mengotorinya. Cobalah perhatikan kaum Tsamud itu; telah Tuhan utus seorang Rasul kepada mereka. Lalu mereka meminta tanda dia jadi Utusan Tuhan. Permohonan mereka dikabulkan. Lalu diikat janji dan disetujui bersama, dan Tuhan pun menciptakan Unta Allah itu. Tetapi rupanya masih ada di antara mereka yang mengotori diri dengan perangai-perangai jahat dan celaka, sampai mereka bunuh unta itu, dan mereka bagi-bagikan dagingnya dan mereka makan bersukaria, seakan-akan mempertontonkan bahwa peraturan dan perjanjian dengan Allah itu tidaklah akan mencelakakan diri kalau dilanggar. Akibatnya ialah bahwa Allah mengambil sikap; mereka pun dihncurkn.

Maka tidaklah Allah menghiraukan atau sedikit pun Allah tidak merasa kasihan, meskipun sifat Allah itu adalah Rahman, dan Rahim, Pengasih dn Penyayang. Terhadap orag ini Tuhan melakukan sifatnya: ‘Aziizun, dzun-tiqaam. Artinya Gagah Perkasa dan membalas kesalahan dengan setimpal. Karena dalam sifat-sifat yang demikian tidak sedikit pun kurang atau rusak sifat Rahman dan Rahim Allah itu. Bahkan Rahman dan Rahim kepada makhluk-Nya dan hamba-Nya yang lain, diperlihatkan hal ini kepada mereka, karena Allah Kasih dan Sayang, jangan sampai hamba yang lain menempuh jalan yang salah itu pula.

Itulah artinya bahwa Allah tiada menghiraukan akibat dari kesalahan mereka, sebagaimana yang terlukis pada ayat 15 ayat penutup Surat.

An Naba’ 1 – 5

$
0
0


BERITA YANG BESAR

“Dari hal apakah mereka tanya-bertanya?” (ayat 1). Atau, soal apakah yang mereka pertengkarkan atau persoalkan di antara sesama mereka? Mengapa mereka jadi bertengkar tidak berkesudahan?

Yang  mereka tanya-bertanyakan, yang mereka persoalkan, menjadi buah   tutur   di mana mereka berkumpul sesama mereka, yaitu kaum Quraisy itu, ialah: “Dari hal satu berita besar!” (ayat 2).

Adalah satu berita besar bagi mereka itu seketika Muhammad SAW anak Abdullah, yang mereka kenal sejak dari masa kecilnya sampai masa remajanya dan sekarang telah meningkat usia lebih dari empat puluh tahun telah mengeluarkan suatu pendirian yang berbeda sama sekali daripada apa yang mereka harapkan. Dia mengaku dirinya mendapat wahyu dari Tuhan: Dia mengaku Malaikat Jibril diutus Allah menemuinya buat menyampaikan wahyu itu. Dan wahyu-wahyu yang disampaikannya  itu sangatlah menggoncangkan masyarakat. Dia melarang menyembah berhala yang selama ini menjadi dasar agama kaumnya. Dan dia pun mengatakan pula bahwa di belakang hari yang sekarang ini, yaitu setelah kita mati, kita semuanya ini akan hidup kembali dalam alam lain yang bernama alam Akhirat. Di sana akan diperhitungkan amalan manusia. Dosa yang tidak akan diampuni, kalau tidak taubat betul-betul, ialah dosa mempersekutukan Allah dengan yang lain.

Mereka tanya-bertanya, berbisik hilir berbisik mudik, di “Darun-Nadwah” tempat mereka biasa berkumpul, ataupun di dalam Mesjid, atau di mana saja. Yang jadi berita hangat ialah soal ini; soal Al-Quran yang dinamai wahyu, soal Kiamat dan soal kebencian kepada penyembahan berhala. Itulah semua: “Yang telah mereka perselisihkan padanya.” (ayat 3).

Niscaya perselisihan itu tidak akan putus-putus. Tanya-bertanya di antara yang satu dengan yang lain tiadakan terhenti, karena semuanya hanya akan memperturutkan pertimbangan sendiri.

“Jangan!” (pangkal ayat 4). Artinya tidaklah ada perlunya dipertengkarkan atau mereka tanya-bertanya dalam soal yang besar itu, karena: “Kelak mereka akan tahu.” (ujung ayat 4). Tegasnya kalau mereka bertengkar atau tanya-bertanya dalam persoalan yang besar itu, sehingga keputusan tidak ada, namun akhir kelaknya mereka pasti akan tahu juga, atau segala yang mereka tanya-bertanyakan itu tidak lama lagi pasti menjadi kenyataan, karena ketentuan yang digariskan oleh Allah, tidak ada tenaga manusia yang dapat ‘menahannya.

“Kemudian itu!” (pangkal ayat 5). Kemudian itu diperingatkanlah untuk kesekian kalinya, “Sekali-kali jangan!” Bertengkar bertanya-tanyaan juga, karena tidak akan ada faedahnya menggantang asap mengkhayalkan kehendak yang telah tertentu dari Allah dengan hanya meraba-raba dalam kegelapan jahil: “Kelak mereka akan tahu!” (ujung ayat 5).

Segala keragu-raguan yang menimbulkan berbagai macam pertanyaan kian  sehari akan kian sirna, sebab al-Quran kian sehari akan kian jelas.

Menurut suatu riwayat yang dibawakan oleh ahli-ahli tafsir, soal yang lebih menjadi soal yang dipertanya-tanyakan di antara mereka, terlebih dari yang lain ialah soal dibangkitkan sesudah mati itu, (yaumal ba’ts).

Sebagai tersebut di dalam Surat 36 (Yaa-Siin) ayat 78, pernah ada di antara mereka yang memungut tulang yang telah lapuk dari tanah, lalu bertanya kepada Nabi SAW: “Siapakah pula yang akan dapat menghidupkan kembali tulang belulang ini padahal ia telah lapuk?” Sampai Nabi disuruh menjawab (ayat 79): “Yang akan menghidupkannya ialah yang menjadikannya pertama kali.”

Kesimpulan dari ayat-ayat ini ialah, pertanyaan yang timbul di antara sesamamu itu kelak akan terjawab dengan sendirinya, karena wahyu akan turun lagi dan keterangan akan bertambah lagi, dan pembuktian pun akan diperlihatkan. Sebab itu bersedialah buat beriman.

An Naba’ 6 – 16

$
0
0

ALANGKAH HEBATNYA PENCIPTAAN TUHAN

Dengan sepuluh ayat, dari ayat 6 sampai ayat 16 terbukalah kepada kita bagaimana caranya Allah mendidik dan membawa manusia kepada berfikiran luas, agar dia jangan hanya terkurung dalam batas-batas fikiran sempit, sehingga dia tidak tahu jalan mana yang harus dilaluinya supaya dia bertemu dengan jawaban soal besar yang dipertanya-tanyakan itu.

Insafilah dimana engkau tegak sekarang, karena kehendak siapa engkau datang ke dalam hidup ini: “Bukankah telah Kami jadikan bumi itu terbentang?” (ayat 6).

“Bumi terbentang” – suatu ungkapan yang Maha Indah dari Allah sendiri. Boleh juga disebut bumi terhampar, laksana menghamparkan permadani, yang kamu Insan diberi tempat yang luas buat hidup di atas bumi yang dibentangkan itu. Untuk siapa bumi itu, kalau bukan untuk kamu? Dan segala yang ada di dalamnya pun boleh kamu ambil faedahnya. Maka dalam kata-kata mihaada, yang kita artikan terbentang itu terasalah satu penyelenggaraan dan satu persilahan: ambilah faedahnya.

Dan gunung-gunung (sebagai) pancang-pancang.” (ayat 7). Dijelaskanlah pada ayat ini kegunaan gunung. Kalau gunung tak ada, bumi tidak akan selamat dan tidak akan terbentang dengan baik. Karena angin selalu berhembus keras akan membongkar urat dari kayu-kayu yang tumbuh sebagai keperluan hidup itu. Dengan adanya gunung-gunung sebagai pancang itu, kokohlah hidup manusia. Dan misalnya habislah kayu-kayuan yang tumbuh di lereng gunung, ketika hujan turun meluncurlah tanah, dan keringlah bumi yang terbentang itu karena tidak ada yang menghalanginya lagi dan terhalanglah hidup, karena erosi.

“Dan telah Kami jadikan kamu berpasang-pasangan.” (ayat 8). Berpasang-pasangan, yaitu berjantan berbetina, berlaki-laki berperempuan, berpositif bernegatif, dengan demikian itulah Allah menciptakan alam ini seluruhnya. Ada berlangit berbumi, ada berawal berakhir, ada berlahir berbatin, ada berdunia berakhirat dan seterusnya. Maka dengan demikianlah Allah Yang Maha Tunggal menciptakan seluruh yang maujud dalam alam ini berpasang-pasangan. Yang berdiri sendiri hanya Allah!

“Dan telah Kami jadikan tidur kamu untuk berlepas lelah.” (ayat 9). Dengan demikian tenang kembali rohanimu dan jasmanimu yang sibuk selalu, bagai mengumpulkan kekuatan yang baru, sehingga tidur adalah kemestian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup.

“Dan telah Kami jadikan malam (sebagai) pakaian.” (ayat 10).

Menurut Ibnu Jarir Ath-Thabari: “Gelap malam itu meliputi seluruh diri kamu, sehingga walaupun kamu bertelanjang tidak berkain sehelai benang jua, namun kegelapan malam itu sudah menjadi ganti dari pakaianmu.” Dan menurut penafsiran daripada Ibnu Jubair dan As-Suddi: “Ketenangan diri karena nyenyak tidur untuk membangkitkan tenaga baru untuk hari esok, serupa juga dengan mengganti pakaian yang telah kumal dengan yang masih bersih.”

“Dan telah Kami jadikan siang untuk penghidupan.” (ayat 11). Setelah tadi malam beristirahat berlepas lelah, pagi-pagi badan dan jiwa menjadi segar. Setelah terasa segar mulailah bekerja dan bergiat lagi berjalan di atas bumi yang telah terbentang itu mencari perbekalan buat hidup, mencari rezeki, mencari makan dan minum. Itulah yang dinamai ma’aasya: Penghidupan. Dalam kata-kata susunan lain disebut juga ma’iisyah.

“Dan telah Kami bangunkan di arah atas kamu tujuh yang kokoh.” (ayat 12). “Tujuh yang kokoh” ialah langit yang tujuh lapis. Dan kita pun tahu cara pemakaian bahasa Arab, bahwa kalau disebut kalimat “tujuh” yang dimaksud ialah banyak! Dan semua langit itu dibina oleh Allah dengan kokohnya. Beredarlah dalam cakrawala itu berjuta-juta bintang dan satu di antaranya adalah bumi kita ini, dan kita pun hidup di atas permukaan bumi, di bawah naungan langit: “Dan telah Kami jadikan suatu pelita yang terang benderang.” (ayat 13). Pelita yang terang-benderang itu, yang hanya satu, yaitu Matahari telah memancarkan sinar yang terang-benderang, sehingga untuk tahu bagaimana sinar terang-benderangnya, bandingkanlah kepada malam hari, ketika matahari itu terbenam, telah kita ganti dengan berjuta-juta pelita kita sendiri, namun berjuta-juta pelita itu belum juga dapat menggantikan sinar terang-benderang matahari yang meliputi alam di siang hari.

“Dan telah kami turunkan dari awan air yang bercucuran.” (ayat 14). Itulah hujan yang selalu menyirami bumi, air bercucuran ialah hujan yang lebat, yang selalu membagi-bagikan air itu untuk hidup segala yang bernyawa.

Di dalam Surat 21, Al-Anbiya’ ayat 30 sudah diterangkan pula bahwa segala yang hidup di atas bumi ini, baik manusia atau binatang, atau tumbuh-tumbuhan sekalipun sangat bergantung kepada air. Hujanlah cara pembagian air yang paling merata dari Allah, buat mengisi sumur yang hampir kering, buat meneruskan aliran sungai-sungai dan mengalir terus ke laut, dan dari laut itu air tadi menguap ke udara buat menjadi awan atau mega, berkumpul untuk kembali menjadi hujan, dan turun kembali. Demikianlah terus-menerus.

“Karena akan Kami keluarkan dengan dia.” (pangkal ayat 15). Yaitu dengan sebab bercucurannya air hujan tersebut keluarlah: “Biji-biji dan tumbuh-tumbuhan.” (ujung ayat 15). Banyaklah macamnya tumbuhan yang berasal dari bijinya. Seperti lada, mentimun, kacang dalam segala jenisnya, jagung dan padi dan sebagainya. Semuanya itu dari biji atau benih. Sebelum disinggung air dia kelihatan tidak berarti apa-apa. Tetapi setelah dia kena air, timbullah dua helai daun yang tadinya tersimpul menjadi biji itu. Lain pula halnya dengan berbagai tumbuh-tumbuhan yang lain, yang akan hidup kembali setelah kena air ialah uratnya yang telah kering tadi. Air menjadikan dia basah, dan basah menghasilkan hidup pada dirinya buat menghisap air lagi yang tersimpan di dalam bumi.

“Dan kebun-kebun yang subur.” (ayat 16). Sudah sejak manusia hidup mengenal bercocok tanam sebagai lanjutan dari hidup berburu di darat dan di air, kian lama kian teraturlah cara manusia menanam dan kian jelaslah apa yang mereka pandang patut ditanam. Mulanya hanya sekedar mencari apa yang baik untuk dimakan. Misalnya dengan dikenal manusia gandum dan padi, lalu manusia pun membuat kebun atau sawah yang lebih teratur, karena akal yang telah lebih cerdas itu didapat ialah setelah banyak pengalaman. Lama-kelamaan didapati manusia pulalah tumbuh-tumbuhan lain yang bukan saja untuk dimakan, malahan tumbuh-tumbuhan yang pantas ditenun menjadi pakaian. Maka dikenallah kapas dan kapuk dan idas-rumin dan kulit terap. Akhirnya pandailah manusia berkebun korma, berkebun anggur, berkebun jeruk, berkebun kelapa dan bersawah dan lain-lain, sampai kita kenal manusia berkebun getah, berkebun nenas buat diambil daunnya jadi serat rami dan benang.

Dari tiga ayat yang bertali ini, ayat 14 sampai ayat 16 kita melihat usaha manusia menyesuaikan dirinya dengan alam pemberian Allah. Allah menurunkan hujan, manusia mengatur pengairan. Allah mentakdirkan biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, manusia mengatur kebun-kebun dan sawah dan menyusunnya menurut keadaan buminya. Inilah dia kebudayaan. Sebab itu maka usaha perkebunan disebut juga Kebudayaan: Agriculture. Dan Tanah Sumatera Timur sebelum Perang Dunia Kedua yang penuh dengan perkebunan yang luas-luas itu, yang rakyatnya di bawah naungan raja-raja dan Sultan-sultan Melayu dinamai dalam bahasa Belanda: Culmurgebied, Daerah Kebudayaan!

An Naba’ 17 – 20

$
0
0

HARI KEPUTUSAN

Dalam ayat 6 sampai ayat 16 diuraikan oleh Tuhan nikmat-Nya atas manusia di dalam alam yang ada di kelilingnya. Bahwasanya hidup manusia dalam alam ini tidaklah dibiarkan terlantar. Sejak dari terhamparnya bumi, terpancangnya gunung-gunung, kejadian manusia berpasang-pasangan, nyenyak tidur, gelap malam, terang siang, tujuh langit dan pancaran pelita agung sang surya dan lebatnya hujan, semuanya itu adalah nikmat bagi manusia selama hidup di dunia ini, yang kalau manusia sadar akan dirinya, akan tahulah dia betapa besarnya nikmat itu, sehingga dia dapat hidup nyaman di permukaan bumi ini. Dan bahwa hidup manusia kait-berkait dengan alam kelilingnya.

Tetapi jangan lupa! Yang awal mesti ada akhirnya. Bumi itu tidak akan senantiasa demikian saja. Akhirnya dia pasti hancur, dan yang sudah terang terlebih dahulu berjalan meninggalkan bumi ini ialah manusia sendiri. Kalau ajal manusia telah ditentukan, ajal bumi pun telah ditentukan pula. Kalau ajalnya datang, satu apa pun tidak ada yang sanggup bertahan.

“Sesungguhnya Hari Keputusan itu adalah satu waktu yang telah ditetapkan.” (ayat 17). Hari Keputusan itu ialah Hari Kiamat, dan waktunya telah ditentukan di dalam ketentuan Allah, tidak dikurangi dan tidak ditambah dan tidak pula ada yang mengetahui bila hal itu akan terjadi, selain dari Allah sendiri. “(Yaitu) hari yang akan ditiup padanya serunai sangkakala.” (pangkal ayat 8). Bertemulah beberapa ayat di dalam Al-Qur’an tentang serunai sangkakala, atau terompet atau nafiri atau apa yang dinamai tetuang yang bila ditiup akan kedengaran melengking keras suaranya. Serunai itulah pemberitahuan bahwa Hari Keputusan itu telah mulai datang: “Maka akan datanglah kamu berduyun-duyun.” (ujung ayat 18). Dengan demikian jelaslah bahwa tiupan serunai pertama itu adalah panggilan untuk berkumpul, sehingga datanglah manusia berduyun-duyun, rombongan demi rombongan.

Tentang tiupan serunai sangkakala itu Syaikh Muhammad Abduh menulis “Tiupan dalam tafsirnya: Tiupan pada serunai tersebut adalah suatu ibarat bagaimana Allah membangunkan manusia daripada mautnya di hari kiamat itu kelak, yang dapat diambil perumpamaan yang cepat ialah tiupan bunyi terompet, sebagaimana tersebut pada ayat 68 Surat 39, Az-Zumar, demi mendengar bunyi terompet itu mereka pun bangunlah lalu memandang ke sana ke mari dalam kehidupan yang baru. Dan kita pun wajiblah percaya bahwa meniup serunai itu memang akan kejadian, dengan tidak perlu kita kaji pula bagaimana cara penghembusan atau peniupan itu dan apa barangnya.”

Datanglah manusia berduyun-duyun berbondong-bondong ke tempat berkumpul yang dinamai mahsyar itu, tempat memperhitungkan amal dan usaha semasa hidup.

Keadaan pada waktu peniupan serunai sangkakala itu sudah lain:

“Dan akan dibukakan langit, maka jadilah dia beberapa pintu.” (ayat 19).

Dalam keadaan ilmu manusia yang seperti sekarang ini belumlah kita dapat mengetahui bagaimana keadaan langit yang akan terbuka itu. Sebab yang kita lihat pada langit di malam hari hanyalah bintang-bintang yang berserak-serak berjuta-juta banyaknya. Yang kita tahu langit yang kadang-kadang kita namai ruang angkasa itu amat luas atau tinggi, tidak ada batasnya. Kononnya, bila manusia berangkat dari titik tempat tegaknya sekarang ini, (misalnya di rumah saya di Kebayoran), lalu berangkat secepat cahaya mengedari “kolong” langit ini, 12 juta tahun baru sampai kembali ke tempat tegak semula tadi.

Apakah ini yang bernama langit pertama? Dan apakah ini yang akan terbuka lalu terjadi beberapa pintu? Ataukah bintang-bintang yang banyak itu gugur dan terkisar dari tempat jalannya semula, sehingga langit ketirisan? Atau bolong? Sehingga hilanglah daya tarik yang menimbulkan keseimbangan dalam perjalanan alam ini? Lalu semua jadi kucar-kacir dan hancur luluh? Wallahu A’lam.

Yang sudah terang, kalau langit sudah dibuka dan beberapa pintu sudah terjadi, maka perjalanan falak sudah berobah sama sekali, dan tentu itulah yang bernama permulaan kiamat.

“Dan akan dihapuskan gunung-gunung, maka jadilah dia sarab belaka.” (ayat 20).

Tadi pada ayat 7 sudah dijelaskan bahwa gunung-gunung itu dijadikan oleh Allah menjadi pasak bumi, atau tiang-tiang peneguh, pemantap, sehingga manusia dapat hidup dengan tenteram. Kalau gunung-gunung tidak ada, bahaya besarlah yang akan menimpa. Manusia tidak akan dapat hidup di muka bumi lagi. Sebab tidak ada lagi yang akan mendinding angin berhembus keras. Ingat sajalah betapa kerasnya angin di laut ketika kita berlayar. Sebab tidak ada yang menghambat angin itu. Dan gunung-gunung di tanah yang subur dapat menahan erosi, yaitu mengalirnya bunga tanah di bawah hujan sehingga tanah menjadi kering. Maka diterangkanlah dalam ayat 20 ini, bahwasanya setelah serunai sangkakala itu ditiup, gunung-gunung pun menjadi hapus. Lantaran itu maka muka bumi menjadi rata, tak bergunung-gunung lagi. Sudah pasti manusia tidak dapat hidup lagi dalam bumi yang tidak bergunung! Yang ada hanyalah padang belantara belaka. Yang kelihatan oleh mata tidak gunung lagi, melainkan sarab yang disebut orang dalam bahasa asing fatamorgana, yaitu bayang-bayang dari panas yang sangat teriknya, menyerupai air yang sedang tergenang dan sangat jernih. Sehingga apabila kita haus, kita menyangka sesampai kita di tempat itu kita akan bertemu air. Padahal setelah datang ke sana, setetes air pun tidak akan ditemui. Itulah sarab. Dan itulah yang telah diperumpamakan Allah atas orang-orang yang haus akan kebahagiaan jiwa, padahal tidak menurut tuntunan yang diberikan Allah, berjalan tengah kehausan di padang pasir, sebagai tersebut di dalam Surat 24 An-Nur, ayat 39.

Maka pada waktu itu langit tempat bernaung telah tembus dan berlobang-lobang menjadi banyak pintu. Gunung-gunung tempat berlindung dari dahsyatnya angin telah rata dengan tanah, sehingga pengharapan sudah menjadi fatamorgana belaka; disangka air, rupanya hanya pasir!

An Naba’ 21 – 30

$
0
0

PENDERITAAN DALAM NERAKA JAHANNAM

Pada ayat 17 sampai 20 diterangkan permulaan atau sebagai pendahuluan dari Hari Kiamat. Hari Kiamat artinya Hari Berbangkit, dinamai juga Hari Keputusan. Karena pada waktu itulah Allah akan memutuskan perkara tiap-tiap makhluk-Nya yang baik dan yang buruk. Maka mulai ayat 21 sampai 30 ini diterangkanlah akibat yang akan diterima oleh hamba Allah yang durhaka.

“Sesungguhnya neraka jahannam itu selalu mengawasi.” (ayat 21). Atau selalu menunggu dan memperlihatkan orang-orang yang kufur yang akan dilemparkan ke dalamnya. Lalu pada ayat selanjutnya diterangkanlah lebih tegas siapa yang akan masuk ke dalam itu: “Bagi orang-orang yang durhaka, adalah dia tempat kembali.” (ayat 22). Thaghiin kita artikan saja secara ringkas dengan orang-orang yang durhaka, meskipun isi makna mungkin lebih jauh dari itu. Sebab kata Thaghiin itu adalah satu sumber (mashdar) dengan thaghut, yang berarti orang atau barang yang dipuja-puja dan diagung-agungkan sehingga karena itu dia sombong dan berlaku sesuka hati. Sebab itu pula diktator atau orang yang bersimaharajalela karena kekuasaan dinamai juga Thaghiyah. Lantaran itu dapatlah difahamkan bahwa orang yang Thaghiin, yang akan masuk ke dalam neraka jahannam itu ialah orang yang hanya memperturutkan kemauan sendiri, tidak mau menuruti aturan yang umum, tidak mau memakai peratururan Allah dan peraturan Rasul. Orang beriman memakai Kitab Allah menjadi pedoman hidup, namun orang yang Thaghiin itu Kitab Allahnya ialah genggaman tinjunya. Ibarat orang bermain bola di tanah lapang menurut aturan-aturan yang tertentu, namun bagi dia peraturan itu tidak perlu, yang perlu ialah bola itu masuk, walaupun dengan dihantarkan ke muka gawang dengan pistol di tangan kanan dan bola itu di tangan kirinya.Movie All Is Lost (2013)

Seluruh manusia mengatakan kemasukan bola cara demikian tidak sah, namun dia sendiri mengatakan sah, sebab dihantarkannya sendiri dengan pistol!

Orang yang semacam itulah yang dalam bahasa Arab disebut Thaghiin. Maka orang yang tidak peduli peraturan Allah dan Rasul, hanya peraturan buatannya sendiri, orang semacam itulah yang tempat kembalinya neraka jahannam.

“Akan tinggal mereka di sana beberapa huqub lamanya.” (ayat 23). Dalam ayat 60 daripada Surat 18 (Al-Kahfi) ada dituliskan bahwa Nabi Musa mau berjalan kaki, walaupun sampai satu huqub; dia tidak akan berhenti sebelum bertemu dengan guru yang dicarinya itu, (tengok dalam Juzu’ 15). Maka terdapatlah arti satu huqub menurut orang Arab ialah sekira 80 (delapan puluh) tahun. Sekarang dalam ayat ini bertemu kata jama’ daripada huquban, yaitu ahqaba. Artinya akan menderitalah orang yang durhaka itu terpendam dalam neraka jahannam berkali-kali delapan puluh tahun atau sebagai ditafsirkan oleh Al-Qurthubi: “Kinayatun ‘anit ta’bidd” sebagai kata ungkapan dari kekekalan. Bila telah masuk, payah akan keluar lagi.

“Tidak mereka akan merasakan dingin di sana.” (pangkal ayat 24). Artinya ialah panas selalu, tidak sekali jua merasakan dingin: “Dan tidak minuman.” (ujung ayat 24). Artinya bahwa segala minuman yang akan dapat menghilangkan dahaga tidaklah akan diberikan di sana: “Kecuali air mendidih dan air luka (nanah).” (ayat 25). Tentu haus tidak akan lepas kalau yang disuruh minum ialah air mendidih, air yang menggelegak, yang akan menghanguskan perut. Dan nanah atau air bekas luka dalam, sebangsa mala yang mengalir dari tubuh mayat yang terlambat dikuburkan, itu pun bukan melepaskan haus melainkan menambah azab.

“Suatu balasan yang setimpal.” (ayat 26).

Artinya bahwasanya azab siksaan yang demikian pedihnya dan dahsyatnya adalah setimpal belaka dengan dosa yang telah dibuat selama hidup di dunia. Dosa karena melanggar apa yang ditentukan Allah. Yang disuruh tidak dikerjakan, yang dilarang tidak dihentikan. Sehingga jalan mengelak daripada siksaan yang demikian itu, di akhirat tidak ada lagi. Kalau hendak mengelakkannya, maka kesempatan hanyalah ada selama ada di dunia ini juga. Kalau bukan dengan maksud agar hamba Allah dari sekarang jua mengelakkan azab yang seperti tiu, tidaklah ada perlunya Allah menerangkannya di dalam wahyu dari sekarang. Karena pada hakikatnya lebih mudahlah di waktu hidup di dunia ini mengelak dari dosa, daripada setelah di akhirat mengelakkan dari neraka.

Pada ayat yang selanjutnya diterangkan mengapa azab sebesar itu? Dan mengapa dikatakan siksaan yang demikian adalah azab yang setimpal?

Tuhan menjelaskan: “Karena sesungguhnya mereka tidak mengharap kepada perhitungan.” (ayat 27). Mereka tidak mempunyai harapan buat hari depan. Mereka tidak percaya bahwa segala amalan baik ataupun buruk di dunia ini kelak akan diperhitungkan di hadapan mahkamah Ilahi. Oleh sebab itu kalau mereka berbuat baik, bukanlah karena mereka mengharapkan mendapat ganjaran pahala dari Allah, dan kalau mereka berbuat jahat tidaklah mereka percaya bahwa kejahatannya itu diketahui oleh Allah dan akan diberi siksaan setimpal. Habislah dunia hingga ini, tidak ada sambungannya lagi.

“Dan mereka dustakan ayat-ayat Kami, sebenar-benar mendusta.” (ayat 28). Kalau disebut kata jama’ aayaatina, artinya bukanlah satu ayat, melainkan banyak ayat-ayat. Dalam bahasa kita menjadi ayat-ayat Kami. Ayat ada yang berarti tanda kebesaran Tuhan, seumpama gerhana matahari, atau anak lahir ke dunia kembar empat dan lain-lainnya. Itu adalah ayat Allah, yaitu tanda bahwa Allah Maha Kuasa. Maka si Thaghiin itu tidak mau percaya kepada Allah, padahal tandanya sudah kelihatan. Atau ada orang kaya tiba-tiba jatuh miskin, atau orang berpangkat sangat tinggi, tiba-tiba jatuh tersungkur dari jabatannya; itu pun ayat Allah. Namun si Thaghiin itu tidak juga mau insaf. Dan ayat pun boleh diartikan perintah Tuhan yang disampaikan oleh Rasul-rasul Allah, sejak dari Nuh sampai kepada Muhammad SAW, si Thaghiin itu tidak juga mau peduli. Dan Al-Qur’an pun tersusun daripada 6236 ayat, itu pun tidak dipercayainya! Saat sekali ayat-ayat Allah itu didustakannya, atau dengan mulutnya, ataupun dengan perbuatannya, atau dengan munafiknya: percaya mulutnya, hatinya tidak. Ini sama sekali adalah mendustakan, sebenar-benar mendustakan.

“Padahal tiap-tiap sesuatunya telah Kami kumpulkan di dalam kitab.” (ayat 29).

Ayat ini boleh diartikan dua: Pertama, tidaklah patut mereka mendustakan, kerana semuanya telah tertulis dengan jelas. Atau tidak patut mereka mendustakan, karena akal mereka yang murni atau yang dinamai fitrah tidak akan menolak kebenaran dari Tuhan itu. Hati nurani manusia tidak dapat menolak ayat-ayat Tuhan itu, karena dia telah terkumpul dalam kitab. Yaitu kitab-kitab suci yang dibawa Nabi-nabi, atau kitab pada alam terbuka ini, sebagaimana telah diuraikan dalam ayat-ayat 6 sampai ayat 16 di atas tadi.

Arti yang kedua ialah bahawa manusia tidak akan dapat mengelakkan diri daripada perhitungan Allah yang sangat teliti di akhirat kelak. Sebab segala sesuatu yang telah dikerjakan oleh manusia, buruknya dan baiknya, semua sudah tertulis di dalam kitab di sisi Tuhan. Ada malaikat-malaikat yang mulia, yang disebut kiraaman kaatibiin (lihat Surat 82, Al-Infithaar, 11) yang selalu menuliskan segala sesuatu yang telah diamalkan oleh manusia, sehingga mereka tidak memungkirinya lagi.

“Sekarang rasakanlah!” (pangkal ayat 30). Yaitu bila datang Hari Pembalasan (Yaumal Jazaa!) itu. Di saat itu kelak tidaklah akan dapat manusia berlepas diri lagi: “Maka tidaklah akan Kami tambahkan lagi, melainkan azab siksaan jua.” (ujung ayat 30).

Artinya, bahwa sesampai di dalam neraka jahannam itu janganlah mengharap azab akan dikurangi, melainkan sebaliknyalah yang akan terjadi, yaitu penambahan azab, berlipat-lipat ganda, dan terus, dan terus.

Ada orang yang dengan semena-mena mencoba menggoncangkan kepercayaan Islam dengan menyebutkan bahwa ayat-ayat yang seperti ini adalah membuktikan bahwa Allah yang digambarkan oleh orang Islam itu adalah kejam!

Seorang Islam yang tidak mengerti serangan teratur yang tengah dilakukan oleh pemeluk agama lain kepada Islam untuk menggoncang Iman kaum Muslimin, tidak dapat membantah tuduhan tersebut, lalu merasa pula kalau-kalau Allah itu kejam. Padahal ayat-ayat seperti ini sangat memberikan bukti bahwa Allah tidak kejam! Kalau kejam semata-mata kejam, tidaklah akan diperingatkannya kepada hamba-hamba-Nya dengan perantaraan Nabi-nabi-Nya, agar hamba-hamba-Nya ingat keadaan azab itu, supaya si hamba menjauhkan diri daripadanya. Karena selama hidup di dunia inilah saat-saat yang semudah-mudahnya untuk mengelakkan azab siksaan yang pedih itu, dengan cara mengikuti pimpinan yang disampaikan Allah dan dibawakan oleh Rasul-rasul. Padahal sebelum azab neraka di Akhirat, kerapkali manusia telah menerima panjar azab sedikit di dunia ini juga. Misalnya azab karena kusut fikiran, kacau akal, tergoncang urat saraf dan sakit jiwa, yang semuanya itu berasal daripada sebab pelanggaran garis-garis yang telah ditentukan oleh Tuhan.

An Naba’ 31 – 37

$
0
0

NIKMAT SYURGA BAGI YANG BERTAKWA

Selalu Al-Qur’an mengadakan timbalan di antara ancaman dan bujukan, atau siksaan dengan karunia.

“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa ada tempat kemenangan.” (ayat 31). Ketakwaan, artinya usaha selalu memelihara hubungan yang baik dan mesra dengan Allah, sehingga hidup di dunia diatur dengan melaksanakan perintah Ilahi yang tidak berat itu dan menjauhi apa yang dilarang, menyebabkan selamat perjalanan hidup itu sampai kepada akhir umur. Di akhirat kelak telah disediakan baginya Mafaza: tempat berdiam dari orang-orang yang telah menang dalam menegakkan kebenaran.

Tempat kemenangan itu ialah: “Taman-taman dan anggur-anggur.” (ayat 32). Kebun-kebun yang subur, penuh dengan tumbuh-tumbuhan, kembang-kembang berbagai warna disertai buah-buahan yang lazat citarasanya adalah tempat nikmat itu. Dan di antara buah-buahan yang banyak berbagai ragam, ada satu yang istimewa, yaitu anggur-anggur. Karena anggur itu kecil mungil dan bijinya tidak mengganggu.

“Dan perawan-perawan muda yang sebaya.” (ayat 33).

Taman yang indah berwarna-warni, disertai buah-buahan yang lazat citarasanya barulah lebih berarti sebagai tempat orang yang menang dalam perjuangan menantang hawa nafsu dalam hidup di dunia ini, kalau di dalamnya terdapat pula gadis-gadis perawan muda, yang di dalam bahasa Arab disebut kawa’ib sebagai jama’ dari ka’ib, yang berarti gadis remaja yang susunya masih tegang. Dan mereka banyak, sebanyak diperlukan, dan usia mereka boleh dikatakan bersamaan belaka. Ditambah lagi: “Dan piala yang melimpah-limpah.” (ayat 34). Oleh sebab itu minuman senantiasa diedarkan dan tidak pernah kekurangan, sehingga seketika mengisikan dan tempatnya ke dalam piala, sampai melimpah karena penuhnya.

Niscaya datang pertanyaan: “Apa di surga ada minuman keras?” “Tentu bukan minuman yang menyebabkan mabuk dan hilang akal sebagai di dunia ini.”

Kemudian datang lagi ayat berikutnya yang membedakan suasana syurga dengan suasana dunia ini: “Tidak akan mereka dengar padanya kata-kata yang sia-sia dan tidak pula kata-kata dusta.” (ayat 35).

Tepat sekali ayat 35 ini sebagai pengiring dari ayat 34 yang menerangkan bahwa di taman-taman dan kebun-kebun yang indah itu dilengkapi dengan perawan-perawan jelita yang susunya masih padat, perawannya belum rusak, dan mereka banyak dan sebaya semua. Di dalam dunia ini kalau terdapat tempat yang demikian, di sanalah bersarangnya segala nafsu kelamin yang cabul, yang disebut sex.

Jika di dunia ini taman-taman cinta birahi yang kaya dengan segala buah-buahan dan anggur, minuman berbagai rupa, perempuan cantik yang menggiurkan dan menimbulkan nafsu, barulah meriah bila orang telah mabuk-mabuk. Orang meminum tuak dan segala minuman keras ialah untuk menghilangkan rasa malu di dalam berbuat segala macam kecabulan. Keluarlah di sana segala perkataan kotor dan jijik.

Maka suasana dalam syurga bukanlah demikian halnya. Bila disebutkan gadis-gadis remaja dan perawan-perawan sebaya itu, rasa seni dan keindahanlah yang tergetar, bukan hawa nafsu kelamin. Karena soal syurga bukanlah semata menghidangkan pemuas kelamin. Karena nafsu kelamin itu apabila telah terlepas sehabis bersetubuh, kepayahan dan kelelahan badanlah yang tinggal. Lalu menggerutu menyesali tenaga yang habis. Dan apabila diri telah mulai tua dan tenaga mulai hilang, walaupun bagaimana seorang gadis remaja memperlihatkan badannya di muka si tua itu, syahwat tidak tergerak lagi, sehingga timbullah kegemasan karena mulai “menghidupkan” alat yang telah mati. Di saat demikian timbullah kemarahan dan kemendongkolan perempuan itu, sebab nafsunya tidak dapat dilepaskan oleh si tua.

Lantaran itu sekali-kali tidaklah serupa nikmat kediaman di syurga itu dengan “nikmat” yang dirasakan di dunia sekarang ini. Orang tua 75 tahun karena dia kaya-raya berbini muda usia 20 tahun di dunia ini sama dengan hidup di neraka! Yang ada dalam syurga adalah kedamaian fikiran, ketenangan dan tenteram, tidak terdengar kata-kata sia-sia, sebagai banyak terdengar di dunia ini dan tidak pula mendengar kata-kata bohong, yang selalu dipergunakan orang untuk suatu kesenangan dan kemegahan bagi sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa kesenangan duniawi, barulah didapat bila mau korupsi!

Diingatkan sekali lagi, bahwa semuanya ini adalah: “Ganjaran dari Tuhan engkau.” (pangkal ayat 36). Disebutkan ini agar kita dapat memperbedakannya dengan kepelisiran di dunia, yang sebahagian besar bukan karena ganjaran Tuhan, melainkan ganjaran syaitan, yang akhirnya bukan nikmat, melainkan niqmat,  alangkah jauh beda di antara nikmat dan niqmat: “Pemberian yang cukup tersedia.” (ujung ayat 36). Artinya tidak pernah kering, tidak pernah tohor, seimbang di antara tenaga diri yang diberikan Allah dengan nikmat yang tersedia di luar diri itu. Bukan seperti yang terdapat di dunia tadi, seumpama kepelesiran yang berganda-lipat, dengan gadis-gadis remaja yang menggiurkan, namun bagi seorang yang usianya telah tua, hanya menyebabkan tetes air liur saja.

Pada ayat 37 Allah menyatakan siapa diri-Nya dan bagaimana luas sifat Rububiyah-Nya.

“Tuhan dari sekalian langit.” (pangkal ayat 37). As-Samaawaati adalah kata jama’ (banyak) dari as-Samaa’. As-Samaa’ artinya satu langit. As-Samaawaati artinya beberapa langit. Karena telah tersebut di dalam Al-Qur’an sendiri bahwa langit itu sampai tujuh banyaknya, lalu penafsir mengartikan dengan sekalian langit atau beberapa langit. Begitulah penterjemahan bahasa yang dapat dipakai oleh penafsir ini. Karena pemakaian kata jama’ dari baitun yang berarti satu rumah, jama’nya ialah buyuutun yang berarti banyak rumah. Dalam pemakaian kata sehari-hari bahasa Indonesia dan bahasa Melayu banyak rumah disebut rumah-rumah.

Kitaabun untuk satu buku. Kutubun untuk banyak buku, dalam bahasa kita disebut untuk banyak: buku-buku. Tetapi untuk langit kalau banyak tidak dapat disebut artinya menjadi langit-langit. Karena langit-langit artinya bukanlah langit yang banyak, melainkan di dalam mulut kita yang sebelah ke atas! Itu sebabnya maka Samaawaati selalu saya artikan sekalian langit. Supaya ahli-ahli terjemah sama maklum adanya.

“Dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.” Artinya, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Tuhan dari semuanya: Dia yang mengatur, Dia yang mentadbirkan perjalanannya. Dan lagi: “Yang Maha Murah”. Atau diartikan juga Maha Penyayang, yaitu artian yang kita ambil untuk nama Allah: Ar-Rahman, “Tidaklah mereka berkuasa berkata-kata kepada-Nya.” (ujung ayat 37).

Artinya, akan dirasakanlah betapa hebat Kebesaran dan Keagungan Allah Tuhan Sarwa Sekalian Alam pada hari itu. Meskipun hari itu hari nikmat, hari orang yang bertakwa akan menerima ganjaran dan kurnia Ilahi, meskipun bagaimana rasa gembira, namun kebesaran Ilahi itu menyebabkan tiada seorang jua pun yang sanggup bercakap; mulut tertutup semuanya, ditambah lagi oleh rasa terharu setelah menerima nikmat kurnia-Nya yang tiada tepermanai kemuliaan dan ketinggian-Nya itu.


An Naba’ 38 – 40

$
0
0


Lalu diuraikanlah di dekat penutup Surat betapa keadaan Alam Malakut atau Kerajaan Allah dan Kehebatan kekuasaan Ilahi di saat itu kelak.

“Di hari yang akan berdiri Roh dan Malaikat berbaris-baris.” (pangkal ayat 38). Menurut tafsir dari Ibnu Jarir At-Thabari yang dikatakan ROH dalam ayat ini ialah Malaikat Jibril sendirinya, yang disebutkan juga Ruhul-Qudus dan Ruhul-Amin. Disebut dia terlebih dahulu lalu diikuti dengan menyebut malaikat yang banyak, semuanya berbaris-baris menyatakan tunduk kepada Allah: “Tidak ada yang bercakap-cakap, kecuali barangsiapa yang diizinkan kepadanya oleh Yang Maha Murah.” Demikian hebatnya, di ayat 37 orang yang bertakwa tak berani bercakap, sekarang di ayat 38 Roh atau Jibril dan Malaikat yang banyak pun diam semua; Kebesaran Ilahi menyebabkan mulut terkunci, padahal nama Tuhan yang disebut waktu itu ialah “A-Rahman”, Yang Maha Murah, Yang Maha Penyayang, “Sedang dia adalah berkata yang benar.” (ujung ayat 38).

Setengah ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud akan dikatakan Roh atau Malaikat itu ialah permohonan syafaat bagi hamba Allah, bilamana Tuhan ada berkenan mengizinkan.

Untuk menghilangkan keraguan dalam hati orang yang imannya baru saja akan tumbuh, datanglah ayat yang selanjutnya: “Yang demikian itulah hari yang benar.” (pangkal ayat 39).

Al-Yaumul Haqq: Hari Benar! Hari yang tidak usah diragukan lagi, sebagaimana hidup itu sendiri adalah Benar dan kenyataan, dan maut pun adalah benar dan kenyataan, dan janji-janji Allah semuanya adalah benar dan kenyataan. Semua tak usah diragukan lagi. Dia mesti kita tempuh, dan kita mesti sampai ke sana. Kalau kebenaran hidup telah kita lalui, kita pun melalui kebenaran maut, yang tidak diragukan lagi padanya. Setelah itu akan sampailah ke hari itu, yang hari serunai sangkakala ditiup, dan kita semuanya pun berkumpul ke sana buat diperhitungkan. Tak ada jalan lain buat mengelak. “Maka barangsiapa yang mau, dipilihnyalah kepada Tuhannya jalan kembali.” (ujung ayat 39).

Karena sudah pasti akan ke sana juga apakah lagi sikap yang akan diambil? Kalau memang ada kemauan, karena tempoh masih ada, yaitu hidup di dunia ini, tempuhlah jalan itu dengan berani, itu Jalan Allah! Atau jalan kembali kepada Allah. Karena pada hakikatnya, semua makhluk atau semua Anak Adam adalah datang ke dunia ini atas kehendak Allah dan akan pulang kepada-Nya dengan panggilan-Nya jua. Cuma ada manusia yang lupa, dan lalai dan lengah, sehingga waktunya habis dengan kealpaan. Dan dengan ayat ini kita disadarkan dengan halus oleh Tuhan “Barangsiapa yang mau marilah kembali ke jalan Tuhan! Tuhan masih menerima kedatangankembali hamba-Nya yang lengah dan alpa itu.

Kerjakanlah sembahyang, dan dalam sembahyang di tiap rakaat bacalah Al-Fatihah, yang terkandung di dalamnya permohonan Allah agar ditunjuki jalan yang lurus: “Ihdinash Shiraathal Mustaqiim.”

Dan apabila jalan itu sudah didapat, jangan dilepaskan lagi, jangan membelok lagi kepada yang lain, sebab “garis lurus ialah jarak yang paling dekat di antara dua titik.”

Dan ingatlah pula bahwasanya Tuhan pun selalu memanggil kita supaya kembali kepada-Nya: “Pulanglah! Kembalilah kepada Tuhanmu, wahai nafsu, wahai jiwa yang telah mencapai ketenteramannya.” Tuhan ingin sekali agar kamu datang berkumpul bersama hamba-hamba Tuhan yang sama-sama kembali, dan Tuhan ingin sekali agar semua hamba-Nya kembali ke dalam syurga yang telah disediakan-Nya. Sebagai tersebut pada ayat yang terakhir dari Surat 89, Surat Al-Fajr.

“Sesungguhnya telah kami ancam kamu sekalian, dengan azab yang telah dekat.” (pangkal ayat 40). Artinya, sebelum menghadapi hari Perhitungan atau Hari Kiamat itu, ada hari yang lebih dekat lagi, pasti kamu temui dalam masa yang tidak lama lagi. Hari itu ialah hari bercerai dengan dunia fana ini, hari Malaikat Maut mengambil nyawamu: “Di hari yang seseorang akan memandang apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya.” Setelah nyawa bercerai dengan badan, maka lepaslah nyawa itu daripada sangkarnya dan bebaslah dia dari selubung hidup fana ini. Maka mulailah kelihatan jelas buruknya dan baiknya, bekas perbuatan tangan sendiri, semuanya kelihatan. Berbesar hati melihat bekas yang baik, bermuram durja melihat catatan yang buruk; manusia mungkin lupa namun dalam catatan Allah, setitik pun tiada yang hilang dan sebaris pun tiada yang lupa: “Dan akan berkata orang yang kafir.” Yaitu orang yang di kala hidupnya hanya menolak mentah-mentah seruan Rasul, dia melihat daftar dosa yang dia kerjakan: “Alangkah baiknya kalau dahulu aku hanya tanah saja.” (ujung ayat 40).

Timbullah sesal dan keluhan, pada saat sesal dan keluh tidak ada gunanya lagi: “Kalau aku dahulunya hanya tanah saja, kalau aku dahulunya tidak sampai menjadi manusia, tidak tercatat dalam daftar kehidupan, tidaklah akan begini tekanan yang aku rasakan dalam kehidupan, tidaklah akan begini tekanan yang aku rasakan dalam hidupku di alah barzakh ini.”

Sesal yang tak ada gunanya.

‘Abasa 1 – 10

$
0
0


ITAB YANG MERUPAKAN CINTA

Menurut sebuah riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari, demikian juga riwayat dari Ibnu Abi Hatim, yang diterima dari Ibnu Abbas: “Sedang Rasulullah menghadapi beberapa orang terkemuka Quraisy, yaitu Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal dan Abbas bin Abdul Muthalib dengan maksud memberi keterangan kepada mereka tentang hakikat Islam agar mereka sudi beriman, di waktu itu masuklah seorang laki-laki buta, yang dikenal namanya dengan Abdullah bin Ummi Maktum. Dia masuk ke dalam majlis dengan tangan meraba-raba. Sejenak sedang Rasulullah terhenti bicara orang buta itu memohon kepada Nabi agar diajarkan kepadanya beberapa ayat Al-Qur’an. Mungkin oleh karena terganggu sedang menghadapi pemuka-pemuka itu, kelihatanlah wajah beliau masam menerima permintaan Ibnu Ummi Maktum itu, sehingga perkataannya itu seakan-akan tidak beliau dengarkan dan beliau terus juga menghadapi pemuka-pemuka Quraisy tersebut.

Setelah selesai semuanya itu dan beliau akan mulai kembali kepada ahlinya turunlah ayat ini: “Dia bermuka masam dan berpaling.”

Setelah ayat itu turun, sadarlah Rasulullah SAW akan kekhilafannya itu. Lalu segera beliau hadapilah Ibnu Ummi Maktum dan beliau perkenankan apa yang dia minta dan dia pun menjadi seorang yang sangat disayangi oleh Rasulullah SAW. Di mana saja bertemu dengan Ibnu Ummi Maktum beliau menunjukkan muka yang jernih berseri kepadanya dan kadang-kadang beliau katakan: “Hai orang yang telah menjadi sebab satu kumpulan ayat turun dari langit kepadaku.”

Ibnu Katsir pun meriwayatkan bahwa bukan saja Ibnu jarir dan Ibnu Abi Hatim yang membawakan riwayat ini, bahkan ada pula riwayat dari Urwah bin Zubair, Mujahid, Abu Malik dan Qatadah, dan Adh-Dhaahak dan Ibnu Zaid dan lain-lain; bahwa yang bermuka masam itu memang Rasulullah SAW sendiri dan orang buta itu memang Ibnu Ummi Maktum.

Ibnu Ummi Maktum itu pun adalah seorang sahabat Rasulullah yang terkenal. Satu-satunya orang buta yang turut hijrah dengan Nabi ke Madinah. Satu-satunya orang buta yang dua tiga kali diangkat Rasulullah SAW menjadi wakilnya jadi Imam di Madinah kalau beliau bepergian. Ibu dari Ibnu Ummi Maktum itu adalah saudara kandung dari ibu yang melahirkan Siti Khadijah, isteri Rasulullah SAW. Dan setelah di Madinah, beliau pun menjadi salah seorang tukang azan yang diangkat Rasulullah Saw di samping Bilal.

“Dia bermuka masam dan berpaling.” (ayat 1). “Lantaran datang kepadanya orang buta itu.” (ayat 2).

“Padahal adakah yang memberitahumu boleh jadi dia akan jadi orang yang suci.” (ayat 3).

Dalam ketiga ayat ini ahli-ahli bahasa yang mendalami isi Al-Qur’an merasakan benar-benar betapa mulia dan tinggi susun bahasa wahyu itu dan Allah terhadap Rasul-Nya. Beliau disadarkan dengan halus supaya jangan sampai bermuka masam kepada orang yang datang bertanya; hendaklah bermuka manis terus, sehingga orang-orang yang tengah terdidik itu merasa bahwa dirinya dihargai. Pada ayat 1 dan 2 kita melihat bahwa kepada Rasulullah tidaklah dipakai bahasa berhadapan, misalnya: “Mengapa engkau bermuka masam, mentang-mentang yang datang itu orang buta?”

Dan tidak pula bersifat larangan: “Jangan engkau bermuka masam dan berpaling.” Karena dengan susunan kata larangan, teguran itu menjadi lebih keras. Tidak layak dilakukan kepada orang yang Allah sendiri menghormatinya!

Tidak! Allah tidak memakai perkataan yang demikian susunnya kepada Rasul-Nya. Melainkan dibahasakannya Rasul-Nya sebagai orang ketiga menurut ilmu pemakaian bahasa. Allah tidak mengatakan engkau melainkan dia. Dengan membahasakannya sebagai orang ketiga, ucapan itu menjadi lebih halus. Apatah lagi dalam hal ini Rasulullah tidaklah membuat suatu kesalahan yang disengaja atau yang mencolok mata.

Apatah lagi Ibnu Ummi Maktum anak saudara perempuan beliau, bukan orang lain bahkan terhitung anak beliau juga.

Di ayat 3 barulah Allah menghadapkan firman-Nya terhadap Rasul sebagai orang kedua dengan ucapan engkau atau kamu: “Padahal, adakah yang memberitahumu, boleh jadi dia akan jadi orang yang suci?” Kita ini pun, walaupun terhadap orang kedua susunannya pun halus. Memang belum ada orang yang memberitahu lebih dahulu bahwa Ibnu Ummi Maktum itu di belakang hari akan menjadi orang yang sangat penting, yang benar telah dapat mensucikan dirinya. Allah pun di dalam ayat ini memakai bahasa halus memberitahukan bahwa Ibnu Ummi Maktum itu kelak akan jadi orang yang suci, dengan membayangkan dalam kata halus bahwa terdahulu belum ada agaknya orang yang mengatakan itu kepada Nabi SAW.

Apakah perbuatan Nabi SAW bermuka masam itu satu kesalahan yang besar, atau satu dosa?

Tidak! Ini adalah satu ijtihad dan menurut ijtihad beliau orang-orang penting pemuka Quraisy itu hendaklah diseru kepada Islam dengan sungguh-sungguh. Kalau orang-orang semacam Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam dan Abbas bin Abdul Muthalib masuk Islam, berpuluh di belakang mereka yang akan mengikut. Payah-payah sedikit menghadapi mereka tidak mengapa. Masuknya Ibnu Ummi Maktum ke dalam majlis itu beliau rasa agak mengganggu yang sedang asyik mengadakan da’wah. Sedang Ibnu Ummi Maktum itu orang yang sudah Islam juga.

“Padahal, adakah yang memberitahumu, boleh jadi dia akan jadi orang yang suci?” (ayat 3). “Atau dia akan ingat, lalu memberi manfaat kepada ingatnya itu? (ayat 4).

Dengan kedua ayat ini Rasulullah SAW diberi ingat oleh Allah bahwa Ibnu Ummi Maktum itu lebih besar harapan akan berkembang lagi menjadi seorang yang suci, seorang yang bersih hatinya, walaupun dia buta. Karena meskipun mata buta, kalau jiwa bersih, kebutaan tidaklah akan menghambat kemajuan iman seseorang.

Bayangan yang sehalus itu dari Allah terhadap seorang yang cacat pada jasmani dalam keadaan buta, tetapi dapat lebih maju dalam iman, adalah satu pujian bagi Ibnu Ummi Maktum pada khususnya dan sekalian orang buta pada umumnya. Dan orang pun melihat sejarah gemilang Ibnu Ummi Maktum itu, sehingga tersebut di dalam sebuah riwayat dari Qatadah, yang diterimanya dari Anas bin Malik, bahwa di zaman pemerintahan Amirul Mu’minin Umar bin Khatab, Anas melihat dengan matanya sendiri Ibnu Ummi Maktum turut dalam peperangan hebat di Qadisiyah, ketika penaklukan negeri Persia, di bawah pimpinan Sa’ad bin Abu Waqqash.

“Adapun (terhadap) orang yang merasa diri cukup.” (ayat 5). Yaitu orang yang merasa dirinya sudah pintar, tidak perlu diajari lagi, atau yang merasa dirinya kaya sehingga merasa rendah kalau menerima ajaran dari orang yang dianggapnya miskin, atau merasa dirinya sedang berkuasa sehingga marah kalau mendengar kritik dari rakyat yang dipandangnya rendah: “Maka engkau menghadapkan (perhatian) kepadanya.” (ayat 6).

Itulah suatu ijtihad yang salah, meskipun maksud baik! Orang-orang yang merasa dirinya telah cukup itu memandang enteng segala nasihat. Pekerjaan besar, revolusi-revolusi besar, perjuangan-perjuangan yang hebat tidaklah dimulai oleh orang-orang yang merasa cukup. Biasanya orang yang seperti demikian datangnya ialah kemudian sekali, setelah melihat pekerjaan orang telah berhasil.

“Padahal, apalah rugimu kalau dia tidak mau suci.” (ayat 7). Padahal sebaliknyalah yang akan terjadi, sebab dengan menunggu-nunggu orang-orang seperti itu tempoh akan banyak terbuang. Karena mereka masuk ke dalam perjuangan lebih dahulu akan memperkajikan, berapa keuntungan benda yang akan didapatnya. Di dalam ayat ini Tuhan telah membayangkan, bahwa engkau tidaklah akan rugi kalau orang itu tidak mau menempuh jalan kesucian. Yang akan rugi hanya mereka sendiri, karena masih bertahan dalam penyembahan kepada berhala.

“Dan adapun orang yang datang kepadamu berjalan cepat.” (ayat 8). Kadang-kadang datang dari tempat yang jauh-jauh, sengaja hanya hendak mengetahui hakikat ajaran agama, atau berjalan kaki karena miskin tidak mempunyai kendaraan sendiri: “Dan dia pun dalam rasa takut.” (ayat 9). Yaitu rasa takut kepada Allah, khasyyah! Karena iman mulai tumbuh: “Maka engkau terhadapnya berlengah-lengah.” (ayat 10).

Sejak teguran ini Rasulullah SAW merobah taktiknya yang lama. Lebih-lebih terhadap orang-orang baru yang datang dari kampung-kampung yang jauh, yang disebut orang Awali, atau orang Badwi atau orang yang disebut A’rab. Malahan sesampai di Madinah pernah si orang kampung yang belum tahu peradaban itu memancarkan kencingnya di dalam masjid, sehingga sahabat-sahabat Rasulullah SAW marah kepada orang itu. Lalu dengan lemah-lembutnya Rasulullah bersabda: “Jangan dia dimarahi, cari saja air, siram baik-baik.”

Maka datanglah satu ukhuwah Islamiah dan satu penghormatan yang baik di kalangan sahabat-sahabat Rasulullah SAW itu, karena teguran halus yang rupanya sudah disengaja Tuhan itu.

Al-Qasyani menulis dalam tafsirnya: “Adalah Nabi SAW itu di dalam haribaan didikan Tuhannya, karena dia adalah kekasih Tuhan. Tiap-tiap timbul dari dirinya suatu sifat yang akan dapat menutupi cahaya kebenaran (Nurul Haqq), datanglah teguran halus Tuhan. Tepatlah apa yang beliau sendiri pernah mengatakan:

“Aku telah dididik oleh Tuhanku sendiri, maka sangatlah baiknya didikan itu.”

Sehingga budi akhlak beliau telah diteladannya dari budi akhlak Tuhan sendiri.

Tambahan kita: Dan cara Allah memberikan teguran itu, demikian halusnya kepada Nabi yang dicintai-Nya, pun adalah suatu adab yang hendaklah kita teladan pula.

‘Abasa 11 – 16

$
0
0

PERINGATAN!

“Tidak begitu!” (pangkal ayat 11). Artinya janganlah kamu salah sangka, atau salah tafsir, sehingga kamu menyangka atau menafsirkan bahwa ayat-ayat yang turun ini hanya semata-mata satu teguran karena Nabi bermuka masam seketika Ibnu Ummi Maktum datang. Soalnya bukan itu! “Sesungguhnya dia itu,” yaitu ayat-ayat yang diturunkan Tuhan itu, “adalah peringatan.” (ujung ayat 11).

Artinya, bahwasanya ayat-ayat yang turun dari langit, yang kemudiannya tersusun menjadi Surat-surat dan semua Surat-surat itu terkumpul menjadi Al-Qur’anul Karim, semuanya adalah peringatan ummat manusia dan jin, tidak pandang martabat dan pangkat, kaya dan miskin; semuanya hendaklah menerima peringatan itu.

“Maka barangsiapa yang mau, ingatlah dia kepadanya.” (ayat 12). Baik yang mau itu orang merdeka seperti Abu Bakar, atau hamba sahaya sebagai Bilal, atau orang kaya sebagai Abu Sufyan, atau orang miskin dari desa, sebagai Abu Zar; namun martabat mereka di sisi Allah adalah sama. Yaitu sama diterima jika beriman, sama disiksa jika mendurhaka.

“(Dia) adalah di dalam kitab-kitab yang dimuliakan.” (ayat 13). Artinya, sudah lama sebelum ayat-ayat Al-Qur’an itu diturunkan ke dunia ini kepada Nabi Akhir Zaman Muhammad SAW dia telah tertulis terlebih dahulu di dalam shuhuf yang di dalam tafsir ini kita artikan kitab-kitab. Shuhuf adalah kata banyak dari shahifah. Di dalam sebuah hadis yang dinyatakan bahwa keseratus empat belas Surat itu telah tertulis lengkap dan tertahan di langit pertama, dan diturunkan ke dunia dengan teratur dalam masa 23 tahun. Dia terletak di waktu itu di tempat yang mulia, dan tidak seorang pun dapat menyentuhnya kecuali malaikat-malaikat yang suci-suci. Sebab itu dikatakan seterusnya: “Yang ditinggikan, yang disucikan.” (ayat 14). Yang ditinggikan, yaitu ditinggikan kehormatannya, tidak sama dengan sembarang kitab. Yang disucikan dan dibersihkan daripada tambahan dan kekurangan, disuci-bersihkan pula daripada tambahan kata manusia, khusus Kalam Allah semata-mata. “Di tangan utusan-utusan.” (ayat 15).

Kalimat Safarah kita artikan di sini dengan utusan-utusan, sebab dia adalah kata banyak dari Safiir, yang pokok artinya ialah Utusan Terhormat, Utusan Istimewa. Oleh sebab itu maka Utusan sebuah negara ke negara lain, yang disebut dalam bahasa asing Ambasador, di dalam bahasa Arab modern pun disebut Safiir. Dalam bahasa Indonesia kita sebut Duta, atau Duta Besar Istimewa. Maka bahasa yang paling tinggi pulalah yang layak kita berikan kepada malaikat-malaikat pembantu Jibril: “Yang mulia-mulia, yang berbakti.” (ayat 16). Menyampaikan ayat-ayat sabda Tuhan itu kepada manusia “Mushthafa”, Pilihan Tuhan itu.

Demikianlah sucinya Al-Qur’an.

‘Abasa 17 – 23

$
0
0

INSAN YANG MELUPAKAN ASALNYA

“Celakalah Insan!” (pangkal ayat 17). Satu ungkapan sesalan dari Tuhan kepada manusia: “Alangkah sangat kufurnya.” (ujung ayat 17). Adakah patut manusia itu masih juga kufur kepada Tuhan. Masih juga tidak mau menerima kebenaran yang dibawa Rasul. Insan masih saja menyombong: “Daripada apa dia menjadikannya?” (ayat 18). Daripada apa Allah menjadikan atau menciptakan manusia? “Dari nuthfah Dia telah menjadikannya.” (pangkal ayat 19). Nuthfah ialah segumpalan air yang telah menjadi kental, gabungan yang keluar dari shulbi ayah dengan yang keluar dari taraib ibu. Dari itu asal mula manusia dijadikan: “Dan Dia mengaturnya.” (ujung ayat 19).

Dari sanalah asal kejadian itu, yakni dipertemukan air bapak dengan air ibu, bertemu di dalam rahim ibu, lalu berpadu jadi satu, menjadi satu nuthfah, yang berarti segumpal air. Setelah 40 hari pula sesudah itu dia pun menjelma menjadi segumpal daging.

Hal yang demikian diperingatkan kepada manusia untuk difikirkannya bahwa kekufuran tidaklah patut, tidaklah pantas. Di ayat pertama dari Surat 76, Al-Insan (Manusia) pun telah diperingatkan bahwa jika direnungkan benar-benar, tidaklah ada arti manusia itu bilamana dibandingkan dengan alam lain sekelilingnya. (Ingat lagi ayat 27 dari Surat An-Nazi’at (79) yang baru lalu). Maka tidaklah patut manusia kufur.

Tidaklah patut manusia ingkar dari kebesaran Tuhan, kalau manusia mengingat betapa di waktu dahulu dia terkurung di dalam rahim ibu yang sempit itu dan dipelihara menurut belas kasihan Allah di tempat itu.

“Kemudian Dia mudahkan jalan keluarnya.” (ayat 20). Dimudahkan jalan keluar buat hidup dan datang ke dunia. Dimudahkan pintu keluar dari rahim itu sampai terlancar dan terluncur keluar. Dimudahkan terus persediaan buat hidup dengan adanya air susu yang disediakan pada ibu di waktu kecil. Dibimbing dengan cinta kasih sampai mudah tegak sendiri di dalam hidup melalui masa kecil, masa dewasa, masa mencari jodoh teman hidup, masa jadi ayah, masa jadi nenek atau datuk: “Kemudian Dia matikan dia.” (pangkal ayat 21). Karena akhir daripada hidup itu pastilah mati. Mustahil ada hidup yang tidak diujung mati, kecuali bagi Pencipta hidup itu sendiri. “Dan Dia suruh kuburkan.” (ujung ayat 21). Tidak dibiarkan tercampak saja tergolek di muka bumi dengan tidak berkubur. Melainkan selekasnya seputus nyawa, segera diperintahkan Allah kepada manusia yang hidup supaya segera dikuburkan. “Kemudian, apabila dikehendaki-Nya, akan Dia bangkitkan dia.” (ayat 22).

Disebut di pangkal ayat apabila Dia kehendaki, insan itu pun akan dibangkitkan kembali. Mengapa apabila Dia kehendaki? Karena dengan memakai kata-kata apabila (idza) Dia kehendaki, maklumlah kita karena yang demikian itu bergantung kepada kata-kata mataa? Artinya: “Bilakah masa akan dibangkitkan itu?”

Dibangkitkan sudah pasti, tetapi masa apabila akan dibangkitkan, hanya Allah yang Maha Tahu. Itu adalah terserah mutlak kepada kekuasaan Allah.

“Belum! Sekali-kali belumlah dia menunaikan apa yang Dia perintahkan kepadanya.” (ayat 23).

Artinya menurut keterangan Ibnu Jarir dalam tafsirnya: “Belumlah manusia itu menunaikan tugas dan kewajiban yang diperintahkan Tuhan ke atas dirinya sebagaimana mestinya. Masih banyak perintah Allah yang mereka lalaikan. Masih banyak mereka memperturutkan kehendak hawa nafsu.”

Terlalu sangat banyak nikmat yang dianugerahkan Allah kepada Insan dan masih terlalu banyak perintah Ilahi yang dilalaikan oleh manusia. Jika manusia merasa bahwa dia telah bekerja dengan baik, belumlah seimbang, belumlah dengan sepatutnya jua dan belumlah sewajarnya Insan mengingat Tuhannya. Artinya masih sangat lalai manusia dari mengingat Tuhan.

Sesuailah intisari ayat ini dengan apa yang pernah dikatakan oleh seorang Shufi yang besar, yaitu Muhammad Abu Madyan: “Janganlah engkau mengharapkan dengan amalan yang engkau kerjakan, engkau akan mendapat ganjaran dari Allah. Kurnia Allah kepadamu kelak hanyalah belas kasihan saja. Tidak sepadan kecilnya amalanmu dengan besar ganjaran Allah.”

‘Abasa 24 – 32

$
0
0

REZEKI MANUSIA

Pada ayat 18 sampai ayat 22 manusia diberi ingat bahwa mereka dijadikan dari air nuthfah, lalu ditakdir dan dijangkakan, ditentukan takaran hidup, sesudah itu mati. Dan jika datang masanya, jika Tuhan menghendaki, mereka pun dibangkitkan kembali daripada alam kubur itu.

Hal itu telah mereka dengar beritanya; sekarang manusia disuruh melihat dan menyaksikan sendiri bagaimana pertalian hidupnya dengan bumi tempat dia berdiam ini: “Maka cobalah memandang manusia kepada makanannya.” (ayat 24). Perhatikanlah dari mana datangnya makanan itu dan bagaimana tingkat-tingkat pertumbuhannya sehingga makanan itu telah ada saja dalam piring terhidang di hadapannya. Asal mulanya ialah: “Sesungguhnya telah Kami curahkan air securah-curahnya.” (ayat 25).

Asal mulanya ialah bahwa bumi itu kering, maka turunlah hujan. Hujan lebat sekali yang turun laksana dicurahkan dari langit. Maka bumi yang laksana telah mati itu hidup kembali. “Kemudian Kami lunakkan bumi seluluk-luluknya.” (ayat 26). Bumi yang tadinya kering dan keras sehingga tidak ada yang dapat tumbuh, dengan turunnya hujan maka lunaklah tanah tadi, menjadi luluk, menjadi lumpur. Di atas tanah yang telah lunak jadi lumpur atau luluk itulah kelak sesuatu akan dapat ditanamkan: “Maka Kami tumbuhkan padanya benih-benih makanan.” (ayat 27).

Pada negeri-negeri yang makanan pokoknya ialah padi, tafsir ayat ini sangat lekas dapat difahamkan. Memang sawah itu dilulukkan lebih dahulu baru dapat ditanami benih. Yaitu benih padi, benih gandum, benih kacang dan jagung: “Dan anggur dan sayur-sayuran.” (ayat 28).

Dengan mensejajarkan anggur sebagai buah-buahan yang dapat dimakan langsung dengan sayur-sayuran lain yang sangat diperlukan vitamin dan kalorinya bagi manusia, nampaklah bahwa keduanya itu sama pentingnya sebagai zat makanan. “Dan buah zaitun dan korma.” (ayat 29). Zaitun selain dapat dimakan, dapat pula diambil minyaknya. “Dan kebun-kebun yang subur.” (ayat 30). Dengan menyebutkan kebun-kebun yang subur maka tercakuplah di dalamnya buah-buahan yang lain yang sejak zaman dahulu telah diperkebunkan orang sebagai diceritakan di dalam Surat 34, Saba’ ayat 15, sehingga kesuburan tanah menimbulkan syukur kepada Tuhan, dan kesyukuran, menyebabkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur (negeri yang makmur dan Tuhan yang memberi ampun).

“Dan buah-buahan dan rumput-rumputan.” (ayat 31). “Akan bekal bagi kamu dan bagi ternak-ternak kamu.” (ayat 32). Artinya berpuluh macam buah-buahan segar yang dapat dimakan oleh manusia; sejak dari delima, anggur, epal, berjenis pisang, berjenis mangga dan berbagai buah-buahan yang hanya tumbuh di daerah beriklim dingin dan yang tumbuh di daerah beriklim panas; sebagai pepaya, nenas, rambutan, durian, duku dan langsat dan buah sawo dan lain-lain dan berbagai macam rumput-rumputan pula untuk makanan binatang ternak yang dipelihara oleh manusia tadi.

Pokok pangkal semuanya itu ialah dari air hujan yang dicurahkan Allah dengan lebatnya dari langit sampai tanah jadi luluk, membawa apa yang dinamai bunga tanah.

Maka kalau kita simpulkan di antara kedua peringatan itu, pertama tentang asal usul kejadian manusia dari nuthfah sampai dapat hidup di atas permukaan bumi ini. Kedua setelah hidup di bumi jaminan untuk melanjutkan hidup itu pun selalu tersedia selama langit masih terkembang dan lautan masih berombak bergelombang, dan air laut itu akan menguap ke udara menjadi awan, menjadi mega dan mengumpul hujan, lalu hujan, selama itu pula jaminan Allah masih ada atas kehidupan ini.

Setelah demikian halnya mengapalah manusia akan lupa juga kepada Tuhannya? Mengapa juga manusia akan lupa dari mana dia, siapa menjamin hidupnya di sini dan ke mana dia akan pergi?

Viewing all 93 articles
Browse latest View live