CERITERA DAN PERISTIWA
Tuhan Allah memulai lagi suatu hal yang hendak dititahkannya dengan memakai sumpah. Allah bersumpah: “Demi langit yang mempunyai bintang-bintang.” (ayat 1). Artinya, perhatikanlah olehmu langit yang mempunyai bintang-bintang itu, alangkah besar, alangkah luas dan alangkah jauh, entah di mana batasnya. Di sana terdapat bintang-bintang berjuta-juta banyaknya. Di antara bintang-bintang yang banyak itu ada yang dianggap sebagai perhentian tempat singgah, atau manaazil. 12 bilangan bintang-bintang menurut letak bulan tiap-tiap tahun bergilir keadaannya. Itulah bintang-bintang yang bernama (1) Capriconus, (2) Aquarius, (3) Pisces, (4) Aries, (5) Taurus, (6) Gemini, (7) Cancer, (8) Leo, (9) Virgo, (10) Libra, (11) Scorpio, (12) Sagitarius. Dalam bahasa Arab ke 12 bintang tersebut disebut “Buruj” yang dapat juga diartikan sebagai puri atau benteng tertinggi, tempat persinggahan perjalanan bulan dalam giliran setahun.
Tuhan mengambil sumpah dengan keindahan dan kehebatan “organisasi” atau peraturan perjalanan makhluk di langit, yang dapat juga dinamai “Kerajaan langit”, agar kita meletakkan perhatian kepadanya.
“Demi hari yang telah dijanjikan.” (ayat 2). Sesudah Allah menyuruh kita memperhatikan langit dengan keadaannya yang terbuka, maka pada yang kedua Tuhan mengambil sumpah dengan hail yang telah dijanjikan, yaitu pada suatu masa semuanya itu akan berakhir; langit akan runtuh dan bumi akan tenggelam, dan gunung-gunung akan menjadi rata dan air laut akan melimpah dan meluap, menggelegak.
“Demi penyaksi, demi yang disaksikan.” (ayat 3). Berbagai-bagai pendapat ahli-ahli tafsir tentang syahid dan masyhud, tentang penyaksi dan yang disaksikan. Menurut suatu penafsiran yang dinukilkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah ialah bahwa hari yang dijanjikan (Al-Mau’ud) ialah hari kiamat. Syahid ialah hari Jum’at dan masyhud ialah hari wuquf di padang Arafah.
Menurut suatu tafsiran dari Ikrimah: “Syahid ialah Nabi Muhammad SAW dan masyhud ialah hari Jum’at.” Dan menurut satu tafsiran pula dari Ibnu Abbas: “Syahid itu ialah Allah sendiri dan masyhud ialah hari kiamat.” Ada pula: “Syahid itu ialah Insan, masyhud ialah haru Jum’at.”
Tetapi barangkali tidak pula ada salahnya kalau kita katakan bahwa “Syahid” itu ialah Insan dan yang masyhud itu ialah Allah “sebagai pencipta alam ini.” Sebab dari permulaan ayat Allah sudah mengambil sumpah dengan langit beserta bintang-bintang burujnya. Maka kita manusia penyelidik dan penilik kekayaan Allah pada alam ini. Dengan melihat kebesaran dan kekayaan Allah itu dapatlah kita percaya akan adanya Allah. Kita tidak akan dapat mengetahui betapa zat Allah. Kalau itu yang kita cari, kita akan celaka. Tetapi saksikanlah adanya Allah pada alam yang Dia ciptakan.
Sesudah mengemukakan sumpah tiga patah yang begitu hebat: sumpah kebesaran langit dengan bintang-bintang burujnya. Sumpah tentang hari yang dijanjikan, kemudian itu sumpah tentang penyaksi dengan yang disaksikan, barulah Tuhan masuk kepada apa yang dituju dengan persumpahan itu: “Binasalah orang-orang yang empunya lobang parit.” (ayat 4).
Binasalah, atau celakalah atau kena kutuk laknatlah orang-orang yang telah sengaja menggali lobang atau parit yang dalam, yang mereka pergunakan untuk membakar orang-orang yang berkeras mempertahankan imannya kepada Allah Yang Maha Esa: “Dari api yang bernyala-nyala.” (ayat 5).
Mereka gali lobang lalu mereka lemparkan orang-orang yang beriman kepada Allah ke dalam lobang itu, lalu mereka bakar, sehingga api bernyala. “Ketika mereka duduk didekatnya.” (ayat 6). Yaitu mereka menggali lobang buat membakar orang-orang yang beriman itu sambil membakar telah duduk di dekat lobang parit tersebut beramai-ramai, “Dan mereka, terhadap apa yang mereka perbuat atas orang-orang yang beriman itu, adalah menyaksikan.” (ayat 7).
Dengan urutan ayat ini dapatlah kita fahamkan bahwasanya pernah terjadi orang menggali lobang yang dalam untuk dilemparkan ke dalamnya orang-orang yang dipaksa meninggalkan keyakinan dan imannya kepada Allah Yang Maha Esa. Orang-orang yang beriman itu tidak mau berganjak dari pendiriannya, sehingga pihak yang berkuasa menggali lobang untuk memasukkan mereka ke dalam, dan setelah mereka berada di dalamnya dinyalakanlah api, dan orang-orang yang membakar itu duduk di keliling lobang itu menyaksikan orang-orang beriman itu jadi abu.
“Dan tidaklah mereka berlaku kejam kepada orang-orang itu, melainkan karena orang-orang itu percaya kepada Allah.” (pangkal ayat 8). Kesalahan orang-orang yang digalikan lobang lalu dibakar itu hanya itulah; mereka percaya kepada Allah, mereka tidak mau menukar kepercayaan itu dengan yang lain. Baik terhadap atas adanya Allah itu, ataupun terhadap perintah dan larangan Allah. Tidak ada perintah lain yang mereka junjung tinggi melainkan perintah Allah. Tidak ada peraturan manusia yang mereka hormati sama dengan penghormatan kepada peraturan Allah: “Yang Maha Gagah Perkasa, Yang Maha Terpuji.” (ujung ayat 8).
Ajaran Tauhid menyebabkan keyakinan kepada Allah itu tidak dapat berbelah bagi. Manusia beriman tidak akan tunduk kepada sesama manusia sama dengan ketundukan kepada Allah. Dengan keyakinan Tauhid manusia sampai kepada kesimpulan bahwa yang gagah perkasa itu hanya Allah; adapun manusia itu tidaklah gagah perkasa. Manusia tidak sanggup melawan penyakit, melawan tua dan melawan maut. Allah itu Maha Terpuji, karena hanya Dia sajalah yang sebenar berjasa atas alam ini dan tidak pernah bersalah. Mutlak Dia dalam kepujian-Nya.
“Yang bagi-Nya-lah kerajaan di semua langit dan bumi.” (pangkal ayat 9). Keyakinan Tauhid pun sampai kepada satu kesimpulan bahwa sesungguhnya kekuasaan yang Maha Tinggi, Maha Luas meliputi seluruh alam hanya kekuasaan Allah sahaja. Kekuasaan manusia tidak ada. Kalau ada sangatlah terbatas. Karena kekuasaan manusia yang terbatas itu hanya pinjaman sementara belaka dari Allah. Tidak ada satu kerajaan yang meliputi seluruh permukaan bumi ini, baik dahulu ataupun sekarang, ataupun kelak dikemudian hari. Seorang Kepala Negara dinaikkan dan kemudian diturunkan, atau seorang Raja naik tahta kemudian mangkat, lalu digantikan oleh puteranya, dan dia tidak dapat mencapai kekuasaan kalau tidak diakui oleh rakyatnya dan dibantu oleh para menterinya. Dan kekuasaan tersebut hanya sekeliling batas sepanjang negerinya dengan negeri tetangganya. Sedang kekuasaan Allah meliputi seluruh langit, meliputi semua langit yang disebutkan tujuh lapis itu dengan bintanggemintangnya dan meliputi juga seluruh bumi sejak dari puncak gunung paling tinggi sampai ke dasar laut paling rendah. Oleh sebab itu maka orang-orang yang bertauhid tidaklah dapat ditundukkan oleh kekuasaan lain, kecuali oleh kekuasaan Allah itu. “Dan Allah, atas tiap-tiap sesuatu, adalah jadi penyaksi.” (ujung ayat 9).
Dia menyaksikan apa yang dibelakang kita dan apa yang berada di muka kita. Yang tersembunyi ataupun yang nyata. Dan tiadalah Allah itu pelupa. Segala sesuatu tiadalah yang lepas dari ingatan-Nya.
Berbagai penafsiran telah dinyatakan oleh ahlinya berkenaan dengan apa yang disebut “yang empunya lobang parit” itu, siapakah mereka itu? Menurut suatu tafsiran dari Saiyidina Ali bin Abu Thalib, yang empunya lobang parit ialah salah seorang daripada raja-raja Parsi di zaman purbakala, yang mendesak kepada ulama-ulama supaya menghalalkan orang mengawini mahramnya. Namun ulama-ulama itu tidak mau menghalalkan perkara yang haram itu. Sebab yang empunya peraturan demikian bukan mereka, melainkan Allah jua. Oleh karena ulama-ulama itu tidak mau berbuat demikian maka murkalah raja. Lalu baginda menitahkan orang menggali lobang dalam dan dinyalakan api padanya, lalu dilemparkanlah ulama-ulama itu ke dalam, satu demi satu. Maka habislah ulama-ulama yang mempertahankan kebenaran itu mati terbakar.
Menurut satu riwayat pula dari Sayidina Ali juga, di zaman purbakala pernah terjadi di Yaman peperangan di antara kaum yang beriman kepada Allah Yang Tunggal dengan golongan kaum yang mempersekutukan Allah (musyrikin). Oleh karena golongan beriman sedikit dan golongan musyrik banyak, kalahlah yang beriman. Lalu dengan kejamnya golongan musyrikin itu menangkapi, menawan dan menghukum ummat yang bertauhid itu; mereka gali lobang, mereka nyalakan api di dalamnya dan mereka lemparkan yang beriman itu satu demi satu ke dalamnya.
Dan ada pula diriwayatkan dalam sebuah Hadis yang dirawikan oleh Muslim dan Imam Ahmad tentang seorang anak kecil yang kuat imannya dan banyak pertolongan Allah kepadanya, sehingga terlepas dari berbagai bahaya. Baru dia dapat mati dibunuh setelah raja yang menyuruh membunuh itu membaca suatu pengakuan atas Keeasaan Allah. Duduk ceriteranya demikian:
“Berkata Nabi SAW: Di zaman dahulu ada seorang raja. Baginda mempunyai seorang ahli sihir. Setelah ahli sihir itu merasa dirinya telah tua, berdatang sembahlah dia kepada raja menerangkan bahwa dia telah tua dan hampir sampai ajalnya. Dia mohonkan kepada raja agar raja mencarikan seorang anak kecil, karena kepada anak itu akan diturunkannya ilmu sihirnya. Permohonan itu dikabulkan raja, lalu diserahkan kepadanya seorang anak kecil dan datanglah anak itu berulang-ulang kepada tukang sihir itu mempelajari sihirnya. Di antara tempat tinggal tukang sihir dan tempat tinggal anak itu ada pula berdiam seorang pendeta. Anak itu senantiasa singgah pula berteduh di tempat kediaman pendeta itu dan banyak pula dia mendengar ucapan-ucapan dari pendeta tua itu yang amat menarik hatinya. Maka kalau dia terlambat datang kepada tukang sihir, tukang sihir itu marah lalu memukulnya. Dan kalau dia terlambat pulang ke rumah orang tuanya kena marah pula mengapa terlambat pulang. Lalu diajarkan pendeta tua itu suatu jawaban, kalau ditanya oleh tukang sihir mengapa lambat, jawablah karena terlambat turun dari rumah dan kalau ditanya pula di rumah mengapa terlambat, katakan guruku tukang sihir menahan daku.
Dalam hal yang demikian selalulah dia pulang dan pergi ke rumah tukang sihir dan tetap singgah di rumah pendeta. Pada suatu hari terlambatlah orang yang lalu lintas berjalan di jalan raya yang ditempuhnya karena ada binatang buas yang mengganggu, sehingga orang merasa takut liwat di situ. Ketika itu anak kecil tersebut lalu pula di sana. Lalu dia berkata: “Akan aku uji, manakah yang lebih dapat aku gunakan, ajaran tukang sihirkah atau ajaran pendeta.” Lalu diambilnya sebuah batu dan dia ucapkan: “Ya Allah! Kalau ajaran pendeta itu yang benar di sisi Engkau, lebih daripada ajaran tukang sihir maka bunuhlah binatang ini, supaya manusia yang lalu lintas di jalan ini jangan terhalang juga.” Lalu dilemparkannya batu itu kepada binatang tersebut.
Maka matilah binatang itu dan lalu lintaslah manusia sebagai biasa.
Setelah dia menghadap pendeta itu diceriterakannyalah pengalamannya itu kepada beliau. Maka berkatalah beliau: “Wahai buyung! Engkau telah mencapai derajat yang lebih tinggi daripada yang aku capai! Tetapi aku peringatkan kepada engkau, bahwa engkau akan menderita banyak percobaan. Maka kalau percobaan itu datang, janganlah engkau beritahukan hubungan engkau dengan daku.”
Sejak waktu itu nama anak itu kian terkenal dan dapatlah dia mengobati orang yang ditimpa penyakit kusta atau penyakit balak dan penyakit lain-lain.
Raja ada mempunyai seorang orang besar yang selalu diajak raja musyawarat. Kebetulan orang itu buta. Dia mendengar cerita orang tentang anak itu, lalu datanglah orang besar buta itu kepadanya membawakan hadiah sebanyak-banyaknya dan berkata: “Sembuhkanlah butaku! Hadiah ini adalah untukmu dan jika aku sembuh hadiah ini aku tambah lagi!”
Anak itu menjawab: “Saya tidak berkuasa menyembuhkan apa jua pun macam penyakit. Yang Maha Kuasa menyembuhkan hanya Allah. Kalau tuan sudi beriman kepada Allah, saya akan berdoa memohonkan kepada-Nya agar tuan disembuhkan.”
Mendengar ajakan anak itu berimanlah orang besar yang buta itu. Lalu anak itu berdoa, maka orang besar itu pun sembuhlah dan nyalanglah kedua belah matanya.
Setelah matanya sembuh datanglah dia kembali ke dalam majlis raja. Baginda sangat tercengang lalu bertanya: “Siapa yang menyembuhkan mata engkau?” Dia menjawab: “Tuhanku!”
Dengan heran raja bertanya pula: “Akukah yang engkau maksudkan?” Dia menjawab: “Bukan! Tuhanku dan Tuhanku ialah Allah!” Engkau mengakui ada lagi Tuhan selain aku?”
Orang besar itu tetap menjawab: “Tuhanku dan Tuhan Tuanku ialah Allah.”
Raja sangat murka mendengar jawab itu, sehingga orang besar itu ditangkap dan disiksa, sampai karena tidak tahan menderita sakit dibukanya rahasia bahwa guru yang mengajarnya ialah anak kecil tersebut.
Anak kecil itu pun ditangkap lalu ditanyai apa benarkah dia dapat menyembuhkan orang yang dapat penyakit kusta, orang buta dan lain-lain. Anak itu menjawab bahwa semuanya itu tidak benar! Dia tidak dapat menyembuhkan siapa jua pun. Yang menyembuhkan segala yang sakit hanya Allah Yang Maha Kuasa.
“Akukah yang engkau maksudkan?” tanya raja.
“Bukan!” jawab anak itu: “Tapi Allah!”
“Apakah engkau mengakui pula ada Tuhan selain aku?” tanya raja lagi. Dengan tegas anak itu menjawab pula: “Tuhanku dan Tuhan raja ialah Allah!”
Mendengar jawab demikian anak itu pun disiksa. Dia pun dipaksa mengakui dari mana dia mendapat pelajaran yang amat ganjil itu. Karena tidak tahan dipukul, terpaksa dia menunjukkan gurunya, yaitu pendeta tersebut tadi. Pendeta itu pun segera ditangkap. Dia pun disiksa dan dipaksa meninggalkan agama yang dianutnya mengatakan ada lagi Tuhan selain raja, namun pendeta itu tidak mau. Akhirnya kepala pendeta itu. Kepala beliau digergaji sampai terbelah dua dan mati.
Kemudian dipaksa pula orang besar yang telah sembuh dari buta itu meninggalkan agama bertuhan kepada Allah itu dan kembali hanya bertuhan kepada raja. Dia pun tidak mau. Dia pun digergaji pula, sampai belah dua badannya dan mati.
Lalu dihadapkan pula anak kecil itu. Dia pun mulai dipaksa meninggalkan agama yang telah diimaninya itu. Tetapi dia tidak mau. Lalu raja memerintahkan beberapa orang membawa anak itu ke puncak gunung, dan raja memerintahkan: “Apabila sampai di puncak gunung paksa dia sekali lagi kembali kepada agama kita. Kalau dia tidak juga mau lemparkanlah dia ke bawah.!”
Maka dibawa oranglah dia ke puncak gunung. Sampai di sana kedengaranlah anak itu berdoa: “Ya Allah! Peliharakanlah aku dari mereka dengan kekuasaan-Mu!” Tiba-tiba bergoncanglah gunung itu dan orang-orang yang mengantarkan itulah yang jatuh dan anak itu selamat.
Dia pun turun dan terus sekali menghadap raja. Lalu raja bertanya: “Apa khabar orang-orang yang aku suruh menghantarkan engkau ke gunung?”
Anak itu menjawab: “Tuhanku telah memeliharakan daku dari mereka.”
Rupanya raja belum juga puas. Disuruhnya menangkap anak itu sekali lagi dan disuruh hantarkannya dengan sebuah sampan ke tengah laut. Diperintahkan kepada orang yang mengantarkan supaya memaksa anak itu kembali kepada agama yang lama. Kalau tidak mau supaya dia dibenamkan saja masuk laut. Sekali lagi anak itu menadahkan tangannya ke langit, maka datanglah angin ribut sangat besar. Tenggelamlah seluruh orang yang diperintahkan mengantarkannya itu dan dia sendiri selamat berenang ke tepi. Dan kembali dia menghadap raja.
Dia pun ditanya apa yang telah kejadian. Dia menjawab – Tuhannya telah menolongnya dan orang-orang itu telah tenggelam semuanya.
Kemudian berkatalah dia kepada raja: “Hai Raja! Tuanku tidak akan dapat membunuh aku kalau hanya dengan cara demikian. Barulah akan berhasil tuan membunuhku jika tuan kerjakan apa yang aku suruhkan. Kalau tidak tuan kerjakan apa yang aku suruhkan, tidaklah akan berhasil maksud tuan menyingkirkan daku dari dunia ini!”
Lalu raja bertanya: “Apakah yang engkau minta itu?”
Anak itu menjawab: “Tuan suruh manusia berkumpul di satu tempat. Kemudian tuan suruhkan menaikkan daku ke atas kayu palang (salib), lalu tuan ambil satu anak panah kepunyaanku sendiri dari dalam busurnya. Kemudian tuan bidik aku dengan tepat, lalu baca:
“Dengan nama Allah, Tuhan anak kecil ini.”
Dengan melakukan cara demikian barulah tuan dapat membunuhku.
Permintaan itu dilakukan oleh raja, diambilnya anak panahnya dari busurnya dan dengan mengucapkan: “Dengan nama Allah, Tuhan anak kecil ini.” Lalu dipanahnya anak kecil itu, tepat kena pada jantungnya dan terkulailah kepalanya, sedang tangannya memegang pangkal panah yang telah tersisip di dadanya dan dia pun matilah.
Tiba-tiba terloncatlah dari mulut seluruh orang yang hadir:
“Kami beriman dengan Tuhan anak kecil ini.”
Gempitalah suara di tanah lapang itu menyatakan iman kepada Tuhan Allah, yang dipercayai oleh anak kecil itu.
Maka berbisiklah seorang kepada raja: “Tidaklah tuan perhatikan? Bukankah apa yang tuan takuti selama ini telah terjadi? Budak kecil itu mati, tetapi semua orang telah menganut ajarannya?”
Sangatlah murka raja melihat manusia telah berbalik arah. Lalu raja memerintahkan menangkapi orang-orang yang terang-terang menyatakan percaya kepada Tuhan anak kecil itu, dan baginda suruh gali lobang-lobang atau parit-parit besar. Dan diancamlah orang: “Barangsiapa yang masih memegang kepercayaan anak kecil itu akan dimasukkan ke dalamnya dan dibakar dan barangsiapa yang kembali kepada agama puasaka nenek-moyang akan selamat.”
Mendengar itu tidaklah mereka mundur, malahan mereka berduyun mendekati lobang yang ternganga itu menunggu giliran dibakar. Maka adalah di antara mereka itu seorang perempuan yang sedang membimbing anaknya, seketika telah dekat ke pinggir lobang itu timbul ragu-ragu dalam hatinya. Tiba-tiba berkatalah anaknya yang dalam bimbingan itu: “Teguhkan hatimu, ibuku! Ibu adalah dalam agama yang benar!”
Begitulah sebuah Hadis yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan Muslim dan dirawikan juga oleh An-Nasa’I dari Hadis dan diriwayatkan juga oleh Termidzi yang berasal daripada Hadis sahabat Rasulullah SAW. Shuhaib.
Tersebut lagi cerita lain tentang lobang pembakaran itu, yaitu seketika Raja Dzu Nuas yang beragama Yahudi memaksa penduduk Najran yang telah lama memeluk Agama Nabi Isa ‘alaihis-salam. Setelah raja yang beragama Yahudi itu menaklukkan negeri tersebut dijalankanlah paksaan kepada penduduk supaya memeluk agama Yahudi. Orang Nasrani di waktu itu di bawah pimpinan Pendetanya yang telah sangat tua, sehingga ke mana pun berjalan beliau itu ditandu. Ketika Yahudi menanyai akidahnya, dia menjawab bahwa dia beriman kepada Allah Yang Maha Esa dan beriman kepada syariat Nabi Isa ‘alaihis-salam dan dia tidak akan merobah kepercayaannya itu. Maka ditangkaplah dia dan ditangkapi pula para pengikutnya, digali lobang dan, dinyalakan api di dalamnya dan dilemparkanlah mereka ke sana. Dan mereka masuk ke dalam lobang itu dengan tidak mengeluh, karena yakinnya akan pendirian.
Ibnu Katsir menyatakan dalam tafsirnya bahwa penggalian lobang dan pembakaran terhadap orang beriman yang teguh pada keyakinannya itu bukanlah kejadian satu kali, malahan berkali-kali. Ibnu Katsir menyalinkan keterangan dari Ibnu Abi Hatim bahwa penggalian lobang pembakaran itu pernah terjadi di Yaman di zaman raja-raja Tubba’, di Konstantinople di zaman Konstantin memaksa orang Nasrani melepaskan kepercayaan mereka yang asli tentang Tauhid, dan kejadian juga di Iraq yaitu di negeri Babil di zaman Raja Bukhtinashr (Nebukadnesar) yang membuat berhala dan memaksa orang menyembah kepada berhala itu; maka Nabi Dinial tidak mau mengurbankan kepercayaannya kepada Allah Yang Esa bersama kedua temannya ‘Izriya dan Mikhaail. Lalu dibuat lobang dan diunggunkan kayu-kayu kering ke dalamnya dan dimasukkan ketiga orang beriman itu ke dalam. Namun sesampai mereka dalam api yang bernyala itu, mereka tetap hidup dengan segar-bugar dan keluar dengan selamat. Padahal bersama ketiga orang yang beriman di antaranya seorang Nabi itu, dimasukkan pula sembilan orang yang dianggap pemberontak kepada raja; semuanya hangus terbakar.
Dengan keterangan ini, yang pada pokoknya peringatan kepada kaum Quraisy, tetapi akan jadi peringatan seterusnya bagi manusia, bahwa pihak-pihak yang berkuasa di segala zaman akan mencoba membelokkan keyakinan orang atau menukar Iman kepada Allah dengan semacam “iman” yang mereka rumuskan dan mereka wajibkan orang supaya tunduk. Kalau tidak mau tunduk akan mereka siksa, mereka paksa, mereka bakar, mereka sula, mereka gantung, sekurang-kurangnya mereka buang dari negeri atau mereka simpan ke dalam penjara. Ayat 8 di atas menunjukkan bahwa sebab-sebab utama penganiayaan itu ialah karena hanya beriman kepada Allah. Dan ayat menunjukkan bahwa kekuasaan Allah itulah yang lebih tinggi dan lebih Maha-maha luas, meliputi seluruh kerajaan langit dan bumi. Dan pada ayat 10 dijelaskan pula bahwasanya orang-orang yang berlaku aniaya itu pun kelak akan dibakar pula dengan api neraka.
Di dalam Al-Qur’an sendiri pernah dipertunjukkan keyakinan tukang sihit Fir’aun yang sihirnya dapat dikalahkan atau “ditelan” oleh mu’jizat Nabi Musa ‘alaihis-salam. Raja Fir’aun sangat murka kepada mereka, karena setelah sihir mereka dapat dipatahkan oleh mu’jizat Nabi Musa, dengan tidak merasa takut kepada Fir’aun sedikit pun mereka menyatakan Iman kepada Allah dan percaya kepada Musa. Lalu Fir’aun menghukum mereka karena dianggap belot! Kaki dan tangan mereka dipotongi dan mereka dinaikkan ke atas kayu palang, dihukum mati. Namun demikian mereka tidak dapat dihambat lagi buat menyatakan beriman kepada Allah. Malahan setelah hukuman dijatuhkan, mereka menjawab dengan tegas: “Bahwa Fir’aun hanya dapat menguasai mereka pada hidup di dunia ini. Namun iman mereka tidak dapat dikuasainya lagi.”
Ayat dari Surat Al-Buruuj ini dapatlah menjadi pegangan bagi-tiap-tiap orang yang ingin mengambil teladan dalam kekuatan iman. Karena kadang-kadang sikap dan sifat lemah tidaklah akan menolong jika musuh-musuh Tauhid itu telah menyatakan sikap hendak berlaku sewenang-wenang. Namun mati itu hanya sebentar saja. Setelah putus nyawa bertemulah apa yang dicita oleh Mu’min, yaitu liqa-a rabbihi: Berjumpa dengan Tuhannya.