Quantcast
Channel: Tafsir Al Azhar | Tafsir Al Qur'an Oleh Buya HAMKA
Viewing all articles
Browse latest Browse all 93

At Takwir 1 – 14

$
0
0


APABILA DAN APABILA

Ceritera sekarang ini adalah peringatan tentang hari kiamat belaka:

“(Ingatlah) apabila matahari telah digulung.” (ayat 1). Di sini kita melihat penggambaran keadaan kiamat, satu keadaan yang berobah sama sekali dari yang biasa. Mula-mula diterangkan bahwa matahari itu telah tergulung. Tentu banyaklah arti yang dapat kita ambil kata-kata kuwwirat, tergulung atau digulungkan. Makna digulung ialah bila tugasnya telah habis dan dia tidak memancarkan cahaya lagi, sehingga dunia ini menjadi gelap-gulita dan kacaubalau.

“Dan apabila bintang-bintang telah gugur.” (ayat 2). Menurut sebuah tafsir yang dirawikan oleh Adh-Dhahhak, diterimanya dari Ibnu Abbas, akan kejadian bintang-bintang itu gugur dan tempatnya karena bintang-bintang itu laksana kindil-kindil (pelita) yang tergantung di antara langit dan bumi, diberi rantai dengan Nur, atau cahaya. Dan rantai cahaya itu terpegang di tangan malaikat-malaikat yang terjadi dari Nur pula. Kata riwayat itu, bila tiupan serunai sangkakala yang pertama telah kedengaran, matilah segala yang bernyawa, baik di bumi ataupun di semua langit, dan malaikat-malaikat itu pun turut mati sehingga terlepaslah rantai itu dari tangannya, maka bintang-bintang itu tidak terkendali lagi, sehingga terpentanglah dia ke mana saja.

Ceritera yang demikian sepintas lalu tentu ditolak oleh orang yang tidak percaya kepada yang ghaib. Tetapi apabila disesuaikan dengan penyelidikan ilmu alam yang sejati, dapatlah kita memahamkannya dipandang dari segi daya tarik-menarik yang mengatur hubungan alam sehingga timbul keseimbangan. Bila telah goyah yang satu. Niscaya goyahlah pula yang lain, maka berkacaulah perjalanan bintang-bintang.

“Dan apabila gunung-gunung telah dihapuskan.” (ayat 3). Bumi adalah salah satu daripada bintang-bintang itu. Kalau berjuta bintang yang lain sudah gugur daripada garis jalannya, tentulah bumi sendiri pun telah masuk dalam kekacauan itu. Dan gunung-gunung yang ada di bumi pun tudak ada artinya lagi. Dia pun sudah menjadi sama rata dengan bumi. Di dalam Surat An-Naba’ (Surat 78) yang lalu dibayangkan bahwa gunung-gunung sudah berkeadaan laksana fatamorgana belaka; disangka air padahal bukan air.

“Dan apabila unta-unta bunting telah dibiarkan.” (ayat 4).

Dengan ayat ini, suasana lebih didekatkan lagi ke dalam masyarakat pada masa ayat mulai diturunkan. Unta bunting sangatlah manja pada pemeliharaan orang yang empunya. Karena diharapkan pada anaknya yang akan lahir. Unta bunting adalah mengandung tambahan kekayaan. Bila kiamat telah datang, orang tidak peduli lagi kepada unta bunting yang selama ini dipelihara baik-baik itu.  Gambaran kecil dapat kita lihat pada waktu negeri dalam perang besar dan orang pada mengungsi meninggalkan kampung halamannya, karena melarikan diri dari serbuan musuh. Maka ayam-ayam ternak, kucing, anjing sampai kepada kambing ternak tidak diperdulikan orang lagi. Semuanya telah tersia-sia, karena orang lari meninggalkan rumahnya, membawa dan memelihara nyawanya dengan sebungkus pakaian saja. Ini telah kami alami pada permulaan perang ketika Tentara Belanda tidak dapat mempertahankan negeri lagi dari serbuan tentara Jepang di tahun 1942. Sebab itu maka unta bunting yang dibiarkan tersia-sia adalah lambang dari perasaan gugup dan panik.

“Dan apabila binatang-binatang buas telah dikumpulkan.” (ayat 5).

Menurut orang-orang yang berpengalaman dan berpengetahuan tentang keadaan hidup binatang buas di rimba raya, sebagai singa, gajah, beruang, harimau, kijang, rusa, bison, zirafah, zebra, kambing hutan, orang utan dan lain-lain, bahwa binatang itu sangatlah tajam perasaannya (intuisi). Bila akan terjadi tanah longsor, atau huja besar yang akan membawa banjir besar, maka binatang-binatang itu sudah mengerti dengan sendirinya meskipun manusia belum mengetahui apa yang akan terjadi. Mereka terlebih dahulu akan lari dan lari lagi berbondong, berboyong, mencari tempat yang mereka rasa lebih aman. Meskipun singa begitu ganas terhadap rusa, harimau ganas terhadap kambing hutan, serigala buas melihat binatang lain yang jadi buruannya, namun di saat menghadapi bahaya yang akan menimpa itu, satu dengan yang lain tidak bermusuhan lagi. Yang buas tidak lagi timbul selera melihat binatang lain yang biasa diburunya.

Maka digambarkanlah di sini bahwa di saat suasana hebat itu binatang-binatang buas itu jadi berkumpul. Dikumpulkan oleh kedahsyatan hari yang mereka hadapi. “Nasib” telah menyebabkan mereka berkumpul. Malahan menurut satu tafsir dari Ubai bin Ka’ab: “Binatang buas itu pun menjadi berkumpul dengan manusia. Bagaimanapun takutnya bertemu dengan manusia selama ini, namun di hari itu mereka jadi mendekati manusia.”

“Dan apabila lautan telah menggelagak.” (ayat 6). Menggelagak atau mendidih airnya melimbak keluar saking sangat panasnya, sehingga menurut satu tafsir dari Adh-Dhahhak dan Mujahid, demikian mendidihnya, sehingga air di sungai dan danau-danau yang tawar telah dilimbaki oleh air lautan yang mendidih itu.

Ubai bin Ka’ab (salah seorang sahabat Rasulullah SAW) menggambarkan keadaan pada waktu itu demikian: “Adalah enam hari yang hebat sebelum berdiri kiamat itu. Sedang manusia berhilir mudik di dalam pasar, tiba-tiba padam cahaya matahari dan jelaslah cahaya bintang-bintang; mereka pun menjadi tercengang dan merasa dahsyat. Sedang mereka terbingung-bingung demikian rupa, tiba-tiba bintang-bintang itu pun berkisar dari tempatnya dan berjatuhan. Seketika masih terbingung ketakutan, meluncurlah gunung-gunung merata ke alas bumi; maka bergeraklah bumi, bergoncang dan terbakar, kemudian menjadi abu semua. Semua menjadi bingung kehilangan akal, sehingga manusia mencari jin dan jin mencari manusia, dan bercampur-aduklah binatang jinak, binatang liar dan segala serangga dan burung-burung, menggelombang yang setengah kepada yang setengah; itulah yang dimaksud dengan binatang-binatang buas dikumpulkan. Lalu berkatalah jin kepada manusia: “Kami akan pergi menyelidiki apa yang terjadi, tinggallah di sini!” Lalu jin itu pun pergilah menyelami laut. Tetapi mereka segera keluar, sebab laut sudah menjadi api yang bernyala-nyala,” dan seterusnya. Tentu saja hal ini adalah gambaran terdahulu dari yang akan kejadian kelak kemudian hari yang akan lebih hebat daripada apa yang dilukiskan itu.

“Dan apabila diri-diri manusia telah dipasangkan.” (ayat 7). Di dalam ayat ini tertulis nufus, kaja jama’ dari nafs. Dan nafs itu berarti juga diri manusia. Yang dikatakan diri manusia itu ialah gabungan di anatara rohnya dengan jasmaninya. Bila dia mati, hilanglah nafsnya itu, sebab di antara roh dengan jasmani telah berpisah. Kelak kalau kiamat telah datang akan berbunyi serunai sangkakala itu dua kali. Kali yang pertama mematikan sisa yang masih hidup. Dan kali yang kedua membangkitkan segala yang mati untuk dihidupkan kembali dalam yang lain, yaitu alam akhirat. Maka dibayangkanlah dalam ayat ini bahwa diri-diri manusia itu, atau nufus itu akan dipasangkan kembali; Jasmani dipasangkan kembali dengan Rohani, untuk menghadapi hidup yang baru. Yang kita pilih di sini ialah tafsir dari Ikrimah.

“Dan apabila anak-anak perempuan yang dikubur hidup-hidup telah diperiksa.” (ayat 8).

Sebagaimana telah kita maklumi, dan telah banyak bertemu ayatnya di dalam Al-Qur’an dan telah pula kita uraikan dalam tafsir di juzu’-juzu’ yang telah lalu, di zaman jahiliyah orang suka menguburkan anak perempuannya hidup-hidup, karena berasa malu beroleh anak perempuan, (lihat Juzu’ 14, Surat 16, An-Nahl (lebah), ayat 58-59). Maka di hari kiamat itu kelak, mereka akan diperiksa: “Lantaran dosa apa makanya dia dibunuh.” (ayat 9). Mereka akan ditanyai gerangan apa sebabnya maka ayah mereka sampai hati menguburkan mereka kebalik bumi dalam keadaan hidup tentu saja mereka sebagai saksi belaka dari kesalahan perbuatan ayahnya.

Menurut penafsiran Asy-Syihab, makanya pertanyaan dihadapkan kepada yang teraniaya, yaitu anak perempuan yang dikuburkan hidup-hidup itu sendiri, di hadapan orang yang menganiaya dan menguburkannya itu ialah supaya lebih terasa berat dan besarnya dosa yang telah diperbuatnya. Akan terasa sendirilah kepadanya bahwa bukanlah anak yang ditanya itu yang akan dapat menjawab pertanyaan itu karena bukan dia yang bersalah, melainkan dirinya sebagai pembunuhlah yang mesti dihukum berat.

Menurut Asy-Syihab cara yang seperti ini namanya ialah istidraj, yaitu membawa bicara kepada suatu suasana yang si bersalah merasakan sendiri kesalahannya, dengan mengaturkan pertanyaan terlebih dahulu kepada yang tidak bersalah.

Menurut As-Sayuthi: “Ayat-ayat ini menggambarkan betapa nian berat dosanya menguburkan anak perempuan hidup-hidup itu.”

Ad-Darimi meriwayatkan di dalam Masnadnya bahwa pada suatu hari seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah SAW menceriterakan betapa dahsyat perbuatannya di zaman Jahiliyah. Katanya: “Ya Rasul Allah! Di zaman jahiliyah kami ini penyembah berhala dan tega hati membunuh anak kami. Aku sendiri mempunyai seorang anak perempuan. Setelah dia mulai gadis kecil, dia gembira dan lucu, suka sekali bila kupanggil. Suatu hari dia kupanggil, dia pun datang. Aku bawa, dia pun menurut. Lalu aku bawa kepada sebuah sumur tua kepunyaan kaum kami yang tidak begitu jauh dari kediaman kami. Lalu aku bawa dia ke pinggir sumur itu akan melihat ke dalamnya. Setelah kepalanya terjulur ke dalam, terus aku angkat kedua kakinya dan aku lemparkan dia ke dalam. Ketika dia akan aku tinggalkan masih kedengaran dia memanggil-manggil: “Ayah, Ayah!”

Mendengar ceriteranya itu dengan tidak disadari titiklah air mata Rasulullah. Lalu berkatalah salah seorang yang turut duduk dalam majlis itu: “Sudahlah! Engkau telah membuat Rasululllah bersedih hati!” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Biarkan dia! Dia menceriterakan hal itu ialah karena tekanan batinnya yang mendalam jua.”

Lalu Rasulullah bersabda pula kepada orang itu: “Lanjutkanlah ceriteramu itu.” Maka orang itu pun melanjutkan ceriteranya kembali dan Rasulullah SAW pun kembali pula dengan tidak disadari menitikkan air mata lebih banyak dari yang tadi. Dan orang itu pun kelihatan sekali sedihnya tengah berceritera itu, ternyatalah pada wajahnya penyesalan yang tiada terperikan.

Maka bersabdalah Rasulullah SAW: “Allah telah menghabiskan dosa-dosa zaman jahiliyah itu dengan masukmu ke dalam Islam. Perbanyaklah amalmu yang baik, moga-moga dosa-dosamu diampuni.”

Orang lain pula yang datang kepada Rasulullah mengeluhkan dosa serupa itu di zaman jahiliyah disuruh Rasulullah ganti dengan memerdekakan budak. Karena orang itu kaya.

Ibnu Abbas menceriterakan bahwa di zaman jahiliyah itu ada orang yang segera menggali lobang di sekitar rumahnya kalau isterinya telah menyatakan sakit akan beranak. Disuruhnya isterinya itu melahirkan anak di muka lobang itu. Kalau ternyata perempuan, langsung lancarkan saja masuk lobang dan segera ditimbuni.

Tetapi ada juga di zaman jahiliyah itu orang yang tidak menyukai dan sangat benci kepada kebiasaan yang sangat buruk itu. Yang amat terkenal ialah seorang pemuka Bani Tamim bernama Sha’sha’ah bin Najiyah bin ‘Iqaal. Kalau dia tahu ada orang yang bermaksud berbuat begitu dengan anak perempuannya, diterimanya orang itu dan ditebusnya anak orang itu dengan hartabendanya sendiri. Sehingga tersebutlah di dalam sejarah bahwa sampai beratus gadis-gadis kecil yang beliau tebus, beliau bayar kepada ayahnya itu, dan anak itu diambilnya anak dan dipeliharanya.

Sehingga seorang penyair Arab ternama, Farazdaq bin Ghalib, cucu keturunan dari Sha’sha’ah ini menjadikan perbuatan neneknya itu suatu kemegahan bagi kaumnya dan dipujanya dengan syi’ir. Menurut riwayat Abu ‘Ubaidah, seketika kabilah-kabilah Arab berbondong mengirim utusan menghadap Rasulullah menyatakan ketundukkan dan kesetiaan, maka dalam perutusan Bani Tamim masuklah Sha’sha’ah yang sangat menantang kebiasaan menguburkan anak perempuan itu.

Rasulullah menghormatinya dengan baik dan beliau mengetahui kelebihan orang ini di zaman jahiliyah. Maka setelah duduk di hadapan beliau, berharaplah Sha’sha’ah agar Rasululullah SAW berkenan memberinya nasihat: “Aushini, ya Rasul Allah, bi abi anta wa ummi!” Berilah aku nasihat, ya Rasul Allah, demi ayah dan ibuku! Lalu Rasul Allah memberinya nasihat: “Bersikap baiklah kepada ibu engkau dan ayah engkau, kepada saudara perempuan engkau dan saudara laki-laki engkau, dan seterusnya kepada yang lain menurut urutan pendekatannya dengan engkau!”

“Sedikit lagi beri aku nasihat, ya Rasul Allah!” Katanya pula.

Maka bersabdalah beliau: “Jagalah yang di bawah jenggot engkau dan yang di antara kedua kaki engkau.” (Artinya jagalah kehormatan!).

Lalu Rasulullah bertanya pula kepadanya: “Cobalah ceriterakan kepadaku apa yang pernah engkau perbuat di zaman jahiliyah itu!”

Lalu Sha’sha’ah memulai berceritera: “Ya Rasul Allah! Aku lihat di waktu itu orang berbondong saja tidak ada tujuan, dan aku sendiri tidak tahu manakah yang benar. Tetapi hatiku merasa bahwa tidak seorang jua pun menempuh jalan yang betul. Anak perempuan dikuburkan hidup-hidup. Aku pun yakin dalam hati bahwa perbuatan ini tidak dibolehkan Allah Yang Maha Tinggi. Maka sekadar tenagaku, aku cobalah mencegah perbuatan itu, lalu aku tebus anak-anak itu jika kulihat orang tuanya telah hendak bertindak.”

Setelah Agama Islam datang, dan Nabi Muhammad SAW menunjukkan contoh teladan betapa kasih kepada anak-anak perempuan, yang beliau tumpahkan kepada Zainab, yang menebus suaminya Abul ‘Ash dari tawanan Perang Badar dengan kalung leher ibunya sendiri, Siti Khadijah dan betapa kemudiannya beliau mendukung cucunya, anak dari Zainab itu ketika di dalam Sakaratil-maut.

Dan betapa pula kasih beliau kepada anaknya Ruqayah dan Ummi Kultsum, yang seketika Ruqayah meninggal sebagi isteri dari Usman bin Affan, lalu beliau “ganti tikarkan” dengan adiknya Ummi Kultsum itu, sedang Ummi Kultsum pun mati pula tidak betapa lama kemudian, sampai beliau berkata kepada Usman: “Sayang Usman! Tidak ada lagi anak perempuanku yang akan aku serahkan jadi pengganti yang hilang buatmu!”. Dan betapa pula kasih beliau kepada puterinya Fatimah, yang sampai diraihnya anaknya itu ke dalam pangkuannya tatkala telah dekat beliau menutup mata, maka semuanya ini menjadikan anggapan masyarakat sahabat-sahabat beliau dan ummatnya seterusnya berbeda kepada anak perempuan, perbedaan siang dengan malam, dengan yang dialami di zaman jahiliyah itu.

Kata Sahibul hikayat, pada suatu hari masuklah sahabat Nabi kita ‘Amr bin Al-Ash ke dalam majlis Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Didapatinya beliau sedang duduk dengan anak perempuannya yang masih kecil. Lalu ‘Amr bertanya: “Siapa ini, ya Mu’awiyah?”

Mu’awiyah menjawab: “Inilah dia delima hati, kembang permainan mata, wangi-wangian pengobat hidung.”

Berkata pula ‘Amr: “Jauhkanlah dia!”

“Mengapa?”, tanya Mu’awiyah.

Menjawab ‘Amr: “Karena dia menyebabkan adanya musuh. Bahaya yang jauh menjadi dekat. Hidup yang tadinya tenang jadi bergolak. Kebencian yang telah terpendam, tersebab dia timbul kembali.

Maka menjawab Mu’awiyah: “Jangan engkau berkata begitu ya ‘Amr! Demi Allah ya ‘Amr, apabila badan menderita sakit-sakit, apabila janazah telah dikelilingi beramai-ramai, atau apabila zaman memburuk nasib, atau tentara dukacita datang menyerbu bertubi-tubi, tak ada obat hati pelarai demam yang melebihi sejuknya daripada barutan tangan halusnya anak perempuan. Kau boleh saksikan sendiri ‘Amr seorang khaal (saudara laki-laki ibu, atau mamak menurut bahasa Minangkabau) merasa tenteram dirawat oleh kemenakannya perempuan, dan seorang nenek diobat hari tuanya oleh cucu perempuannya.”

Termenung ‘Amr bin Al-Ash mendengarkan susunan kata Mu’awiyah itu. Akhirnya dia berkata: “Tadinya tak ada di muka bumi ini yang paling tidak aku senangi, melainkan merekalah. Tetapi setelah mendengar katamu itu maka mereka pulalah yang paling aku sayangi di muka bumi ini.”

Maka terkenanglah kita akan suatu ceritera lagi, bahwa seketika salah seorang anak perempuannya yang berempat itu, Zainab, Ruqayah, Ummi Kultsum dan Fatimah Az-Zahraa’ masih kecil digendong dipangku oleh Rasulullah SAW. Lalu ada orang bertanya, bagaimana perasaan beliau ketika itu. Lalu beliau jawab:

“Dia adalah kembang yang wangi; kita cium dia. Dan dikurniakan Allah kepada keluarganya.”

Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh Ustadzul-Imam Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir Juzu’ Ammanya seketika menafsirkan ayat ini: “Cobalah perhatikan bagaimana kejam dan kesatnya hati orang-orang ini. Sampai hati mereka membunuh anak-anak gadisnya yang tak berdosa, cuma karena takut akan miskin dan menderita malu; dan semuanya itu bertukar dengan kasih dan sayang, dan sikap yang lemah lembut, setelah orang Arab menerima Islam. Alangkah besarnya nikmat Islam atas perikemanusiaan seluruhnya dengan hapusnya adat yang sangat buruk dan keji ini.”

“Dan apabila catatan-catatan amal telah dibentangkan.” (ayat 10). Catatan amal, yang dinamai dalam ayat ini shuhuf, kata jama’ dari shahifah, artinya ialah gulungan-gulungan kertas yang di sana telah dicatat apa saja yang dikerjakan manusia di dunia ini, dengan tidak ada satu pun yang ketinggalan. Sebab Malaikat Raqib dan ‘Atid, (Surat 50, Qaaf ayat 18), dan malaikat-malaikat penulis yang mulia-mulia (Surat 82, Al-Infithaar ayat 11) telah menuliskan semua dengan cermat dan jimat sehingga tak dapat mengelakkan diri lagi untuk mengingkari suatu kesalahan.

“Dan apabila langit telah dicabut.” (ayat 11). Langit dicabut, ialah laksana mencabut kulit kambing dari seluruh badannya. Sebab itu dapat juga dipakai kata-kata lain, yaitu dikupas. Maka dicabut atau dikupas atau direnggutkan langit itu dari tempatnya. Niscaya dengan sekaligus semuanya terjadi apabila matahari telah digulung dan bintang-bintang telah terlepas dari “rantai” cahaya yang mengikatnya.

“Dan apabila neraka telah dinyalakan.” (ayat 12). Karena telah mulai disediakan untuk menampung manusia-manusia yang akan menerima azab siksaannya. Menurut Qatadah yang menyalakan api neraka itu pertama ialah dosa-dosa Anak Adam, kedua ialah murka Ilahi. “Dan apabila syurga telah dihampirkan.” (ayat 13). Untuk menunggu menanti kedatangan orang-orang yang di kala hidupnya telah memenuhi hidup itu dengan takwa serta dengan sabar dan iman melakukan suruhan Tuhan. Lalu kepayahannya di kala hidup dalam menegakkan kehendak Ilahi itu mendapat balasan yang setimpal, sehingga syurga itu diperdekat kepadanya.

Demi melihat itu semuanya: “Akan tahulah tiap-tiap diri, apa amal yang sudah disediakan.” (ayat 14).

Pendeknya betapa pun goncang hati tiap-tiap manusia sejak kelihatan matahari digulung, bintang-bintang berguguran, gunung-gunung terhapus dan lain-lain tanda kiamat itu, namun yang bergoncang tak tentu hadap hanyalah orang yang kufur jua. Adapun orang yang telah mantap hidupnya karena amalnya yang baik, tidaklah dia akan bimbang, karena hatinya tidaklah terikat kepada dunia fana ini. Betapa pun besar, hebat dan dahsyat hari itu, sama sekali itu akan berujung dengan penyelesaian jua dan dia telah menyediakan hidupnya sejak semula buat menghadapi semuanya itu.

Bertambah maju sekarang ini pengetahuan manusia tentang alam ini, bertambah mendekatlah hasil ilmu pengetahuan itu kepada pintu iman. Hasil ilmu pengetahuan telah sampai kepada meyakinkan bahwa suatu waktu kiamat itu pasti akan terjadi. Sedangkan pengetahuan manusia yang telah sampai kepada mengetahui rahasia yang dahsyat daripada atom dan betapa besar tenaga yang tersimpan di dalamnya telah menimbulkan rasa takut dan cemas manusia akan terjadinya kiamat. Padahal tenaga bom-bom nuklir itu barulah di atas bumi ini saja, belum berarti jika dibandingkan dengan tenaga atom yang meliputi alam yang lain. Lebih dahsyat lagi jika diingat bahwa dengan bom nuklir manusia semuanya bisa mati. Tetapi ada lagi lain kekuatan yang ilmu pengetahuan manusia belum lagi sampai kesana, yaitu sesuatu tenaga lagi -yang bila dilepaskan oleh Allah- Orang yang mati akan dihidupkan kembali. Itulah rahasia-rahasia kiamat!


Viewing all articles
Browse latest Browse all 93